Kata “demokrasi” di Indonesia kerap hadir sebagai jargon yang manis di bibir, tetapi kenyataannya getir. Kita sering mendengar bahwa demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Namun, di tengah derasnya perkembangan kecerdasan artifisial (AI), definisi itu mulai bergeser. Ada aktor baru yang tak terlihat oleh rakyat, tak dipilih lewat pemilu, dan tak bisa diinterogasi di ruang sidang: algoritma. Mereka kini ikut menentukan informasi apa yang kita lihat, isu apa yang menguasai opini publik, bahkan arah keputusan politik kita.
Di era digital, suara rakyat tidak lagi hanya dihitung di bilik suara lima tahun sekali. Ia terbentuk setiap detik, dipantau oleh mesin yang belajar dari perilaku kita. Dari klik, like, share, hingga waktu berhenti membaca kita. Demokrasi pun menjadi ekosistem yang semakin bergantung pada data. Masalahnya, data ini tidak netral. Seperti halnya politisi, algoritma memiliki kepentingan: memaksimalkan keterlibatan, mempertahankan perhatian, dan pada akhirnya menguntungkan pemilik platform.
Ketika Rakyat Hanya Menjadi Data
Di Indonesia, media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) bukan sekadar ruang hiburan. Ia menjadi arena politik yang lebih panas dari gedung DPR. Selama kampanye, calon pemimpin tak lagi mengandalkan baliho dan pidato di alun-alun. Mereka membentuk tim digital yang mengolah data perilaku pemilih – mulai dari lokasi, umur, minat, hingga kecenderungan politik – untuk menargetkan pesan secara presisi.
Contoh paling mudah terlihat pada gaya komunikasi Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia. Sejak menjadi Wali Kota Solo hingga menjabat Wapres, Gibran memanfaatkan gaya bicara sederhana, ekspresi santai, dan momen-momen “tak terduga” yang sering viral di media sosial. Meski terlihat spontan, sebagian konten ini bekerja selaras dengan logika algoritma: potongan video singkat, caption yang mengundang reaksi, dan interaksi langsung dengan warga. Dalam politik digital, kesan otentik adalah strategi yang dipoles agar ramah algoritma.
Di tingkat provinsi, ada Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, juga memanfaatkan media sosial sebagai panggung kepemimpinan. Ia membagikan momen blusukan, dialog dengan warga miskin, dan kritik sosial yang tajam. Kontennya dirancang untuk memicu simpati sekaligus perdebatan: dua hal yang disukai algoritma.
Selanjutnya di tingkat desa, ada Kades Hoho di Banjarnegara yang memilih pendekatan humor. Ia mengemas program desa dalam video kocak yang membuat warga merasa dekat, meski yang dibahas adalah hal serius seperti pembangunan infrastruktur atau pengelolaan dana desa.
Tiga contoh di atas, kita dapat melihat pola yang sama: demokrasi lokal maupun nasional kini ikut dipengaruhi oleh “teater algoritma.”
Kedaulatan Digital
Kedaulatan dalam demokrasi seharusnya berada di tangan rakyat. Tetapi di era AI, kedaulatan digital sering kali berada di tangan segelintir perusahaan teknologi global yang bahkan tak berkantor di Indonesia. Mereka mengendalikan infrastruktur informasi, menyimpan data miliaran warga, dan mengatur algoritma yang mengarahkan opini publik.
Bagi tokoh seperti Gibran, Kang Dedi, dan Kades Hoho, platform digital adalah jalan untuk berkomunikasi dengan rakyat, tetapi juga membuat mereka tunduk pada logika algoritma yang tak transparan. Popularitas mereka di dunia maya bisa menanjak atau jatuh bukan hanya karena kerja nyata, tetapi karena keputusan mesin yang mengatur apa yang muncul di beranda publik.
Kecerdasan artifisial bukan hanya alat demokrasi; ia juga bisa menjadi senjata otoritarianisme. Dengan teknologi pengenalan wajah, analisis perilaku, dan pengawasan daring, pemerintah – jika tak diawasi – dapat memantau rakyat secara masif. Dalihnya bisa keamanan nasional, tapi prakteknya bisa melemahkan kebebasan sipil.
Bayangkan jika data interaksi digital diolah untuk memetakan siapa yang mendukung atau menolak pemerintah, lalu digunakan untuk mengarahkan distribusi bantuan atau program pembangunan. Di tangan pemimpin karismatik seperti Gibran atau Kang Dedi, strategi ini bisa menjadi alat konsolidasi kekuasaan yang halus, tetapi mengancam pluralisme politik. Bahkan di tingkat desa, Kades Hoho pun berpotensi memiliki “peta politik” warganya hanya dari pola komentar dan interaksi di media sosial desa.
Transparansi dan Akuntabilitas di Era AI
Demokrasi hanya bisa sehat jika prosesnya transparan dan akuntabel. Sayangnya, algoritma AI bersifat black box. Kita tidak tahu pasti bagaimana AI mengambil keputusan. Ketika sebuah unggahan politik tiba-tiba viral atau justru tenggelam, kita tidak tahu apakah itu murni karena minat publik atau karena algoritma sengaja mendorong atau menyembunyikannya.
Dalam konteks ini, baik Gibran di tingkat nasional, Kang Dedi di tingkat provinsi, maupun Kades Hoho di tingkat desa, perlu membangun transparansi ganda: bukan hanya transparansi kebijakan publik, tetapi juga transparansi cara mereka memanfaatkan teknologi dalam membentuk citra politik. Pemimpin yang visioner di era AI adalah mereka yang mau membuka “ruang kontrol” digitalnya kepada publik.
Demokrasi di era AI membutuhkan rakyat yang tidak hanya melek politik, tetapi juga melek teknologi. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, tetapi pemahaman bagaimana informasi diproduksi, dipilih, dan disebarkan oleh algoritma.
Tokoh seperti Kades Hoho bisa memimpin gerakan literasi digital di tingkat desa, menganjurkan dan memfasilitasi warganya mengenali hoaks dan membedakan kritik konstruktif dari provokasi. Kang Dedi dapat memanfaatkan jaringan Pemprov untuk mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah. Sementara Gibran, sebagai Wapres, punya ruang untuk mendorong kebijakan nasional yang mengatur transparansi algoritma dan perlindungan data rakyat.
Demokrasi yang Bertransformasi
Meski penuh risiko, AI juga membuka peluang transformasi demokrasi. Dengan analisis data yang cepat dan akurat, kebijakan publik bisa lebih tepat sasaran. Sistem partisipasi daring bisa membuat warga terlibat dalam pengambilan keputusan tanpa harus hadir secara fisik. AI juga bisa membantu memerangi korupsi dengan memantau transaksi dan mendeteksi pola yang mencurigakan.
Gibran, misalnya, dapat mendorong pemanfaatan AI untuk memetakan kemiskinan nasional secara real time. Kang Dedi dapat memanfaatkan teknologi serupa untuk memperkuat program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat. Dan Kades Hoho dapat menggunakan aplikasi sederhana berbasis AI untuk memantau dan melaporkan pembangunan desa secara transparan kepada warganya.
Demokrasi di era kecerdasan artifisial adalah medan yang kompleks. Di satu sisi, AI dapat memperluas partisipasi rakyat, mempercepat transparansi, dan meningkatkan efisiensi kebijakan. Disisi lain, AI bisa menjadi alat manipulasi dan pengawasan yang mengikis kebebasan.
Bagi Indonesia, tantangan ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi soal kedaulatan, keadilan, dan masa depan politik. Figur seperti Gibran, Kang Dedi, dan Kades Hoho menunjukkan bahwa kepemimpinan di era AI membutuhkan keahlian ganda: memahami denyut rakyat sekaligus menguasai logika algoritma. Demokrasi tidak boleh sekadar menyesuaikan diri dengan AI; Ia harus mengarahkan AI agar setia pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya sistem, tetapi janji bahwa setiap warga punya hak untuk menentukan masa depan tanpa diintervensi oleh kekuatan yang tak terlihat, baik itu manusia maupun mesin.









