Di mana Tokoh Perempuan Wonosobo di Era Huru-Hara Negara?

Dalam kurun waktu 25 Agustus hingga awal September 2025 ini, berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa dan organisasi sipil, melakukan aksi demonstrasi secara damai di sejumlah wilayah di Indonesia. Aksi tersebut merupakan bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi, sebagai respons atas berbagai kebijakan negara yang dinilai merugikan rakyat serta mencerminkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.

Tak terkecuali di Kabupaten Wonosobo, berbagai elemen yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Wonosobo Bersatu (ARWB) melangsungkan aksi long march pada (Sabtu, 30/8/25) di Kantor Bupati Wonosobo, dengan delapan tuntutan utama yang dilayangkan, yaitu:

  1. Mengadili aparat yang bertanggung jawab atas kematian Affan Kurniawan secara terbuka.
  2. Membubarkan DPR dan menggantinya dengan Dewan Rakyat sebagai representasi sejati rakyat.
  3. Melakukan reformasi total terhadap institusi kepolisian.
  4. Menghentikan proyek penulisan ulang sejarah yang diduga mengaburkan fakta bangsa.
  5. Menolak revisi dan pengesahan UU TNI, RKUHP, serta RKUHAP.
  6. Menuntut transparansi penuh terkait penghasilan dan fasilitas anggota DPR.
  7. Menolak rencana kenaikan gaji DPR yang dinilai tidak berpihak pada keadilan sosial.
  8. Membebaskan massa aksi yang ditahan tanpa proses hukum yang adil.

Puncak aksi damai ini selesai ketika massa berhasil mendesak Bupati Wonosobo, Ketua DPRD, dan Kapolres untuk menandatangani surat pernyataan kemudian dikirimkan dengan tujuan ke Senayan melalui kantor pos daerah. Tak hanya isu nasional, beberapa isu lokal pun menjadi nyanyian merdu yang dikumandangkan saat orasi berlangsung, seperti jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, dan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum di sekolah dasar maupun menengah.

Tak kalah menggelitik manakala Ketua DPRD Wonosobo (seorang laki-laki, a.n Eko Prasetyo) salah pengucapan dalam melafalkan sila-sila yang ada di Pancasila, di mana seharusnya sila ke-2 berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” dia menempatkan sila ke-5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” pada urutan pengucapan kedua.

Ini menjadi pertanyaan bagi kita yang dipimpinnya, apakah mungkin menjadi seorang pemimpin rakyat tidak hafal dasar negara yang bersifat sakral yang seharusnya menjadi pedoman, landasan, dan prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara? Bagaimana kemudian implementasi penjiwaan dari setiap sila saat ia mengambil kebijakan untuk hajat hidup orang banyak khususnya di Wonosobo? Sementara ia merupakan simbol representasi wakil rakyat yang kita harapkan dapat berpengaruh dalam stabilisasi kehidupan sosial politik masyarakat.

Sebenarnya fokus saya bukan pada semua persoalan di atas, meskipun memang rasa sadar dan empati itu perlu kita tumbuhkan sesama warga alias masyarakat sipil yang dijamin oleh undang-undang dalam menyuarakan pendapat. Seperti yang dilontarkan salah satu koordinator lapangan aksi kemarin, “Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 jelas disebutkan bahwa setiap warga negara bebas menyampaikan pendapat. Selain itu, tindakan represif aparat merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 28E ayat (3),” ujar Ahmad.

Lebih dari itu, kefokusan lain yang membuat saya bertanya lebih dalam dan penasaran yakni di manakah peran serta tokoh perempuan dalam hal ini pemangku kebijakan, influencer lokal, atau ketua-ketua yang membawahi organisasi massa (ormas) baik umum maupun keagamaan yang turut menyuarakan empatinya pada kondisi negara saat ini. Bukan menghakimi perihal ketidakaktifan mereka mengawal berbagai polemik yang terjadi, atau mendikte kejelasan sikap yang mereka ambil dalam perannya sebagai leader yang lahir dari rahim perjuangan yang sama-sama disebut “rakyat”, namun alangkah baiknya mereka bersuara lebih keras, itung-itung sebagai bukti dari ikrar organisasi dan jabatan yang mereka miliki.

Berbagai tangkapan layar ini menjadi bukti bagaimana heningnya suara perempuan di Wonosobo dalam memberikan pendapat, “puasa ngomong” barangkali jadi senjata saat media meliput. Atau justru sama sekali belum ada waktu mengikuti perkembangan gejolak yang saat ini melanda menuju krisis demokrasi.

Pengamatan saya juga tidak luput dari angle media massa yang sama sekali tidak menyoroti keikutsertaan perempuan dalam mengawal tegaknya demokrasi melalui aksi damai. Ini bukan perihal pembungkaman, melainkan ketakutan akan bayangannya sendiri sebagai perempuan manakala ia bersuara, barang tentu juga menjadi pengaminan atas ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Saya memang terlahir perempuan dan selamanya akan jadi perempuan. Namun, hasil pengamatan saya ini sungguh menjadi momok bagi perempuan itu sendiri. Bahwa memang, dalam status sosialnya di masyarakat perempuan secara wajah publik masih tersubordinasi dengan peran laki-laki. Artinya, fenomena ini berulang tidak hanya satu dua persoalan, banyak persoalan yang mana di situ dengan kesempatan yang sama dan seharusnya turut lantang bersuara, bertindak, dan memobilisasi empati sering kali justru tidak dapat ruangnya, padahal saat inilah momennya.

Para tokoh perempuan khususnya di Wonosobo sejauh saya mengamati, minim memadupadankan aksi untuk solidaritas. Tentu saya juga memaklumi karena banyak faktor penghambat, salah satunya prioritas profesi yang menuntut lebih banyak waktu, tenaga, dan fisiknya. Tetapi, bagaimana perempuan itu akan menunjukkan eksistensinya? Ketika tidak menepikan sedikit gagasan dan aksinya untuk dimunculkan ke publik?

Sementara, data BPS Kabupaten Wonosobo pasca-Pileg 2024 menunjukkan keterwakilan perempuan yang duduk di kursi legislatif meningkat jumlahnya dari yang tadinya 2 anggota menjadi 5 dari jumlah keseluruhan 45 anggota DPRD, artinya 11,1 persen yang berhasil mewakili perempuan se-Kabupaten dari total seratus persen (100%). Ini menunjukkan peningkatan secara kuantitas peran perempuan dalam wilayah publik. Data tersebut merupakan satu dari sekian pemaparan kuantitas perempuan yang menduduki kepentingan publik secara strategis.

Kita tak boleh menutup mata, sektor publik yang lain pun tentu diisi oleh banyak perempuan. Maka, ketika kita mengaku menjadi perempuan sejati yang memang lahir di kota tercinta ini, sudah sepatutnya bersama meningkatkan mutu atau kualitas suara yang dihasilkan dalam representasinya berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat, terlebih tanggapan aktif ketika kondisi negara bergejolak. Apapun ikhtiar yang dilakukan, ini menjadi gerakan solidaritas bersama saling jaga antarwarga.

Penggerak Komunitas GUSDURian Wonosobo, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *