Luka-Luka Bumi, Luka Kita Semua

Hujan merupakan sebuah rahmat yang Tuhan turunkan untuk membawa keberkahan dan manfaat bagi semua, untuk manusia, hewan, pepohonan, dan seluruh penghuni bumi di dalamnya. Namun, tampaknya hari-hari belakangan, kita kerap diselimuti kekhawatiran saat datangnya awan gelap. Tetes air dari langit yang seharusnya membawa keberkahan, justru datang meninggalkan jejak luka dalam bagi alam dan kita, manusia di dalamnya.

Rumah-rumah tidak lagi berbentuk, ladang porak-poranda, dan satwa-satwa yang tidak juga luput sebagai korban dari arus yang mengganas. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang jauh lebih sunyi dan sering kali tidak kita sadari: luka-luka bumi yang sesungguhnya adalah luka-luka kita sendiri.

Bencana selalu tampak seperti peristiwa alam. Namun, sebenarnya jika kita sanggup untuk jujur, fenomena alam hanya akan menjadi “bencana” akibat faktor manusia dan masyarakat di dalamnya. Bencana merupakan peristiwa moral dan sosial. Ia adalah cermin yang memantulkan bagaimana selama ini kita berhubungan dan memperlakukan alam.

Ekosida: Perang Tak Berkesudahan dengan Alam

Di Sumatera, curah hujan dengan intensitas tinggi tidak lagi menemukan jalannya ketika hutan ditebang, gunung dikikis, dan tanah kehilangan daya serapnya. Lantas, masihkah pantas peristiwa ini kita sebut “bencana alam” sementara sebagian besar kerusakan bersifat antropogenik—lahir dari tindakan manusia?

Dalam ribuan tahun terakhir, manusia menyadari kekuatan akalnya, hingga menjadikan dirinya satu-satunya makhluk yang mampu melakukan intervensi terhadap tubuh alam melampaui batas lazim yang bisa diambil makhluk lain. Dengan akalnya, manusia menegaskan bentuk “kuasa”-nya atas tubuh alam.

Seperti yang disampaikan Seyyed Hossein Nasr, kepercayaan tentang kekuasaan manusia dan arti dominasi atas alam, serta pandangan dunia yang materialistik tentang alam, menyebabkan manusia melakukan perang tak berkesudahan dengan alam. Perang yang tidak pernah diumumkan, tetapi terjadi setiap hari. Perang tanpa dentuman senjata, tetapi meninggalkan kehancuran yang sama dahsyatnya.

Setiap kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, setiap investasi yang mengorbankan ekosistem, setiap pembiaran atas kerusakan, semuanya adalah gambaran paling telanjang dari agresi yang tanpa henti diarahkan kepada alam. Perang ini sejatinya tidak mengenal pemenang, meski alam terlihat sempoyongan, manusialah yang pada akhirnya akan tumbang.

Ekosida adalah bukti rusaknya tatanan moral yang menandai terputusnya hubungan manusia dengan alam semesta sebagai rumah bersama, lebih jauh sebagai penyingkapan diri Tuhan. Meniadakan pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah komunitas yang saling terkait dan memiliki status dan martabat yang sama.

Seandainya, seseorang mau memperhatikan alam semesta, pasti ia akan temukan hubungan kesatuan antara makhluk/organisme hidup dan lingkungannya (yang tidak hidup), sehingga sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, tidak dapat lepas atau berdiri sendiri.

Interdependensi dalam kerja ekosistem membuat adanya sifat saling ketergantungan yang erat dan terus-menerus antara komponen komunitas kosmik. Maka dari itu, gangguan pada keseimbangan ekologi dapat menyebabkan reaksi berantai di seluruh ekosistem, bukan hanya pada individu.

Pada kenyataannya, masih banyak gagasan mainstream yang dianut banyak orang tentang manusia yang digambarkan sebagai makhluk ontologis yang terpisah dan berada di luar realitas ekologis yang lebih luas. Cara pandang ini melahirkan pemahaman keliru tentang isi serta posisi manusia dalam tatanan kehidupan. 

Oleh karena itu, sebagai koreksi terhadap gambaran-gambaran yang mengasingkan tersebut, kita harus segera menyadari bahwa manusia bukanlah pihak luar yang hanya mengamati ekologi dari kejauhan, melainkan sejak awal merupakan bagian dari ekosistem itu sendiri.

Jalan Pulang: Memulihkan Bumi, Memulihkan Diri

Di tengah kerusakan yang kita saksikan hari ini, tetap tersimpan sebuah undangan untuk pulang. Pulang bukan dalam arti kembali ke masa lalu, tetapi kembali kepada kesadaran yang pernah kita miliki sejak nenek moyang kita, bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan yang saling menopang.

Memulihkan bumi juga merupakan proses pemulihan diri kita, yang dimulai dari cara kita menata kembali pandangan dunia. Kita perlu memulihkan cara berpikir yang selama ini dipenuhi logika dominasi. Sehingga hal ini merupakan bagian dari pekerjaan moral, kultural, bahkan spiritual.

Dalam kurun waktu 500 tahun terakhir, manusia hidup dalam ilusi bahwa manusia berada pada puncak rantai kehidupan—bebas mengeksploitasi, memburu, dan memodifikasi lingkungan sesuka hati. Padahal, setiap organisme sekecil apa pun adalah bagian dari komunitas ekologis yang penting dijaga keseimbangannya.

Jalan pulang ini juga merupakan proses memperbaiki hubungan yang retak ini. Manusia sangat perlu untuk memulihkan hutan, namun bukan sekadar sebagai sebidang lahan naungan, tetapi sebagai ruang hidup bagi jutaan makhluk di dalamnya. Manusia harus merawat sungai, bukan saja demi kebutuhan air, tetapi sebab nadi kehidupan yang mengalir dalam aliran sungai.

Hal yang tidak boleh luput, kita perlu membangun ulang tata kelola, bukan demi kepentingan politik jangka pendek, tetapi demi keberlanjutan generasi mendatang. Kita perlu memiliki kesadaran bahwa pembangunan bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, sebab, di masa bumi tidak lagi menyisakan apa pun untuk hidup, uang tidak akan berarti apa-apa.

Apa yang terjadi dalam sepekan belakangan ini, boleh dikata, bukan sekadar cuaca, tapi juga di samping itu sebagai bukti jelas dari krisis tata kelola: eksploitasi sumber daya, deforestasi, dan pembalakan liar, yang menjadi bagian dari agenda memperkuat model ekonomi ekstraktif.

Pada akhirnya, dalam proses memulihkan bumi, lingkungan kita, manusia akan menemukan bahwa sejatinya yang pulih adalah dirinya sendiri. Sebab manusia tidak pernah benar-benar utuh selama bumi, rumahnya, masih terluka.

Mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *