Tragedi Affan Kurniawan: Luka Lama Yang Terulang

Sejarah politik Indonesia kerap ditandai oleh momen ketika rakyat turun ke jalan. Demonstrasi tidak hanya mencatat tuntutan politik, tetapi juga menghadirkan drama kemanusiaan. Pada 2001, demonstrasi menjadi bagian dari proses jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dua dekade kemudian, kita menyaksikan gelombang demonstrasi baru dengan tuntutan “Bubarkan DPR”. Di tengah aksi massa itu, muncul peristiwa tragis: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meninggal setelah terlindas mobil taktis barikade pengamanan. Kisah Affan menghadirkan dimensi baru: demonstrasi bukan hanya soal politik, tetapi juga soal nyawa dan keselamatan rakyat biasa.

Gus Dur, presiden ke-4 RI, jatuh pada 2001 melalui Sidang Istimewa MPR setelah konflik panjang dengan parlemen. Demonstrasi di jalanan kala itu memperkuat posisi DPR/MPR sebagai kekuatan yang menyalurkan “suara rakyat”. Mahasiswa, aktivis, dan kelompok sipil berbondong-bondong turun ke jalan, sebagian mendukung Gus Dur, sebagian menuntut penggulingannya.

Namun, di balik drama politik itu, rakyat biasa tidak banyak dicatat. Mereka menyaksikan ketidakpastian dari rumah, pasar, dan terminal. Demonstrasi di era itu lebih dilihat sebagai tarik-menarik elite politik, bukan perjuangan keseharian rakyat kecil. Gus Dur pun tumbang, tetapi persoalan mendasar seperti korupsi, oligarki, dan kesenjangan sosial tetap bercokol.

Hari ini, situasinya berbeda. Bukan presiden yang menjadi sasaran utama, melainkan DPR. Lembaga ini dianggap sarang korupsi, penuh transaksi politik, dan abai terhadap aspirasi rakyat. Demonstrasi dengan tuntutan “Bubarkan DPR” bukan sekadar simbol kekecewaan, tetapi ekspresi frustrasi kolektif terhadap lembaga yang seharusnya menjadi representasi rakyat.

Di titik ini, sejarah tampak berulang namun dengan arah berbeda: bila dulu DPR dianggap sebagai saluran aspirasi untuk menumbangkan presiden, kini DPR justru dianggap sebagai masalah utama yang perlu digugat legitimasinya.

Di tengah riuh tuntutan politik, publik dikejutkan oleh berita meninggalnya Affan Kurniawan, seorang ojol yang tewas terlindas mobil barakade saat demonstrasi. Affan bukan politisi, bukan elite, bahkan mungkin bukan peserta aksi utama. Ia hanyalah rakyat biasa yang sedang bekerja mencari nafkah, tetapi hidupnya terenggut dalam pusaran politik jalanan.

Kasus Affan mengingatkan bahwa demonstrasi tidak hanya berdampak pada relasi antara rakyat dan negara, tetapi juga membawa risiko nyata bagi keselamatan individu. Setiap nyawa yang melayang adalah cermin betapa demokrasi kita belum sepenuhnya mampu melindungi warganya, terutama mereka yang paling rentan. Dalam tragedi ini, kita melihat demokrasi yang seharusnya menjamin kehidupan justru menyisakan kematian.

Affan Kurniawan menjadi simbol tubuh rakyat kecil yang sering kali tak dianggap dalam kalkulasi politik. Nyawanya melayang bukan karena ia berseberangan dengan pemerintah, tetapi karena ia berada di ruang yang sama dengan konflik kekuasaan. Kehilangan Affan menegaskan bahwa demonstrasi bukan sekadar ajang adu gagasan, tetapi juga medan berbahaya di mana rakyat kecil bisa menjadi korban tanpa suara.

Jika pada 2001 rakyat hanya menjadi penonton atas jatuhnya Gus Dur, maka hari ini rakyat justru ikut menanggung risiko langsung, bahkan hingga kehilangan nyawa. Affan adalah potret bagaimana demokrasi prosedural tanpa perlindungan substantif bisa memakan korban yang tak bersalah.

Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang membela kaum kecil, minoritas, dan yang terpinggirkan. Ironisnya, dua dekade setelah kejatuhannya, rakyat kecil seperti Affan justru menjadi korban paling nyata dari demonstrasi politik. Refleksi ini penting: kita boleh menuntut perubahan, tetapi jangan sampai nyawa rakyat kecil menjadi harga yang harus dibayar.

Affan seharusnya tidak sekadar dikenang sebagai “korban demonstrasi”, tetapi sebagai pengingat bahwa demokrasi yang tidak berpihak pada rakyat hanyalah panggung kosong. Ia mengingatkan kita akan urgensi mengembalikan demokrasi kepada esensi utamanya: melindungi martabat dan keselamatan manusia.

Dari kejatuhan Gus Dur hingga kematian Affan, kita belajar bahwa demokrasi tidak bisa hanya bertumpu pada demonstrasi. Demonstrasi memang penting sebagai penanda aspirasi, tetapi perubahan sejati hanya lahir bila diikuti pembenahan institusional. DPR yang rusak harus direformasi, bukan hanya dibubarkan tanpa arah. Negara harus hadir melindungi rakyat, bukan menghadapkan mereka pada barakade dan risiko maut.

Tanpa perombakan institusi, demonstrasi hanya akan mengulang lingkaran krisis: Gus Dur jatuh, DPR dibubarkan, lalu apa setelah itu? Pertanyaan ini sama pentingnya dengan jeritan keluarga Affan yang kehilangan tulang punggung hidup mereka: siapa yang akan bertanggung jawab atas nyawa yang hilang?

Demonstrasi penggulingan Gus Dur dan demonstrasi pembubaran DPR hari ini memperlihatkan bagaimana suara rakyat berulang kali menjadi energi perubahan. Namun, keduanya juga memperlihatkan sisi gelap: politik yang sering kali mengorbankan rakyat kecil.

Kisah Gus Dur mengingatkan kita bahwa demokrasi membutuhkan etika, toleransi, dan keberanian moral. Kisah Affan Kurniawan menegaskan bahwa demokrasi juga membutuhkan perlindungan nyata terhadap rakyat kecil. Jika dua pelajaran ini digabungkan, maka demonstrasi tidak lagi berhenti sebagai ritual krisis, melainkan bisa menjadi momentum membangun demokrasi yang lebih manusiawi.

Dengan begitu, refleksi kita tidak hanya berhenti pada jatuhnya seorang presiden atau teriakan “bubarkan DPR”, tetapi juga pada tekad kolektif untuk memastikan tidak ada lagi Affan Kurniawan lain yang harus kehilangan nyawanya demi pertarungan politik yang tak pernah usai.

Pegiat literasi dan pecinta Gus Dur. Aktif di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *