Indonesia kembali berduka. Banjir bandang dan longsor menyapu wilayah Sumatera, menelan korban jiwa, menghancurkan ribuan rumah, memutus akses, dan melumpuhkan infrastruktur dasar. Namun, menyebut semua ini semata sebagai “bencana alam” adalah bentuk penyangkalan kolektif. Hujan ekstrem hanyalah pemicu; penyebab sejatinya adalah kerusakan ekologis yang kita izinkan, rawat, dan bahkan legitimasi atas namanya: pembangunan.
Guru Besar Ilmu Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno menyebut, bencana yang terjadi di Sumatera justru merupakan petunjuk nyata bahwa ancaman terkait krisis iklim semakin meningkat. Sewaktu kondisi normal, curah hujan berkisar -/+ 150 mm per bulan. Namun yang terjadi di Sumatera akhir 2025 justru mencapai 150 – 300 mm per hari atau setara 30 hingga 60 kali lipat dari kondisi normal. Hujan sederas itu, menurutnya, tidak mungkin lagi dapat ditampung oleh daya dukung lanskap yang telah rusak.
Lebih lanjut, menurut Wak ET (sapaan Eko Teguh Paripurno) hutan yang sehat, daya serap air bisa mencapai 95 persen. Namun pada lahan terbuka -yang telah ditebang atau dikonversi- angka itu bisa jatuh menjadi nol persen. Artinya, air hujan yang seharusnya diserap tanah berubah seluruhnya menjadi aliran permukaan, menyeret tanah, lumpur, kayu, dan apa pun yang dilewatinya. Inilah yang menjelma banjir bandang dan longsor. Dengan kata lain, bencana ini disebabkan oleh dua faktor utama, anomali hujan ekstrem dan kerentanan wilayah akibat rusaknya daerah aliran sungai (DAS).
Selama bertahun-tahun, hutan sebagai perisai alami telah ditebang, lahan-lahan adat dialihfungsikan, kawasan lindung dikompromikan, dan daerah aliran sungai dibiarkan rusak. Semua itu dilegalkan dalam bahasa yang rapi: izin usaha, izin konsesi, proyek strategis. Namun di balik legalitas administratif, terjadi pembunuhan perlahan atas fungsi ekologis yang justru menopang keberlanjutan hidup manusia.
Diskusi saya bersama Anugerah Yunianto (Antok Mbeler), aktivis kebencanaan sekaligus pendiri Sanggar Lansia GUSDURian Mojokutho Pare, Kediri menegaskan, satu hal yang sering dihindari: bencana hari ini bukan peristiwa alam acak, melainkan hasil dari struktur kebijakan yang abai terhadap daya dukung lingkungan. Pada titik tertentu, ini bukan lagi kelalaian, melainkan keberlanjutan dari pilihan yang salah.
Wak ET bahkan menekankan, yang keliru bukan hanya ‘negara’ secara abstrak. Yang harus dipersoalkan adalah perilaku manusia itu sendiri, rakyat yang menebang, mereka yang bermukim dan merusak di kawasan DAS dan bantaran sungai, para pembalak liar, perusahaan tambang, pemberi izin, dan pelanggar tata ruang. Karena itu, ia menegaskan pentingnya membedakan negara sebagai entitas konstitusional dengan pemerintah dan warga negara sebagai pelaku kebijakan dan tindakan di lapangan. Di sinilah letak tanggung jawab bersama yang tidak bisa lagi saling lempar.
Apa Kabar Perencanaan?
Sesungguhnya, Indonesia tidak kekurangan rencana. Rencana penanggulangan bencana ada di tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten. Rencana pembangunan juga lengkap di berbagai level. Bahkan, menurut Wak ET, secara umum peraturan kita relatif baik, meski kualitasnya menurun drastis sejak hadirnya Omnibus Law. Masalah besarnya justru berada pada pelaksanaan yang buruk dan penyimpangan kebijakan yang sarat kepentingan serta korupsi, baik yang tampak kasat mata maupun yang tersembunyi dalam ruang-ruang kebijakan.
Manajemen bencana semestinya dimulai dari kajian risiko, lalu diterjemahkan ke dalam rencana penanggulangan, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga pelaksanaan di tingkat akar rumput. Tetapi rencana yang baik pun akan menjadi sia-sia jika tidak dijalankan dengan integritas. Lebih mengerikan lagi, saat bahkan tidak ada kemauan untuk merencanakan, negara seolah memilih membiarkan rakyatnya berjalan ke arah kehancuran.
Analisis ahli hidrologi dan konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo, memperkuat kesimpulan tersebut. Ia menyebut bahwa banjir bandang dan longsor di Sumatera akhir November 2025 berkaitan langsung dengan degradasi ekosistem di wilayah hulu.
Selain itu, data dari kawasan Bukit Barisan menunjukkan bahwa sejak 2016 hingga 2024, ribuan hektare hutan hilang akibat ekspansi tambang, perkebunan sawit, dan proyek infrastruktur energi. Hilangnya tutupan hutan berarti hilangnya kemampuan alam menyerap, menahan, dan mengatur air hujan.
Ketika curah hujan ekstrem bahkan melebihi 300 mm per hari turun ke permukaan tanah yang telah kehilangan daya serapnya, air berubah menjadi ancaman. Banjir dan longsor bukan lagi anomali, melainkan keniscayaan yang menunggu waktu. Dengan kata lain, tragedi yang kita saksikan hari ini adalah bom waktu ekologis yang telah lama dirakit oleh tangan manusia sendiri.
Ironisnya, di tengah krisis iklim global dan meningkatnya frekuensi bencana, justru muncul narasi yang menyederhanakan persoalan ekologi. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan kelapa sawit dengan pohon hutan karena ‘berdaun dan menyerap karbon’ tidak bisa hanya dipandang sebagai kesalahan diksi semata. Ia mencerminkan cara pandang yang keliru terhadap kompleksitas ekosistem.
Hutan bukan sekadar kumpulan pohon berdaun. Ia adalah sistem hidup yang terdiri dari ribuan spesies, lapisan vegetasi, mikroorganisme, cadangan air, dan mekanisme penyangga iklim. Ia memiliki fungsi ekologis yang tak tergantikan dalam menjaga siklus air, mencegah erosi, mengatur suhu, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Kebun sawit monokultur, betapapun hijau dipandang mata, tidak memiliki kompleksitas maupun fungsi ekologis yang sebanding.
Menyamakan keduanya adalah bentuk reduksi yang berbahaya. Bahkan, sebagaimana dikritik oleh Wak ET, pernyataan-pernyataan yang menyederhanakan bencana seolah cukup diselesaikan dengan distribusi beras dengan cara dipanggul, sekadar ramai di media sosial, atau klaim bahwa semua telah tuntas, justru menunjukkan betapa dangkalnya cara berpikir kita terhadap masalah yang sangat kompleks. “Perlu banyak ngopi,” katanya, sembari menyindir betapa rendahnya kedalaman nalar yang digunakan dalam mengambil keputusan menyangkut jutaan nyawa.
Sumatera adalah Bukti
Bencana di Sumatera akhir 2025 menunjukkan dampak paling nyata dari cara pandang konyol. Ratusan jiwa hilang. Ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Anak-anak kehilangan sekolah. Tanah kehilangan kesuburannya. Sungai kehilangan fungsinya. Dan negara kembali sibuk mengelola kerusakan, bukannya mencegah kehancuran.
Padahal, pencegahan sesungguhnya jauh lebih mungkin dilakukan. Ia dimulai dari konservasi hutan dan daerah aliran sungai, penegakan hukum atas pelanggaran lingkungan tanpa kompromi, pencabutan izin-izin merusak, pendidikan kebencanaan dan literasi lingkungan sejak usia dini, serta pelibatan aktif komunitas lokal yang selama ini justru menjadi korban pertama kerusakan alam.
Kisah Tilly Smith, gadis 10 tahun asal Inggris yang mampu menyelamatkan ratusan orang dari tsunami 2004 hanya karena pendidikan kebencanaan yang ia terima di sekolah, menjadi cermin menyakitkan bagi Indonesia -negara yang berada di Cincin Api tetapi masih menganggap pendidikan mitigasi sebagai pelengkap, bukan kebutuhan utama.
Dalam konteks ini, pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terasa semakin relevan, kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari alam. Merawat manusia berarti merawat lingkungan yang menopang kehidupannya. Menghancurkan alam sama dengan mengkhianati nilai kemanusiaan itu sendiri.
Karena itu, menyepelekan mitigasi kebencanaan sejatinya adalah bentuk penyepelean terhadap nyawa manusia. Ini bukan soal ideologi lingkungan, melainkan soal etika dasar untuk bertahan hidup. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita mampu mencegah bencana, melainkan ‘apakah kita cukup waras untuk berhenti menghancurkan diri sendiri?’.









