Beberapa waktu lalu, banyak sekali akun media sosial yang mem-posting upah yang didapatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak yang menyoroti besarnya gaji dewan meski kinerjanya dipertanyakan. Yang bikin merinding, ada tunjangan tempat tinggal mencapai 50 juta rupiah per-bulan. Artinya, dalam satu tahun, DPR mendapat tunjangan tempat tinggal hingga 600 juta!
Alasannya, untuk periode ini DPR tidak lagi diberi rumah dinas. Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menyebut jumlah ini lebih ekonomis dibanding harus merawat perumahan DPR di Kalibata yang konon menelan 100-an miliar setiap tahunnya.
Pernyataan ini patut dipertanyakan. Pada 2024, Tempo pernah meliput suasana perumahan DPR di bilangan Kalibata. Di sana jumlah rumahnya sekitar 100 unit. Luasnya 250 meter persegi dengan dua lantai. Perumahan itu terawat dan asri. Sialnya, dengan spek seistana itu untuk ukuran masyarakat kebanyakan, kenapa malah tidak digunakan lima tahun ke depan?
Penjelasan orang DPR terasa sekali sebagai tone deaf yang kurang ajar di tengah masyarakat tercekik banyak lika-liku kehidupan. Belum lagi Indonesia sekarang dihadapkan pada ancaman generasi muda yang tak mampu membeli rumah.
Salah satu yang paling nelangsa melihat kenyataan itu tentu saja dosen. Untuk menjadi dosen, seseorang memerlukan banyak sekali tahapan dan pengorbanan selama hidupnya. Namun secara gaji, angka 50 juta bisa jadi merupakan pendapatannya selama setahun.
Gaji segitu didapatkan oleh dosen tetap di kampus lumayan yang sudah melalui berbagai ujian administratif selama bertahun-tahun. Sementara dosen tidak tetap lebih nelangsa lagi. Mereka digaji per SKS dengan jumlah maksimum bisa jadi 2 juta saja per satu semester di satu mata kuliah. Sering kali gajinya baru dibayar berbulan-bulan setelah ujian akhir semester berakhir.
Kenyataan ini membuat banyak lulusan yang brilian enggan mengajar di kampus. Mereka lebih memilih membangun karir yang bisa menjamin kebutuhan hidupnya. Sementara dosen masih dianggap sebagai profesi pengabdian yang secara struktur dan kultur tidak boleh digaji tinggi. Bahkan seorang menteri sampai mempertanyakan apakah semua harus dibebankan ke negara?
Padahal, jika mau bijaksana, menteri tersebut bisa menggunakan pertanyaan serupa kepada DPR soal tunjangan rumah ini. Mereka sudah digaji besar, tunjangan jumbo, diberi jatah rumah lagi. Kalau enggak mau menempati hanya karena kurang mewah, ya sudah cari sendiri saja. Gunakan gaji untuk mencari apartemen atau sejenisnya.
Mengapa semua harus dibebankan ke negara?
Kembali ke gaji dosen. Dengan gaji dan tunjangan untuk jabatan yang lumayan (menurut beberapa teman berkisar 7-10 juta), jumlah tersebut sudah termasuk tunjangan untuk tempat tinggal. Mereka tidak diberi rumah dinas layaknya abdi negara di beberapa institusi plat merah. Banyak sekali dosen muda yang sampai menjual warisan di kampung demi memiliki sebidang tanah di kota-kota tempatnya mengajar.
Inilah wajah pengajar yang sesungguhnya. Mungkin banyak orang melihat dosen sekeren itu, bisa ke sana ke sini, meneliti ini itu, dan sebagainya. Apalagi sebagian dosen-dosen di kampus banyak jadi konsultan di Jakarta. Padahal wira-wirinya ke luar kota lebih karena tuntutan keadaan. Kampus, meski semakin ke sini dikelola mirip industri, namun levelnya masih UMKM yang belum mampu menjamin kesejahteraan ‘buruh’nya.
Ditambah, menjadi dosen saat ini tidak mudah. Lulusan S2 masih harus menjalani fase di-TU-kan. Ya, benar. Para dosen muda yang baru diterima biasanya tidak langsung mendapat kesempatan untuk mengajar. Jika ingin langsung dapat jam mengajar, pendaftar minimal harus lulus S3.
Anti-ideologi
Saya punya banyak teman yang dengan niat suci mengabdi untuk negeri melalui jalur dosen. Mereka ada yang berkhidmah di kampus baru, ada juga yang masuk top tier di Indonesia yang biayanya lumayan.
Ternyata, meski uang kuliah tunggalnya menjulang tinggi, gaji pokok dosen-dosen tetap sopan sekali. Di Kampus A, ada seorang teman bercerita pendapatan pokoknya sekitar 4 juta per bulan. Ini belum termasuk tunjangan yang jika ditotal bisa sampai 10 juta. Namun angka ini harus ditempuh dengan mengurus berbagai tahapan administrasi, mengurangi jam tidur, family time, hingga kesehatan.
Belum lagi risiko perubahan aturan yang membuat tunjangan dosen terkendala seperti beberapa waktu yang lalu. Ini pun masih ditambah persoalan kultural semacam intrik-intrik yang membuat dosen anyar tidak boleh terlalu ‘kelihatan’. Jika ngawu-awu, bisa terancam dimarjinalkan dari circle tempat kerjanya. Risiko lain, ia akan jadi langganan untuk berbagai jenis tugas yang hanya dibayar dengan 2M, matur suwun mas/mbak.
Jika jadi dosen yang penghasilannya tak seberapa harus melalui proses sedemikian luar biasa, mengapa menjadi dewan tidak demikian? Untuk menjadi anggota parpol, sebagian besar partai masih menggunakan popularitas sebagai ukuran.
Tak mengherankan artis-artis dan pesohor bisa dengan mudah melenggang ke Senayan. Mereka punya sumber daya untuk melicinkan langkah sebagai anggota partai politik dan modal popularitas untuk mengakali sistem pemilihan yang menempatkan kuantitas sebagai ukuran.
Simple saja. Berapa persen jumlah anggota DPR yang menuliskan gagasannya tentang politik? Eh, terlalu berat pertanyaannya karena jawabannya sudah predictable. Standarnya kita turunkan saja. Tidak perlu menulis, berapa banyak di antara mereka yang pernah mengikuti pendidikan politik dan membaca pikiran-pikiran para ilmuwan politik?
Minusnya pengetahuan politik berimbas pada kondisi anti-ideologi di iklim politik kita yang katanya demokratis. Gus Dur menyebutnya sebagai demokrasi seolah-olah. Di masa lalu, ideologi begitu keras diperjuangkan. Sebuah rezim ideologi yang berkuasa akan menentukan nasib bangsa dalam tahun-tahun setelahnya. Kebijakan-kebijakan yang dijalankan pun berdasar ideologi partainya. Beberapa negara yang masih menjalankan politik ideologi mengerti betul bedanya dipimpin rezim liberal versus sosialis.
Di Indonesia, siapa pun yang berkuasa rasanya begitu-begitu saja. Ruang sudah tersegmentasi menjadi elite dan sipil. Di ruang elite, kompromi dikemas sebagai gotong royong. Laporan pencapaian atau kesuksesan disampaikan seperti sedang membicarakan bumi yang lain. Sialnya, para elite berusaha mengukur standar kelayakan yang ditujukan hanya bagi kalangan mereka dan kroni-kroninya.
Sementara di ruang sipil, standar kelayakan begitu memprihatinkan. Upah minimum dinaikkan tak seberapa, namun negara tidak berdaya mengatur kenaikan harga pokok yang meroketnya ugal-ugalan. Daya beli bukannya naik malah semakin terpuruk.
Di kondisi yang serba mepet, DPR justru bersorak saat pemerintah menaikkan tunjangan beras, listrik, asisten rumah tangga, dan segala jenis printilan hingga jutaan rupiah bagi mereka. Bahkan, usulan tunjangan tempat tinggal 50 juta/bulan disambut jogetan tanpa mempertimbangkan kondisi kesulitan yang dialami masyarakat kebanyakan.
Hilangnya nurani dan keberpihakan para elite politik terhadap rakyatnya mungkin jadi kalimat sederhana yang bisa menjawab mengapa ini bisa terjadi. Regulasi yang semestinya meminimalisir jurang ketimpangan, justru dibuat untuk mempertontonkan bahwa ruang elite dan sipil memang berbeda. Kata ‘wakil rakyat’ seperti jadi penegasan biar mereka saja mewakili menikmati kemewahan ini. Sementara rakyat cukup mencicipinya melalui konten-konten di media sosial.
Kita tengah berada dalam fase yang menentukan. Apakah kondisi ini terus berlanjut sehingga semakin banyak orang yang merasa terdesak hari-harinya. Atau para elite mulai berhitung bahwa gelombang kesadaran masyarakat bisa jadi tsunami sewaktu-waktu. Hanya sejarah yang bisa menjawab nantinya.









