Sejak 2 Agustus 2025 sebuah rumah doa yang biasa digunakan oleh umat Kristiani di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat disegel oleh pemerintah daerah. Penyegelan ini dilakukan karena rumah doa tersebut tidak memiliki izin. Pemerintah setempat memberi syarat apabila rumah doa ingin digunakan kembali harus menempuh perizinan sesuai undang-undang yang berlaku. Selain melakukan penyegelan, pemerintah juga menekan agar pengelola menyetujui penghentian kegiatan di rumah doa tersebut.
Sejak puluhan tahun, tindakan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sebelum kasus Garut, perusakan rumah doa juga terjadi di Padang, Sumatera Barat pada akhir Juli 2025. Kedua peristiwa tersebut merupakan bukti gagalnya negara dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negaranya. Terlebih, dalam peristiwa di Garut negara justru berperan sebagai pelaku utama.
Peristiwa ini semakin terasa memilukan karena Indonesia tengah bersiap untuk merayakan hari ulang tahun yang ke-80. Di tengah banyaknya tantangan bangsa, ternyata kemerdekaan untuk menjalankan urusan ibadatnya masih belum dirasakan oleh semua masyarakat. Lebih ironis lagi, negara yang semestinya berperan sebagai pengayom justru menjadi pelaku diskriminasi.
Oleh karenanya, Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mengecam Pemerintah Kabupaten Garut karena menjadi pelaku diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas. Pemerintah Kabupaten Garut harus segera mencabut penyegelan rumah doa itu dan menjalankan konstitusi secara amanah dengan memberi dukungan terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan.
Kedua, menyerukan kepada para pemangku kebijakan untuk mengevaluasi berbagai peraturan yang berpotensi mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, baik di level lokal ataupun nasional, agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
Ketiga, mengajak kepada seluruh tokoh agama dan tokoh masyarakat di berbagai wilayah Indonesia untuk menyerukan pentingnya menciptakan kehidupan yang adil dan setara bagi semua. Para pemuka agama dan masyarakat perlu menyediakan ruang dialog kepada pihak-pihak yang berbeda untuk menciptakan kerukunan dan keharmonisan antarwarga yang multikultural.
Keempat, mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam menjaga keberagaman dan menempatkan perbedaan sebagai fitrah yang harus dinormalisasikan, bukan justru dihapuskan.
Kelima, menyeru kepada seluruh elemen Jaringan GUSDURian untuk terus melakukan pendidikan keberagaman kepada seluruh warga negara di berbagai pelosok negeri, sebagaimana dilakukan oleh Gus Dur semasa hidupnya.
Yogyakarta, 13 Agustus 2025
Direktur Jaringan GUSDURian
Alissa Wahid









