“Sisakan sedikit untuk kami
Berikan sedikit untuk kami
Kami masa depan
Kami adalah masa depan
Hutan jangan ditebangi
Sungai jangan dikotori
Nanti Tuhan marah, nanti Tuhan marah
Nanti Tuhan marah, nanti Tuhan marah.”
Syahdan, ada pemandangan yang tak biasa di Taman Sekartaji, Kediri, suatu pagi di awal November 2025. Pemandangan itu bukan riuh rendah orang dewasa yang berolahraga. Panggung utama diambil alih oleh puluhan anak-anak, sebagian baru berusia tiga tahun, sebagian lagi beranjak remaja. Mereka berjalan dalam parade kecil, mengenakan kostum-kostum unik yang dirangkai dari plastik bekas, kardus, dan sisa kemasan. Sambil menyanyikan lagu dari Iksan Skuter tersebut.
Mereka adalah siswa-siswi Sekolah Alam Ramadhani. Lewat aksi bertajuk “Suara untuk Bumi”, mereka tidak sedang berteriak marah. Mereka menyuarakan keresahan ekologis mereka melalui cara yang paling murni: dongeng, nyanyian, dan pameran karya. Botol-botol plastik yang disusun meninggi dan puncaknya terpasang galon menghadap ke bawah menyerupai aliran deras air yang mengalir, menjadi simbol cemaran sampah plastik yang dengan mudahnya meluas.
Ulya, salah satu inisiator dalam agenda tersebut mengatakan alasan mengapa anak-anak ini yang harus bersuara. Sederhana saja, “Kalau kita (orang dewasa) ‘meracuni’ sesama orang dewasa tentang ajakan untuk merawat bumi kan sering dientahi (diabaikan). Makanya sasaran kami adalah anak-anak. Dan otomatis dengan sendirinya orang tua akan mendengarkan dan mengikuti dengan sendirinya.”
Pernyataan itu, jika kita renungkan, adalah tamparan sekaligus kunci. Ia menampar kita dengan realitas bahwa di tengah riuhnya wacana krisis ekologi, banyak dari kita—kaum dewasa—telah menjadi abai. Kita kebal. Namun, ia juga memberikan kunci, masalahnya mungkin bukan pada kurangnya data atau teknologi, tapi pada hilangnya imajinasi kita.
Kita telah lama terjebak dalam narasi ekologi sebagai wacana krisis. Kita dibombardir dengan statistik kenaikan suhu, gambar-gambar TPA yang menggunung, dan prediksi apokaliptik. Ekologi menjadi horor, sebuah film distopia yang sedang kita jalani. Semakin banyak data, kita semakin cemas. Semakin cemas, kita semakin lumpuh (apatis). Kita tahu dunia sedang tidak baik-baik saja, tapi kita tidak tahu harus berbuat apa selain merasa bersalah saat menggunakan sedotan plastik.
Di sinilah letak distopia yang sesungguhnya: sebuah masa depan yang hanya bisa kita bayangkan sebagai perpanjangan logis dari masalah hari ini. Masa depan di mana sampah pasti menggunung, suhu pasti memanas, dan manusia pasti gagal. Namun masalahnya bukan hanya sekadar sampah, namun kita sedang menderita krisis kesadaran lingkungan yang akut. Orang-orang hanya membuang, membuang, dan merasa urusan selesai.
Baiklah kalau begitu, kita kembali ke Taman Sekartaji. Apa yang dilakukan oleh anak-anak Sekolah Alam Ramadhani itu adalah antitesis dari kelumpuhan imajinasi. Aksi mereka adalah sebuah eksperimentasi spekulatif yang radikal. Mereka tidak sedang memprotes, mereka sedang mencipta ulang.

Mereka Mempraktikkan Apa yang Disebut Imajinasi Ekologis
Imajinasi ekologis adalah kemampuan untuk membayangkan dan mewujudkan cara hidup yang baru dalam relasinya dengan bumi. Ia menolak untuk sekadar mengelola krisis. Prinsip Zero Waste (Nihil Sampah) sejatinya bukan hanya urusan daur ulang, melainkan suatu filosofi untuk merancang ulang sistem hidup kita agar tidak ada sampah yang berakhir di TPA—mulai dari menolak (refuse), mengurangi (reduce), memakai ulang (reuse), hingga mengompos (rot). Ini adalah tujuan ekologis yang radikal. Alih-alih bertanya, “Bagaimana cara kita mengurangi sampah agar tidak kiamat?”, imajinasi ekologis yang didorong oleh semangat Zero Waste menanyakan kembali kepada kita semua, “Dunia seperti apa yang ingin kita huni, di mana sampah tidak lagi menjadi produk sampingan, dan bagaimana kita mulai membangunnya—di sini, hari ini, dengan gembira?”
Aksi “Suara untuk Bumi” di Kediri adalah sebuah studi kasus yang sempurna. Mari kita bedah kebijakan ekologi yang mereka tawarkan, sebuah kebajikan (wisdom) yang bisa menjadi titik tolak untuk planet ini.
Pertama, mereka mengubah siapa si agen perubahan itu. Selama ini, kita menyerahkan urusan ekologi kepada para ahli, dalam hal ini ilmuwan, teknokrat, dan pemerintah. Aksi di Taman Sekartaji menunjukkan bahwa agen perubahan yang paling efektif mungkin saja adalah mereka yang paling murni visinya, yakni anak-anak. Dengan menempatkan anak-anak di depan, mereka tidak hanya menarik simpati, tetapi juga secara fundamental mengubah siapa yang berhak bicara tentang masa depan.
Kedua, mereka mengubah bahasa komunikasi. Bahasa krisis orang dewasa adalah bahasa data, statistik, dan regulasi yang kaku. Bahasa anak-anak Sekolah Alam Ramadhani di Taman Sekartaji adalah bahasa dongeng, seni, dan parade. Mereka tidak menyerang logika kita; mereka menyentuh hati kita. Dongeng dan cerita adalah peranti lunak (software) tertua yang dimiliki peradaban manusia untuk menanamkan nilai.
Dalam konteks lokal di Jawa, narasi ini memiliki akar kuat pada tradisi wayang. Bukan sekadar tontonan, wayang adalah medium etika yang selalu mengingatkan kita akan kosmologi lokal, bahwa setiap tindakan manusia—baik di jagad cilik (diri sendiri) maupun jagad gedhe (alam semesta)—memiliki konsekuensi timbal balik. Wayang mengajarkan kearifan bahwa alam (pala kependhem, pala gumantung) adalah sumber kehidupan dan kemakmuran yang harus dijaga dan dilestarikan. Dongeng kontemporer anak-anak ini, yang melibatkan kostum dari sampah, dapat kita tafsirkan sebagai wayang modern; dalangnya adalah kesadaran ekologis, dan lakonnya adalah pertarungan melawan polusi dan apatisme.
Pernah Ki Seno Nugroho dalam pementasan wayangnya, melalui ocehan jenaka dari tokoh kesukaannya, yakni Bagong, menyoroti ironi hidup modern. “Manusia kuwi aneh,” kata Bagong. “Saben dino ngombe banyu kemasan, ngenteni suwi bar kui terus dibuwak. Padahal, urip wis diwenehi banyu resik seko langit karo sumber. Kok yo isih repot ngurusi limbahe dewe. Goro-goro saiki dudu buto, tapi plastik! Anak-anak kuwi sing jujur, ngomong lewat kostum. Wong gedhe wis kadung kebacut uripe, ora iso mikul dhuwur maneh, mung iso mendhem jero sampahnya dewe.” Sentilan ini menekankan bahwa kekacauan (goro-goro) masa kini adalah ciptaan manusia sendiri dan anak-anaklah yang kini tampil sebagai suara kejujuran.
Dongeng secara alamiah mengajarkan kita bahwa manusia bukanlah pusat alam semesta, melainkan bagian dari sebuah jejaring kehidupan yang saling bicara. Ini adalah kearifan ekologis yang telah dilupakan oleh bahasa teknokratis kita.
Ketiga, mereka mengubah emosi yang mendasarinya. Wacana krisis beroperasi dengan bahan bakar rasa takut (fear-mongering) dan rasa bersalah (guilt-tripping), Ini sangat melelahkan. Sekolah Alam Ramadhani, sebaliknya, menggunakan “Pekan Ceria”. Mereka membungkus isu paling pelik di zaman kita dengan kegembiraan, kreativitas, dan perayaan.

Ini adalah pergeseran yang fundamental. Mereka menunjukkan bahwa merawat bumi tidak harus berarti hidup penuh penyangkalan diri dan penderitaan. Merawat bumi bisa jadi adalah sebuah proses yang kreatif, kolaboratif, dan menyenangkan. Mereka menjadikan ekologi bukan sebagai beban, tapi sebagai kanvas untuk penciptaan ulang kehidupan.
Inilah kebijakan dari Kediri yang patut dipertimbangkan untuk masa depan planet. Aksi di Taman Sekartaji itu adalah sebuah spekulasi tentang masa depan, yang mungkin sebuah benih utopia kecil yang ditanam di ruang publik.
Jika Kita Berani Berspekulasi, Masa Depan Seperti Apa yang Sedang Mereka Tawarkan?
Masa depan yang distopik adalah masa depan di mana kita gagal berimajinasi. Kita berhasil menciptakan teknologi daur ulang paling canggih, tapi kita melakukannya dengan hati yang hampa. Kita membangun kota-kota hijau yang steril, namun kita tetap merasa terasing dari alam dan satu sama lain. Kita mengelola sampah, tapi kita tidak pernah merasa menjadi bagian dari bumi.
Masa depan utopik yang ditawarkan oleh parade dongeng itu—sebuah eutopia, tempat yang baik—terlihat berbeda. Ia adalah masa depan di mana kurikulum sekolah tidak memisahkan pelajaran Biologi dari pelajaran Seni atau Sastra. Sebuah masa depan di mana prinsip Zero Waste menjadi budaya, bukan kewajiban teknis, melainkan bagian dari etika kepedulian yang diajarkan lewat cerita sebelum tidur, yang berakar pada kearifan lokal, yakni wayang.
Di masa depan itu, kebijakan ekologi tidak lagi dirumuskan di ruang rapat yang dingin, tetapi lahir dari kolaborasi di taman-taman kota, di lingkaran komunitas, dan di ruang-ruang kelas yang riang. Para ekonom akan belajar dari pendongeng, para insinyur akan berkolaborasi dengan seniman daur ulang, dan para politisi akan mendengarkan suara anak-anak.
Apa yang dilakukan oleh Sekolah Alam Ramadhani, berkolaborasi dengan komunitas dongeng dan taman baca, adalah sebuah model skala mikro dari masa depan tersebut. Mereka telah menciptakan sebuah ekosistem sosial yang baru, di mana merawat bumi dan merawat komunitas adalah dua hal yang identik.
Pada akhirnya, esai ini bukan tentang Sekolah Alam Ramadhani saja. Ini tentang kita. Kita semua yang membaca ini dan merasa dientahi oleh wacana krisis yang memekakkan telinga.
Krisis ekologi, pada akarnya adalah krisis hubungan. Dan satu-satunya cara untuk memperbaiki hubungan yang rusak adalah dengan imajinasi dan cinta. Bukan dengan paksaan, bukan dengan rasa takut.

Anak-anak Ramadhani di Taman Sekartaji telah mengingatkan kita, bahwa kita memiliki pilihan. Kita bisa terus berjalan di jalur distopia yang logis, di mana kita menjadi pengelola yang efisien bagi bumi yang sedang sekarat. Atau, kita bisa berhenti sejenak, mendengarkan dongeng, dan mulai menggunakan imajinasi kita untuk menciptakan ulang dunia.
Ekologi pada akhirnya, bukanlah tentang menyelamatkan planet semata. Tetapi ekologi ialah tentang bagaimana kita—manusia, pohon, plankton, sungai, dan tumpukan sampah kita—bisa belajar untuk saling hidup bersama. Aksi “Suara untuk Bumi” adalah sebuah horizon baru, sebuah undangan untuk memikirkan ulang cerita kita bersama bumi.
Ini bukan sekadar harapan; ini adalah sebuah perwujudan dari sebuah imajinasi besar yang harus kita mulai sekarang.









