Keadilan ekoteologi lahir dari keyakinan bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga keseimbangannya. Teologi dalam pandangan ini tidak hanya berfokus mengurus keselamatan jiwa manusia. Teologi ini ingin menjaga kelestarian ekosistem kehidupan. Sebuah sistem alami yang terdiri dari makhluk hidup (biotik) seperti tumbuhan, hewan, dan mikroba, serta benda mati (abiotik) seperti air, tanah, udara, dan cahaya matahari. Dalam ekosistem, semua komponen ini saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sehingga kerusakan terhadap salah satu komponen di dalamnya, bisa berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap komponen secara keseluruhan.
Sayangnya, praktik baik dari prinsip keadilan ekologi itu belum menjadi pijakan dasar dan utama dalam pembangunan di Indonesia. Bahkan, prinsip keadilan ekologi sering diabaikan. Sehingga Sumber Daya Alam (SDA) diperlakukan hanya sebagai objek eksploitatif. Yang penting bermanfaat untuk memenuhi ambisi ekonomi dan modernisasi dalam kehidupan manusia dalam jangka pendek. Walhasil, kerusakan lingkungan pun terjadi di mana-mana. Dampak kerusakan lingkungan itu pun berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Seperti krisis air dan udara bersih, menurunnya hasil pertanian dan perikanan, hingga berbagai bencana alam dan bencana non alam.
Kerusakan lingkungan di negeri ini disebabkan oleh pengambil kebijakan yang melakukan lima dosa besar yang mengabaikan prinsip keadilan ekologi. Berikut lima dosa besar yang menyebabkan luka ekologis secara nyata dan aktual di negeri ini.
Eksploitasi Alam Tanpa Batas
Pemerintah mengklaim telah melakukan moratorium izin baru di sektor kehutanan. Nyatanya, Indonesia masih menghadapi deforestasi yang masif. Di Kalimantan dan Papua, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang mineral terus berlangsung. Proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menuai kritik karena berpotensi mengubah bentang alam, mengganggu ekosistem mangrove, dan mengancam habitat satwa langka. Situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan minimnya partisipasi publik dalam perencanaan.
Dari perspektif ekoteologi, eksploitasi alam tanpa batas adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Kitab suci dan kearifan lokal sama-sama menekankan bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan titipan yang harus dijaga. Namun, logika pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya membuat prinsip keberlanjutan dikesampingkan. Keseimbangan ekologis dikorbankan demi keuntungan jangka pendek.
Jika praktik ini terus berlanjut, kerugian ekologis yang kita hadapi akan bersifat permanen. Hilangnya hutan hujan tropis akan mempercepat krisis iklim, memicu banjir bandang, kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Generasi mendatang akan mewarisi tanah yang gersang dan udara yang penuh polutan.
Pengabaian Hak Komunitas Lokal
Fenomena perampasan ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal semakin marak di Indonesia. Kasus Wadas di Purworejo menjadi contoh nyata: warga menolak tambang batu andesit yang direncanakan untuk material Bendungan Bener, tetapi suara mereka kerap diabaikan. Di Maluku, masyarakat Pulau Romang menentang tambang emas yang mengancam ekosistem laut dan pesisir. Proyek-proyek besar sering menggunakan dalih pembangunan nasional, padahal dampak sosial-ekologisnya sangat besar bagi komunitas yang bergantung pada sumber daya lokal.
Dalam kacamata ekoteologi, mengabaikan hak komunitas lokal berarti memutus relasi sakral manusia dengan tanah dan alamnya. Masyarakat adat memandang hutan, sungai, dan laut bukan sekadar aset, tetapi bagian dari identitas kultural dan spiritual. Peminggiran mereka bukan hanya bentuk ketidakadilan sosial, tetapi juga ketidakadilan ekologis. Prinsip eco-justice menegaskan bahwa keadilan harus diberikan bukan hanya kepada manusia secara umum, tetapi juga kepada kelompok yang hidupnya bergantung secara langsung kepada kelestarian lingkungan di mana ia tinggal.
Implikasi dari pengabaian ini sangat luas. Di antaranya terjadi ratusan konflik agraria dalam setiap tahunnya dan terus meningkat sebagaimana yang dilaporkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kemudian saat komunitas lokal kehilangan haknya, mereka terpaksa mencari nafkah di tempat lain, yang sering berujung pada kemiskinan dan disintegrasi sosial. Pada akhirnya, kebijakan yang mengorbankan komunitas lokal demi proyek besar bukan hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi menghancurkan pelestarian alam di Indonesia.
Konsumerisme yang Mematikan
Kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia semakin konsumtif. Salah satunya didorong oleh kemudahan belanja daring dan penetrasi budaya populer. Tren fast fashion, pembelian gawai terbaru setiap tahun, serta gaya hidup instan menciptakan lonjakan sampah dan jejak karbon. Data KLHK tahun 2023 mencatat Indonesia menghasilkan lebih dari 21 juta ton sampah per tahun. Sebagian besar sampah itu berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang sudah kelebihan kapasitas. Jejak ini tidak hanya menumpuk di darat, tetapi juga mengotori laut.
Ekoteologi memandang konsumerisme sebagai bentuk kerakusan yang melawan prinsip kesederhanaan hidup. Banyak tradisi spiritual menekankan hidup secukupnya dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kelestarian alam. Namun, logika kapitalisme dan iklan mendorong kita untuk mengukur kebahagiaan dari kepemilikan barang, bukan dari keharmonisan hidup. Akibatnya, siklus produksi dan konsumsi berjalan tanpa memperdulikan dampak ekologis.
Dampak dari pola hidup ini sangat serius. Limbah elektronik mencemari tanah dengan logam berat beracun. Sementara industri pakaian cepat menguras air dan mencemari sungai. Perubahan gaya hidup menjadi tantangan utama bagi keberlanjutan. Sebab masalah ini bukan hanya persoalan regulasi, tetapi juga persoalan kesadaran dan nilai. Tanpa kesadaran untuk mengubah pola konsumsi, kerusakan ekologis akan terus berlipat ganda.
Polusi yang Dilegalkan
Di Indonesia, pencemaran lingkungan sering terjadi dengan restu kebijakan dan/atau lemahnya penegakan hukum. Sungai Citarum yang pernah dijuluki sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia, saat ini masih menjadi tempat pembuangan limbah industri meski ada program revitalisasi. Di Teluk Jakarta, kerusakan ekosistem laut dari kombinasi limbah industri, limbah domestik, dan proyek reklamasi. Banyak perusahaan lolos dari sanksi berat hanya dengan membayar kompensasi dan/atau memanfaatkan celah hukum.
Perspektif ekoteologi melihat fenomena ini sebagai bentuk kemunafikan struktural. Undang-undang lingkungan seharusnya melindungi seluruh ciptaan, bukan menjadi alat tawar-menawar. Ketika pencemaran “dilegalkan” melalui kompensasi finansial, prinsip moral bahwa alam adalah titipan Tuhan telah diabaikan. Dalam terminologi keadilan ekologis, ini sama saja dengan memperjualbelikan kesucian ciptaan.
Konsekuensinya jelas: ekosistem air tawar dan laut semakin rentan, nelayan kehilangan sumber penghidupan, dan warga kehilangan akses air bersih. Ketika polusi menjadi hal biasa, masyarakat mulai kehilangan sensitivitas ekologis. Hal ini sangat berbahaya. Sebab telah terjadi krisis alam dan krisis kesadaran kolektif untuk peduli terhadap lingkungan.
Melupakan Dimensi Spiritualitas Alam
Di banyak daerah di Indonesia, alam memiliki makna spiritual yang mendalam. Hutan adat di Kalimantan, gunung-gunung di Jawa, dan laut di Maluku sering dianggap sebagai ruang sakral yang menjadi bagian dari identitas komunitas. Namun, modernitas dan logika pasar sering mengikis kesadaran ini. Ritual seperti Sedekah Laut atau Rambu Solo sering dikomersialisasi hanya untuk pariwisata sehingga seringkali kehilangan makna ekologisnya.
Ekoteologi menegaskan bahwa dimensi spiritual alam adalah fondasi bagi keadilan ekologis. Ketika hubungan manusia dengan alam dilandasi rasa hormat dan syukur, eksploitasi berlebihan dapat dihindari. Hilangnya pandangan ini membuat kerusakan lingkungan dianggap wajar, bahkan menjadi bagian dari “kemajuan”.
Dampaknya, generasi muda tumbuh tanpa memahami makna ekologis dari ritual dan tradisi leluhur. Hubungan dengan alam menjadi dangkal, sebatas foto indah di media sosial. Padahal, tanpa dimensi spiritual ini, semua upaya pelestarian akan rapuh, karena kehilangan motivasi moral yang paling kuat: kesadaran bahwa merusak alam sama saja dengan merusak kehidupan itu sendiri.
Saatnya Melakukan Pertobatan Ekologis
Lima dosa besar keadilan ekoteologi di atas bukan sekadar daftar kesalahan, melainkan peta moral dari cara kita memperlakukan bumi. Indonesia punya semua modal untuk menjadi teladan peduli lingkungan. Dengan memiliki dan menjaga hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, garis pantai terpanjang kedua, dan kekayaan hayati yang tiada duanya. Tetapi modal itu bisa berubah menjadi kutukan jika nafsu eksploitatif, konsumerisme, dan pengabaian spiritualitas terus dibiarkan.
Keadilan ekologis menuntut keberanian untuk melawan arus. Saatnya melakukan pertobatan ekologis. Dengan membatasi diri ketika dunia memuja pertumbuhan tanpa batas, menghormati komunitas lokal ketika arus investasi mengabaikan mereka, dan menghidupkan kembali kesadaran rohani di tengah bisingnya pasar. Tanpa itu, “pembangunan” hanya akan menjadi eufemisme dari “penghancuran.”
Lalu, jika bumi ini pada akhirnya menagih semua yang telah kita ambil secara serakah, siapa yang akan kita salahkan? Pemerintah, korporasi, atau… cermin di depan kita?









