“Hampir tidak ada gunanya menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya adalah manusia.”
Kalimat di atas ditulis Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Ensiklik merupakan surat edaran yang ditulis Paus dan ditujukan kepada para uskup, umat Katolik, dan manusia di seluruh dunia. Ensiklik Laudato Si’ sendiri menyoroti kerusakan bumi yang semakin memprihatinkan.
Parahnya, kita terlalu sering menyebut bencana alam sebagai takdir Tuhan yang harus kita hadapi begitu saja tanpa introspeksi diri bahwa manusialah sumber masalahnya. Sikap berlebih-lebihan ini yang seharusnya kita batasi. Paus Fransiskus menulis, “Jika akar masalahnya adalah manusia, maka kunci solusinya juga manusia.” Melalui ensiklik ini, Paus Fransiskus mau mengajak seluruh umat manusia untuk bekerja sama untuk merawat bumi sebagai rumah kita bersama.
Dalam laudatosiactionplatform.org dijelaskan bahwa ensiklik ini memuat tujuh tujuan besar yang isinya bukan hanya berbicara tentang alam, melainkan juga kemanusiaan. Ketujuh tujuan tersebut meliputi: tanggapan terhadap tangisan bumi, tanggapan terhadap tangisan orang miskin, ekonomi ekologis, penerapan gaya hidup berkelanjutan, pendidikan ekologi, spiritualitas ekologi, serta ketahanan dan pemberdayaan masyarakat.
Pertama, dalam tanggapan terhadap tangisan bumi, Paus menilai ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan, yaitu mengadopsi energi terbarukan dan langkah-langkah kecukupan energi, mencapai netralitas karbon, melindungi keanekaragaman hayati, mempromosikan pertanian berkelanjutan, dan menjamin akses air bersih bagi semua.
Kedua, terkait tanggapan terhadap tangisan orang miskin Paus ingin menggugah kesadaran manusia bahwa tujuan mereka di dunia ini salah satunya adalah melindungi sesama manusia dan segala bentuk kehidupan di dunia. Kaum miskin dan rentan menjadi salah satu prioritas yang perlu diperhatikan, mengingat dampak perubahan lingkungan paling parah menimpa mereka.
Ketiga, isu sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan adalah hal yang berkaitan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Dalam konteks ekonomi ekologis, Laudato Si’ menekankan tindakan nyata seperti transisi energi terbarukan dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab.
Keempat, Paus Fransiskus juga menyoroti penerapan gaya hidup berkelanjutan yang menekankan gagasan akan gaya hidup yang berkecukupan dan tidak berlebih-lebihan. Gaya hidup ini mendorong agar umat lebih bijak dalam penggunaan sumber daya dan energi.
Kelima, poin pendidikan ekologi mencakup pemerataan pendidikan dan juga peningkatan kesadaran dan tindakan ekologis melalui jalur pendidikan. Keenam, sementara spiritualitas ekologi akan menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ciptaan dan hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan Bumi. Ketujuh, terkait ketahanan dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung komunitas agar aktif mengambil bagian dalam upaya-upaya menjaga alam dan sesama.
Tujuan-tujuan ini mencakup bukan hanya aspek alam saja tapi juga kemanusiaan, karena bagi Paus Fransiskus dua hal itu setara, saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Penulis juga ingin menyoroti bagaimana Paus Fransiskus tidak hanya menyinggung perilaku umat manusia sebagai individu, tapi ia mengharapkan perubahan dari berbagai elemen masyarakat. Pelaku industri, pemerintah, para pemimpin negara, dan tentu pemimpin agama harus bekerja sama dan membuat kebijakan radikal sesegera mungkin jika bumi ini selamat.
Kini masyarakat sudah mulai melek krisis iklim. Di banyak daerah bermunculan inisiasi-inisiasi pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan, upaya menjaga kebersihan, dan mengurangi sampah plastik. Tapi jika pelaku industri dan pemangku kebijakan malah saling berjabat tangan untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya, maka mustahil bumi ini bisa bertahan lebih lama.
Menilik Laudato Si‘ lebih dalam membuat penulis teringat kejadian beberapa waktu yang lalu saat pemerintah kita sibuk bagi-bagi tambang untuk ormas keagamaan di Indonesia. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) atau uskup gereja Katolik se-Indonesia secara tegas menolak tawaran izin pengelolaan tambang. Spirit Laudato Si’ seperti sudah terinternalisasi dan bukan jadi omon-omon saja di Indonesia.
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan, “Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya”. Disusul dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menolak mengelola tambang setelah mendapat masukan dari masyarakat adat agar tidak terlibat dalam industri ekstraktif pertambangan. PGI memilih teguh menjaga sikap kritis mereka dalam isu keadilan lingkungan.
Apakah penolakan itu berdasarkan motif agama? Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi yang jelas, peran pemimpin agama dalam menjaga alam dan kemanusiaan menjadi sangat krusial. Selain karena bumi ini sudah di ambang batas kerusakan, tapi bukankah memang semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup tidak berlebih-lebihan dan menjaga keselarasan dengan alam?









