Dorong Inklusivitas, GUSDURian Jember Ajak Wujudkan Rumah Ibadah Ramah Anak dan Difabel

JEMBER – Komunitas GUSDURian Jember menyelenggarakan diskusi tentang pentingnya rumah ibadah ramah anak dan difabel bersama komunitas lintas iman, komunitas peduli perempuan, mahasiswa, komunitas difabel, dan komunitas pendidikan pada Selasa, 16 September 2025.

Kegiatan yang bertajuk Dialog Lintas Iman dan Budaya Jember 2025 ini diselenggarakan di Aula Gereja Katolik Santo Yusup Jember.

Mahmud Zain, Koordinator Penggerak GUSDURian Jember memaparkan bahwa dialog lintas iman dan budaya yang diselenggarakan di rumah ibadah ini merupakan salah satu rekomendasi Temu Nasional Jaringan GUSDURian 2025.

Laki-laki yang akrab disapa Zain ini juga menekankan bahwa kegiatan tersebut adalah ikhtiar bersama untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan di tengah praktik nirkemanusiaan yang menimpa para pejuang demokrasi dalam kurun Agustus hingga September 2025.

Ikhtiar tersebut menurutnya perlu dilakukan dengan kerja sama dengan para pengambil kebijakan (multistakeholder).

Romo Yoseph Utus, pimpinan Gereja Katolik Paroki Santo Yusup Jember, dalam sambutannya memaparkan bahwa dirinya terkesan pada prinsip kemanusiaan yang didapatkannya dari Gus Dur dalam sesi perkuliahan singkat pada awal 2000-an.

“Gus Dur mengajarkan pertama, kemanusiaan di atas segalanya, kedua, pentingnya toleransi tanpa memandang suku, agama, dan identitas lain, dan ketiga, tanpa nilai-nilai kemanusiaan, konflik dan kekerasan dapat muncul di mana-mana,” kisahnya.

Teguh Kasiyanto, mantan koordinator penggerak GUSDURian Jember, dalam paparan materinya menyoroti maraknya individu yang secara luring toleran dan saleh sosial, namun secara virtual di media sosial agresif dan reaksioner.

“Kini kita melihat banyak orang memiliki dua identitas, identitas fisik dan identitas virtual yang bebas mengolok, menyebabkan individu saleh sosial namun tidak saleh secara digital,” papar Teguh.

Meski demikian, laki-laki yang akrab disapa Teguh ini, memaparkan optimisme, bahwa setiap individu masih memiliki potensi untuk berbuat lebih baik.

Ia juga mengajak para peserta untuk belajar dari komitmen pengelola Gereja Katolik Santo Yusup yang selama bertahun-tahun telah berusaha menerapkan rumah ibadah yang inklusif, karena telah memberikan kemudahan pada umatnya yang difabel untuk mengakses ruang ibadah dan ruang lain.

Ia sekaligus menyoroti masih banyaknya rumah ibadah yang belum ramah pada difabel.

Teguh berharap agar tokoh agama dan pengelola rumah ibadah dapat membina jemaatnya yang difabel dan mendampingi umatnya saleh sosial dan saleh digital agar menjadi umat beragama yang paripurna, tidak mudah dimanfaatkan dan dimobilisasi, menghargai budaya lokal, dan cinta damai.

Sugeng Riyadi, Kabid Perlindungan Anak DP3AB Jember, dalam paparan materinya menyampaikan partisipasi Pemerintah Kabupaten Jember dalam mendorong akses rumah ibadah ramah anak dan inklusif untuk disabilitas.

Pria yang akrab disapa Sugeng ini memaparkan 31 hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Indonesia.

Sugeng juga memaparkan pentingnya percepatan perwujudan rumah-rumah ibadah ramah anak dengan memperkuat kerja sama multistakeholder. Menurut Sugeng, penting untuk tidak hanya memastikan bahwa lingkungan rumah ibadah ramah anak, namun juga perlu memastikan bahwa proses pembelajaran pendidikan agama dilaksanakan dengan ramah anak dan melibatkan multipihak.

Faisol Abrori, Kasubag Kantor Kemenag Jember, dalam paparan materinya menyampaikan bahwa Kementerian Agama telah mengeluarkan aturan agar pengembangan rumah ibadah dilakukan dengan memperhatikan hak difabel dan sedang fokus mempromosikan ekoteologi.

Laki-laki yang akrab disapa Faisol ini juga mengusulkan agar GUSDURian Jember memilih diksi tema dengan kalimat positif agar menginternalisasi pesan positif pada publik.

Selain itu, Faisol juga menyoroti peran komunitas lintas iman untuk memperkuat empati, menanamkan pendidikan perdamaian, memperkuat solidaritas dan gotong royong, uswatun hasanah, dan penguatan jaringan.

Zainuri Rofi’i, Ketua Perpenca Jember, dalam sesi diskusi memaparkan bahwa penyandang disabilitas masih kerap kesulitan menjangkau serambi masjid, mengakses tempat wudu, tempat salat, dan toilet.

Laki-laki yang akrab disapa Zainuri ini mengapresiasi beberapa masjid di Jember yang telah relatif ramah kaum difabel karena akses ke tempat salatnya mudah dijangkau oleh penyandang disabilitas fisik.

Zainuri berharap agar masjid dan rumah ibadah lain menyediakan jalur khusus untuk mempermudah akses penyandang disabilitas fisik untuk beribadah dan menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk memudahkan penyandang disabilitas pendengaran.

Mochammad Zaka Ardiansyah, Direktur Gus Dur Corner UIN KHAS Jember, menggarisbawahi bahwa idealnya pemerintah dan masyarakat sipil perlu diposisikan secara sejajar, tidak diametral, karena masing-masing memiliki peran yang sama untuk menyukseskan agenda bangsa.

Pria yang akrab disapa Zaka juga menekankan pentingnya rumah ibadah sebagai arena pengasuhan alternatif bagi anak. Selain itu, ia juga mengajak peserta dan perwakilan pemerintah untuk berkolaborasi mewujudkan rumah ibadah ramah anak melalui permainan aman dan menyenangkan bagi anak di rumah ibadah.

Zaka mencontohkan praktik baik rumah ibadah ramah anak di Turki, yang membuat anak-anak betah beraktivitas di tempat ibadah.

“Imam masjid di Turki mengajak anak-anak bermain-main selesai salat, sehingga anak-anak bisa dekat dengan rumah ibadah,” paparnya.

Selain itu, beberapa peserta juga memaparkan praktik kekerasan simbolik dan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak desa dan pentingnya mengintegrasikan edukasi kesehatan reproduksi di lembaga pendidikan serta mendiskusikan kembali makna kafir bagi umat beragama lain di Indonesia.

Safitri Zubaidah, Sekretaris PW PGM Jawa Timur, memaparkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di desanya. Ia berharap DP3AKB memberikan advokasi pada anak-anak yang lahir dari orang tua korban kekerasan seksual.

Leni Maulita Sari, Kepala Sekolah Perempuan Jember, menggarisbawahi bahwa angka perceraian tinggi dan telah mencapai 4000 lebih kasus. Ia berharap pesantren mengajarkan edukasi kesehatan reproduksi sejak dini di pesantren.

Syafi’, penggerak GUSDURian Jember, mengajak para peserta bersama-sama merefleksikan praktik kekerasan dan toleransi di lembaga pendidikan keagamaan. Ia mengajak untuk mendiskusikan kembali penggunaan ragam istilah kafir dalam konteks Indonesia kontemporer.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jember. Direktur Gus Dur Corner UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *