GORONTALO – Suasana Pondok Pesantren Mahasiswa Burhan Al-Hadharah tampak berbeda pada Senin (8/12/2025) sore itu. Bukan hanya lantunan kajian kitab yang terdengar, tetapi juga dialog hangat tentang sampah, ketahanan pangan, dan masa depan bumi. Para santri, mahasiswa, hingga perwakilan komunitas duduk bersama — menyimak penjelasan tentang bagaimana pesantren dapat menjadi kekuatan besar dalam gerakan pelestarian lingkungan.
Hari itu, gerakan Ecopesantren resmi digaungkan di pesantren tersebut lewat kegiatan sosialisasi yang digelar atas kolaborasi Pesantren Burhan Al-Hadharah, Komunitas GUSDURian Gorontalo, dan Yayasan Pendidikan Nulondalo Lipuu.
Di depan para peserta, Djemi Radji, Fasilitator Program Ecopesantren, Pembina Yayasan Pendidikan Nulondalo Lipuu, sekaligus Co Koordinator Wilayah GUSDURian Sulampapua mengawali pemaparannya dengan sebuah pertanyaan sederhana namun mengena, “Jika kita mencintai Sang Pencipta, mengapa kita merusak ciptaan-Nya?”
Kalimat ini langsung mengaitkan konsep pelestarian lingkungan dengan nilai-nilai keislaman.
“Pesantren adalah pusat pendidikan karakter. Jika santri memiliki kesadaran ekologis sejak dini, maka mereka bukan hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga pelopor pelestarian lingkungan,” tutur Djemi.
Yang menarik, kegiatan ini tidak hanya sehari penuh untuk santri. Keterlibatan masyarakat umum, mahasiswa, dan komunitas menambah warna tersendiri. Djemi menegaskan bahwa setiap peserta —bahkan yang tidak tinggal di pesantren— dapat membawa pulang konsep Ecopesantren untuk diterapkan di rumah, kos-kosan, hingga organisasi pelajar.
Semangatnya jelas: gerakan lingkungan tidak harus menunggu fasilitas besar, tetapi bisa dimulai dari kehidupan paling sehari-hari.

Praktik nyata di lingkungan pesantren
Ecopesantren bukan sekadar wacana. Peserta diajak melihat langsung bagaimana konsep ini mulai diterapkan di lingkungan pesantren. Mereka mengelilingi area pondok untuk menyaksikan pendirian Bank Sampah Plastik sebagai wujud dari gerakan pengurangan sampah sekaligus memberikan nilai ekonomi untuk pesantren.
Selain itu, peserta diperlihatkan pembuatan Septictank Sampah Organik, konsep pengelolaan limbah dapur agar tidak mencemari tanah dan air, termasuk pemanfaatan lahan pesantren untuk menanam sayuran dan buah sebagai bagian dari ketahanan pangan.
Sebagai penutup kunjungan lapangan, setiap peserta menerima bibit tanaman. Buah dan sayuran —bukan hanya sekadar hadiah, tetapi simbol komitmen.
Abdul Kadir Lawero, Ketua Yayasan Pendidikan Nulondalo Lipuu, menyampaikan bahwa pembagian bibit adalah bagian penting dari strategi gerakan.
“Kami berharap peserta memanfaatkan pekarangan rumah, kos-kosan, dan ruang terbuka di sekitar mereka untuk menanam tanaman produktif. Langkah kecil ini akan berdampak besar bagi kesadaran dan ketahanan lingkungan.”
Beberapa peserta bahkan langsung berbincang antusias —menyusun rencana menanam bersama di halaman kos atau melakukan gerakan menanam di kampung halaman.
Sosialisasi ini bukan penutup, melainkan pintu pembuka. Program Ecopesantren akan berlanjut sepanjang Desember 2025 dengan sejumlah agenda, termasuk penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara pengelola pesantren dan Yayasan Pendidikan Nulondalo Lipuu, diskusi lingkungan, kelas gender, dan peringatan haul ke-16 Gus Dur
Seiring matahari mulai turun sore itu, peserta meninggalkan pesantren sambil menenteng bibit tanaman. Namun lebih dari itu, mereka pulang membawa gagasan, harapan, dan komitmen kecil untuk menjaga bumi. Dari lingkungan pesantren, sebuah gerakan hijau mulai tumbuh. Perlahan, tetapi pasti.









