Bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan pesan. Di balik susunan kata, tersembunyi kekuatan besar apabila dilihat dari kacamata dunia hukum dan politik (Wijana, 2018). Jika iya, siapa yang berhak menafsirkan sebuah kalimat, ia punya kuasa untuk menentukan mana yang dianggap benar dan siapa yang layak dihukum.
Mengingat filsuf Prancis, Michel Foucault, menyebut bahwa bahasa dan wacana adalah bagian dari cara kekuasaan bekerja. Aturan-aturan hukum yang terlihat tegas di atas kertas nyatanya sangat bisa dimaknai secara berbeda, tergantung siapa yang membaca dan apa kepentingannya (Foucault, 1980).
Salah satu fenomena hukum yang tengah ramai diperbincangkan publik saat ini adalah kasus Thomas Trikasih Lembong. Pada awal Juli 2025, mantan Menteri Perdagangan ini dijatuhi hukuman empat tahun enam bulan penjara oleh Mahkamah Agung terkait kebijakan impor gula putih. Namun yang menjadi sorotan bukanlah tindakan korupsi yang jelas atau kerugian negara yang nyata, melainkan soal perbedaan tafsir terhadap satu kalimat dalam aturan hukum.
Dalam unggahan Instagram Tom Lembong pada 9 Juli 2025, seperti sepucuk surat yang begitu sarat makna, tertulis “gula putih hanya boleh diimpor saat stok nasional rendah.” Versi ini memberi ruang bahwa impor diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Namun, jaksa dan hakim menafsirkan kalimat tersebut secara berbeda: “saat stok nasional rendah, yang boleh diimpor hanya gula putih.” Sekilas tampak serupa, tetapi secara makna sangat berbeda.
Tafsir jaksa membatasi bahwa hanya gula putih yang boleh diimpor, dan melarang jenis lain seperti gula mentah (raw sugar), yang justru saat itu dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pasokan. Dalam hal ini, perbedaan penekanan dan susunan kata dalam satu kalimat ternyata mampu membentuk tafsir hukum yang berujung pada pemidanaan.
Dari sinilah terlihat bagaimana bahasa, dalam konteks hukum, bukan hanya alat, tetapi juga arena tarik-menarik kekuasaan. Tafsir menjadi senjata, dan nasib seseorang bisa berubah hanya karena titik koma yang dibaca berbeda.
Melalui kacamata Foucault, kita melihat bagaimana kekuasaan bekerja melalui mekanisme pengetahuan dan lembaga hukum. Tafsir jaksa dan hakim tidak berdiri sendiri; ia lahir dalam jaringan kekuasaan yang lebih besar dengan tujuan mempertahankan logika tertentu, dalam hal ini logika nasionalisme ekonomi yang anti-impor. Foucault menyebut kondisi ini sebagai regime of truth, yakni suatu sistem di mana kebenaran tidak ditemukan, tetapi diproduksi oleh pihak yang memegang otoritas wacana (Foucault, 1980). Dalam hal ini, institusi hukum menjadi penghasil ‘kebenaran hukum’, meskipun makna awal dari aturan tersebut bisa jadi berbeda.
Ironisnya, Tom Lembong dijatuhi hukuman tanpa bukti bahwa ia mendapat keuntungan pribadi atau memiliki niat jahat (mens rea). Namun dalam pertimbangan hakim, pada laman berita Tempo (2025), Tom dinilai sebagai representasi sistem ekonomi kapitalis yang dianggap bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan.
Hakim menyebutnya sejalan dengan tiga pilar kapitalisme: hak kepemilikan pribadi, individualisme ekonomi, dan persaingan bebas. Tafsir ini menempatkan Tom bukan sebagai individu yang melanggar hukum, tetapi sebagai simbol dari ideologi yang ingin ditolak (Yanuar, 2025).
Dalam konteks inilah, isu keadilan dan kemanusiaan menjadi sorotan. Jika hukum dimaknai secara ideologis dan tidak memberi ruang pada pemaknaan yang adil, maka hukum kehilangan fungsinya sebagai pelindung hak asasi. Pendekatan Foucault membantu kita memahami bahwa kekuasaan tidak selalu menindas secara kasat mata, melainkan bekerja dalam bahasa, tafsir, dan struktur lembaga. Maka pertanyaan yang harus diajukan bukan hanya apakah Tom bersalah?, melainkan siapa yang berkuasa menafsirkan kesalahan?, dan untuk kepentingan siapa tafsir itu ditegakkan?
Di titik ini, warisan pemikiran Gus Dur menawarkan cara pandang lain dalam melihat keadilan. Bagi Gus Dur, hukum seharusnya tidak digunakan untuk menghukum orang hanya karena punya pandangan atau kebijakan yang berbeda. Prioritas utamanya adalah kemanusiaan, bukan kekuasaan. Gus Dur percaya bahwa hukum seharusnya berpihak pada keadilan yang nyata dirasakan oleh manusia, bukan hanya mengikuti aturan hukum secara kaku. (Wahid, 2006).
Ketika tafsir hukum digunakan untuk membungkam atau menghukum berdasarkan ideologi tertentu alih-alih niat dan akibat nyata, maka hukum telah kehilangan nuraninya. Gus Dur pernah berkata, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” (Munir, 2004). Dalam terang pemikiran ini, kita diingatkan bahwa bahasa sebagai alat kekuasaan harus pula diawasi agar tidak mengorbankan hak individu atas nama kepentingan kekuasaan.
Daftar Rujukan
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. Pantheon Books.
Munir, M. (2004). Gus Dur di Mata Sahabat dan Lawan Politiknya. Kompas.
Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. The Wahid Institute.
Wijana, I. D. P. (2018). Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis (3rd ed.). Yuma Pustaka.
Yanuar, Y. (2025, July 24). Putusan MA: Tom Lembong Bersalah dalam Kasus Impor Gula. Tempo.Co.









