Kamis sore itu, anak-anak terlihat riang gembira bermain di setiap sudut halaman. Ada yang sibuk menyusun puzzle, ada yang berayun sambil tertawa, sementara yang lain menggambar atau belajar berhitung bersama ‘kakak pengajar’. Pada hari itu, mereka tak hanya belajar pengetahuan umum seperti Matematika dan Bahasa Inggris, tetapi juga diperkenalkan pada tokoh-tokoh pahlawan perempuan Indonesia, sebuah materi yang jarang ditemukan di ruang belajar informal.
Setiap Kamis sore, anak-anak datang bersama ibu mereka untuk mengikuti kegiatan Kamis Ceria. Program ini menjadi bagian dari GUSDURian Jogja Mengajar, sebuah bentuk pengabdian masyarakat yang hadir di Desa Banguntapan, tepatnya di Dusun Sorowajan.
Kegiatan ini lahir dari keberpihakan GUSDURian Jogja terhadap masyarakat Sorowajan yang tidak semuanya memiliki akses pendidikan yang merata—terutama pendidikan karakter sebagai alternatif yang kritis. Kami meyakini bahwa pendidikan bukan hanya soal kemampuan berhitung atau menghafal, tetapi juga soal bagaimana anak memahami dirinya, menghargai orang lain, dan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia berharga.
Karena itu, Kamis Ceria bukan sekadar kegiatan belajar, melainkan ruang kecil tempat nilai-nilai kemanusiaan ditumbuhkan. Di sinilah gagasan Gus Dur tentang keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap manusia menjadi nyata, tidak hanya diucapkan, tetapi dipraktikkan sejak dini.
Kamis Ceria juga menjadi bentuk implementasi dari hasil Tunas GUSDURian 2022, khususnya mengenai cita-cita pendidikan yang inklusif. Program ini berangkat dari nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur: kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan antarsesama manusia. Mengajar bagi kami bukan hanya soal mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang keberpihakan terhadap kelompok yang rentan, mereka yang kerap terpinggirkan dari akses pendidikan yang layak.
Lalu mengapa Sorowajan? Dusun ini dikenal memiliki keberagaman warganya, baik dari sisi agama, mata pencaharian, maupun kondisi ekonomi. Di tengah keragaman itulah muncul kebutuhan akan ruang pendidikan yang terbuka bagi semua, tanpa memandang latar belakang. Selain itu, Sorowajan merupakan tempat di mana Komunitas GUSDURian Jogja hidup dan berkegiatan bersama warga. Di sini kami tidak hanya hadir sebagai komunitas yang berdampingan, tetapi juga berkomitmen untuk tumbuh bersama masyarakat.
Sore itu, Astrit Maelani, salah satu penanggung jawab GUSDURian Jogja Mengajar, memperkenalkan beberapa tokoh pahlawan perempuan Indonesia, antara lain Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, hingga Nyai Siti Walidah. Nama-nama ini mungkin sering terdengar, tetapi tidak banyak anak mengetahui bahwa perjuangan dan kepahlawanan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki; perempuan pun turut mempertaruhkan hidupnya demi bangsa.
Anak-anak mendengarkan dengan antusias ketika dijelaskan bagaimana Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu berjuang mengusir penjajah di wilayahnya, atau bagaimana R.A. Kartini memperjuangkan pendidikan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Kak Astrit, sapaan akrabnya, juga menceritakan Dewi Sartika, pendiri “Sekolah Istri”, yang mengajarkan perempuan membaca, menulis, dan berhitung agar nantinya mereka mampu mendidik anak-anak mereka.
Tak kalah penting, anak-anak diperkenalkan dengan sosok Nyai Siti Walidah, istri Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia bukan sekadar pendamping tokoh besar, tetapi pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah, yang hingga kini berperan penting dalam pemberdayaan perempuan Muslim di Yogyakarta dan Indonesia.
Melalui cerita-cerita itu, anak-anak belajar bahwa perempuan tidak hanya ada di ruang domestik, tetapi juga menjadi pelaku sejarah yang turut melawan ketidakadilan dan memperjuangkan pendidikan serta kemerdekaan.
Melihat antusiasme anak-anak Sorowajan dalam kegiatan Kamis Ceria, saya kembali teringat pada pemikiran Gus Dur bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada ruang kelas dan tidak boleh hanya dimiliki mereka yang beruntung secara ekonomi atau sosial. Bagi Gus Dur, pendidikan adalah pintu keberadaban: ia tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter yang menghormati sesama manusia. Dalam pandangan beliau, membela kemanusiaan dapat dilakukan dalam bentuk paling sederhana, termasuk menyediakan ruang belajar yang inklusif bagi anak-anak dusun.

Kegiatan GUSDURian Jogja Mengajar menjadi wujud nyata dari gagasan tersebut. Di sini, kami tidak hanya mengajarkan berhitung atau kosakata bahasa Inggris, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama, bahwa keberagaman adalah kekayaan, dan bahwa setiap orang layak mendapatkan kesempatan berkembang. Nilai-nilai ini bukan diajarkan sebagai teori, tetapi dihidupkan dalam perjumpaan dan kebersamaan.
Jika Gus Dur menyampaikan gagasannya melalui advokasi dan keberanian politik, maka kami, para penggerak di tingkat akar rumput, melanjutkannya lewat aksi kecil yang konsisten. Program ini mengingatkan kita bahwa meneruskan pemikiran Gus Dur bukan soal menghafal kutipannya, melainkan keberanian untuk memilih berpihak pada manusia, sekecil apa pun ruang kita berkarya.









