Sebagian dari kita, mungkin, masih mengejar “tanggal cantik”. Biasanya untuk mengabadikan momen bahagia, mengambil keputusan besar, atau paling tidak agar mudah diingat. Entah sejak kapan, keranjingan terhadap “tanggal cantik” itu bermula. Secara sengaja atau kebetulan, fenomena semacam itu benar-benar ada. Bahkan, belakangan negara juga tampak sedang keranjingan dengan “tanggal cantik” itu.
Contoh paling mutakhir, ialah penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada sepuluh tokoh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia No. 116/TK/2025. Peresmian “sepuluh” pahlawan nasional itu digelar pada 10 November 2025 di Istana Negara, Jakarta. Jadi, seperti ada rima dalam momen ini: “sepuluh” tokoh diresmikan menjadi pahlawan nasional pada tanggal “sepuluh” juga. Meski angka bulan dan tahun tidak mengikuti rima itu.
Kalau dipikir-pikir, negara memang sengaja menggelar acara pada hari itu, sebab 10 November adalah “Hari Pahlawan Nasional”. Tentu hal ini bukan lagi rahasia negara. Semua orang sudah mafhum. Namun, tampaknya, penganugerahan gelar kepahlawanan itu memicu kontroversi sampai hari ini. Sebab, ada salah satu tokoh kondang Indonesia yang tiba-tiba diangkat dan diberi gelar “pahlawan nasional” oleh negara. Tokoh itu adalah Jenderal Besar (Purn.) H. Muhammad Soeharto alias Soeharto.
Soeharto tidak sekadar kondang, melainkan juga “kontroversial” sampai detik ini. Ia adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia. Terkenal “garang” dan sangat problematik dalam catatan sejarah Tanah Air. Ya, meski Presiden RI selama tiga dekade lebih ini sempat diberi gelar “Bapak Pembangunan” oleh MPR pada tahun 1982. Saking kondang-nya, nama Soeharto mampu memecah horizon Indonesia dan melenting sampai kancah internasional. Sejak huru-hara Gerakan 30 September tahun 1965, semua “mata” tertuju kepada orang kelahiran Bantul, Yogyakarta ini.
Bahkan, kalau melacak dan membaca buku-buku tentang Soeharto, saya berani menaksir, sampai “Indonesia Emas” (entah kapan) sekalipun tidak mungkin khatam. Hal ini telah membuktikan, begitu banyak riset mengenai sosok dan kepemimpinan Soeharto. Ia terkenal bukan karena buat konten fiktif, melainkan “fakta” nestapa dalam sejarah bangsa Indonesia. Lantas, kenapa akhir-akhir ini Soeharto kembali menjadi sorotan publik? Ya, karena nama dia dinobatkan sebagai “pahlawan nasional” di Negeri Bawah Angin ini.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyajikan maksud dari kata “pahlawan”. Karena saya bukan ahli takwil, maka di sini saya akan mengambil salah satu perspektif tokoh saja: Mahbub Djunaidi. Setelah melampirkan bagaimana Mahbub memahami dan menuangkan makna pahlawan dalam berbagai tulisan, lalu di bagian akhir diisi dengan pelbagai pertanyaan reflektif. Baiklah. Selamat menikmati!
Membaca Sosok “Pahlawan” dari Sorotan Mahbub Djunaidi
Mahbub adalah satu dari sekian penulis—atau mungkin satu-satunya?—yang mengaku sebagai seorang “generalis”. Apa saja ditulis oleh “Sang Pendekar Pena” itu. Sarat satire, dan dibungkus dengan sangat humoris. Tak terkecuali tentang topik pahlawan atau kepahlawanan. Topik ini digarap Mahbub, baik secara universal maupun partikular, dalam sebaran tulisan. Dengan nada mantap, ia mengatakan, bahwa “banyak pahlawan lebih bagus daripada sedikit pahlawan”. Sebuah bangsa tanpa pahlawan, bagi Mahbub, sama sekali tidak berarti. Serupa kulkas tanpa isi. Dan menurut dia, Indonesia adalah negeri “kaya pahlawan”. Secara lugas ia menulis demikian:
“Negeri ini boleh dibilang penuh sesak dengan pahlawan. Ini menggembirakan, karena kulkas tidak dibiarkan kosong. Semakin banyak semakin baik sehingga kebanggan tertempel di setiap dinding. Bukankah kita punya Pahlawan Nasional, Pahlawan Trikora, Pahlawan Dwikora, Pahlawan Revolusi, Pahlawan Ampera, bahkan Pahlawan Bulutangkis? (Djunaidi, 2018c: 143).
Dari masa ke masa, jumlah pahlawan nasional kian bertambah. Sekarang sudah mencapai 237 orang; terdiri 219 laki-laki dan 18 perempuan (Bloombergtechnoz.com, 2025). Tentu Mahbub akan “girang” dengan peningkatan ini. Tapi, barangkali kegirangan itu segera meluruh, karena ia harus menyaksikan seseorang yang pernah memenjarakan (tanpa proses hukum) dirinya dulu, dinobatkan menjadi pahlawan. Mengapa demikian? Karena menurut tokoh NU kelahiran Jakarta itu, pahlawan adalah “semua orang yang berkurban, menderita untuk kepentingan sesama manusia, tidak untuk kepentingan diri sendiri” (Djunaidi, 2018a: 421).
Namun, selama ini, kita juga kerap memahami kata “pahlawan” itu melalui pemaknaan konvensional, sebagaimana para martir di masa penjajahan. Pahlawan dalam konteks ini lebih merujuk pada mereka yang telah berjuang demi kebebasan, hak-hak, dan kemerdekaan tanah air. Seperti Bung Karno, Bung Tomo, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain sebagainya. Mereka berani mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan bangsa. Mahbub telah melukiskan hal itu, sebagai berikut:
“Mereka [pahlawan] telah memberikan yang mereka punya: nyawa. Mereka sudah hembuskan napas terakhir tanpa mengharap hadiah dan imbalan. Terguling mereka di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Teriakkan merdeka menggema di antara bukit dan bukit, sesudah itu mereka tidak berbicara lagi. Untuk apa mereka mati kalau bukan untuk kita hidup lebih baik, bebas dari penjajah, dan merdeka dari segala penindasan” (Djunaidi, 2018a: 386).
Menjadi pahlawan itu tidak mudah. Ia harus memiliki perangai “kepahlawanan”. Atau, setidak-tidaknya, semasa hidup ia diakui sebagai “orang baik”. Meski kita tahu, tidak mungkin orang bisa lari dari kesalahan dan catatan dosa. Tetapi amal kebaikan dia (harus) lebih berat ketimbang amal keburukan. Dan standar umum seseorang bisa disebut pahlawan, apalagi dalam konteks nasionalisme, adalah senantiasa mengutamakan kepentingan orang lain (bersama) daripada kepentingan diri sendiri. Ihwal ini Mahbub menulis demikian:
“Lewat maut atau tidak, menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, syarat utama dan penghabisan adalah berbuat bukan untuk kepentingan diri sendiri..[Seorang] pahlawan berpegang pada tali kalbunya, bagai tabiat orang Badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga, tapi terasa bagaikan bisa” (Djunaidi, 2018b: 51-52).
Tetapi harus segera dicatat. Penilaian terhadap seorang pahlawan bersifat subjektif dalam setiap bangsa. Mahbub menyebut dengan istilah “pahlawan khusus”. Sangat mungkin, seseorang disanjung sebagai pahlawan di suatu negeri, sementara di negeri lain dipandang sebagai penjahat kelas kakap. Begitu juga sebaliknya. Ia menjadi pahlawan di sebuah bangsa, tetapi bagi bangsa lain ia adalah seorang fasis. Dengan demikian, standar kepahlawan itu cenderung subjektif. Secara lihai, Mahbub menulis:
“Tatkala Fidel Castro baru saja menggulingkan diktator Batista, AS menyebutnya sebagai pahlawan. Begitu dia menasionalisasikan pabrik-pabrik gula milik modal swasta AS, Castro mendadak berubah menjadi bangsat” (Djunaidi, 2018c: 292).
Di tempat lain, ia juga menulis hal serupa:
“Lord Milner pembangun imperium Inggris yang piawai tak lebih dari penindas hina di mata penduduk Afrika Selatan. Si gondrong Bung Tomo tak lebih dari perusuh di mata bala tentara Sekutu. Di dalam buku setengah gila ‘Challenge To Terror’ (London, 1952) Kapten ‘Turki’ Westerling boleh merasa kagum akan dirinya sendiri, meraih 8 medali pertempuran dan 4 penghargaan tinggi militer di umur 31 sambil merasa dijuluki ‘Ratu Adil’ yang ditunggu-tunggu orang, padahal sesungguhnya dia tak lebih dari tukang jagal biasa” (Djunaidi, 2018b: 49-50).
Sebagai seorang nasionalis tulen, Mahbub tentu memberikan “rambu-rambu” bagi bangsa Indonesia, agar tidak terkecoh dalam mengambil keputusan ihwal kepahlawanan ini. Perlu ketelitian ekstra untuk menentukan apakah seseorang “pantas” dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Salah satu langkah yang harus ditempuh, ialah dengan membaca sejarah secara proporsional. Dengan membaca sejarah, kita akan menemukan bongkahan-bongkahan masa lalu dari “calon” pahlawan itu. Sebab tidak sedikit orang di masa penjajahan, misalnya, mempunyai sikap patriotik dan benar-benar membela tanah air.
“Di tengah-tengah pertempuran Surabaya, ada juga yang namanya BUU itu singkatan olok-olok ‘Barisan Usung-Usung’, terdiri dari mereka yang asosial dan tidak patriotis. Pekerjaannya tidak lain memanfaatkan situasi pertempuran untuk menggaet barang-barang berharga dari rumah-rumah untuk segera diangkut ke luar kota, dengan berlagak seakan-akan ikut dalam pertempuran” (Djunaidi, 2018a: 388).
Orang-orang seperti di atas, menurut Mahbub, harus diberantas. Karena keberadaan “Barisan Usung-Usung” itu justru akan menodai jiwa kepahlawanan bangsa. Singkat kata, orang model begituan tidak layak disebut pahlawan. Mahbub juga pernah melukiskan salah satu tokoh dalam novel A Hero of Our Time karya Mikhail Lermontov, bernama Petchorin atau Pechorin, sebagai “seorang pahlawan tak masuk akal”. Secara kelakar, Mahbub menilai sosok Petchorin itu, sebagai berikut:
“Namanya Petchorin. Pangkat tidak diketahui, tapi bejatnya luar biasa. Egoistis selangit, genit tak ketolongan, dan cabulnya bukan main. Orang ini sebetulnya ekor tikus. Ia mampu berbuat apa saja, seperti halnya setan. Sesudah terkulai loyo habis tenaga, Petchorin menjadi parasit dan—sebagaimana biasa—menjadi sinis. Apakah lakonnya tamat sesudah tutup usia? Ternyata tidak. Nama Petchorin diabadikan lewat Sungai Pethora, persis seperti Sungai Onega diambil dari tokoh Eugen Onegin, karya pujangga Pushkin. Bagaimana mungkin riwayat bisa terjungkir balik begitu? Oh, mungkin saja” (Djunaidi, 2018b: 317).
Kalau dibaca secara cermat, melalui tokoh Petchorin tersebut, Mahbub hendak mengatakan: seorang bajingan bisa saja menjadi seorang pahlawan, dan nama dia diabadikan dalam bangunan sejarah. Kemungkinan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari “akrobat” kekuasaan. Melalui instrumen kekuasaan, penjahat kelas kakap hingga kelas teri pun sangat mudah dinobatkan sebagai pahlawan. Ke mana “jari telunjuk” kekuasaan tertuju, di situlah keajaiban (akan) muncul. Peduli setan dengan syarat-syarat kepahlawanan. Masa bodoh dengan “kepantasan”. Asal ada niat, seorang bajingan bisa jadi pahlawan di tangan kekuasaan.
Seonggok Pertanyaan: Pantaskah Soeharto Menjadi Pahlawan?
Pembacaan atas makna pahlawan menurut Mahbub Djunaidi di muka, bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan: pantaskah Soeharto menjadi pahlawan? Sesungguhnya telah sedikit disinggung di atas, bahwa Mahbub “sepertinya” tidak akan sepakat dengan keputusan negara atas pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Hal ini bukan karena Mahbub pernah dipenjara, melainkan lebih pada “idealitas” pahlawan dan kepahlawanan itu sendiri. Kita dapat menguji kepantasan Soeharto menjadi pahlawan itu, dalam beberapa hal:
Pertama, pahlawan adalah orang yang mengutamakan orang lain ketimbang kepentingan pribadi. Kalau dia pernah menjadi pemimpin, dalam hal ini Presiden, maka selama ia memimpin negara, ia harus memprioritaskan kepentingan rakyat. Apakah Soeharto berlaku demikian? Menurut R. E. Elson, setelah kematian Ibu Tien (istri Soeharto), tindakan Soeharto semakin koruptif. Pada tahun 1977, Indonesia sempat mendapatkan predikat sebagai negara terkorup di Asia. Salah satu penyebab utama predikat itu, karena tindakan koruptif “Keluarga Cendana” di bawah kendali Soeharto kian parah (Elson, 2001: 282).
Kedua, pahlawan adalah orang yang memberikan semua kepemilikan dan mempertaruhkan nyawa. Sudah bisa ditebak, bahwa Soeharto tidak masuk dalam kategori ini. Karena, ia adalah “pemimpin korup”. Jika toh ia memberikan harta benda atau kepemilikan lain, hal itu dilakukan untuk “Keluarga Cendana” dan “kroni-kroni”-nya. Sebab, menurut Jamie Mackie, kepemimpinan Soeharto itu patrimonialistik dalam konteks modern. Patrimonialisme ini mencakup tiga hal: didasarkan pada patronase; pemberian hak kekuasaan kepada bawahan yang disukai; dan (kekuasaannya) dipertahankan oleh loyalitas personal (dalam Aspinall dan Fealy, 2010: 83-84).
Selain itu, syarat “mempertaruhkan nyawa” pada diri Soeharto juga kurang tepat. Sebab, sebagaimana kita tahu, di bawah kekuasaan Soeharto pernah terjadi “pembantaian massal”. Tragedi kemanusiaan ini terjadi dalam rentang tahun 1965-1966 kepada anggota, simpatisan, dan mereka yang “dituduh” PKI. Propaganda Orde Baru tentang “pengkhianatan” PKI itu dilakukan melalui berbagai cara (Herlambang, 2013: 138). Padahal, sampai saat ini, siapa “dalang” di balik pembunuhan enam jenderal dan satu perwira itu masih simpang siur. Namun, menurut versi Orde Baru, PKI adalah dalang di balik usaha kudeta tersebut. Pasca tragedi itu, menurut data Robert Cribb, ratusan ribu jiwa dibantai habis-habisan, karena dianggap terlibat dalam G30S (Cribb, 2016: 19-20).
Ketiga, tentang “pahlawan tak masuk akal”. Dalam penilaian Mahbub, orang seperti Petchorin, sebenarnya tidak pantas disebut pahlawan. Apalagi orang-orang dalam “Barisan Usung-Usung” sebagaimana dalam sejarah pertempuran Surabaya. Karena jika mereka dinobatkan sebagai pahlawan, maka akan “menodai” jiwa kepahlawanan itu sendiri. Tidak mungkin kita memberi penghargaan pahlawan nasional kepada orang yang memiliki karakter asosial dan tidak patriotik. Seorang pahlawan juga tidak boleh “memanfaatkan situasi” (dan posisi) untuk kepentingan pribadi. Tindakan patrimonialistik jelas tidak sesuai dengan sikap seorang kesatria, pahlawan, atau martir. Pahlawan itu melawan dan membunuh kolonialis, penindas, dan berbagai entitas yang bermaksud menginjak-injak kemanusiaan, bukan malah sebaliknya.
Sangat aneh bin aneh, jika ada negara yang justru memberikan gelar pahlawan nasional kepada orang yang “menjajah” bangsanya sendiri. Sungguh tidak masuk akal, kalau bangsa jajahan (colonized) memberi penghargaan kepada penjajah (colonizer). Kendati pemahaman terhadap “pahlawan” itu bersifat subjektif, tapi bukan berarti hal itu digunakan untuk membenarkan seorang otoriter dan korup bisa menjadi “pahlawan”. Lantas, bagaimana dengan kasus Soeharto yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional itu? Kalau meminjam kata-kata Mahbub, barang Soeharto bisa kita sebut sebagai “pahlawan (yang) tak masuk akal”.
Rujukan
Djunaidi, Mahbub. Asal Usul. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018a
———. Kolom Demi Kolom. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018b
———. Humor Jurnalistik. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018c









