Ibu Bumi: Membaca Gerakan Pemimpin Pesantren Ath-Thariq

Di tengah kian sesaknya dunia dakwah yang beralih rupa menjadi papan iklan, penuh bangunan megah, proposal pembiayaan, dan kompetisi popularitas, ada sebuah pesantren kecil di Cigugur, Garut, yang memilih berjalan ke arah sebaliknya. Pesantren Ekologi Ath-Thaariq berdiri tanpa kubah raksasa, tanpa pagar besar, tanpa program prestise yang membebani santri. Yang ada hanyalah kebun, sawah, kolam ikan, suara burung, dan pemimpin pesantren perempuan yang lebih sering terlihat dengan tangan berlumur tanah daripada memegang mikrofon. Namanya Umi Nissa Wargadipura.

Ath-Thaariq bukan sekadar pesantren. Ia adalah proyek perlawanan, laboratorium keilmuan, dan sekaligus otokritik paling tajam terhadap pesantren Indonesia hari ini. Lembaga yang semestinya menjadi pusat spiritualitas dan pembentukan akhlak, namun sering menjadi sumber elitisme, reproduksi patriarki, dan perpanjangan tangan kapitalisme. 

Ath-Thaariq tidak hanya mengajarkan agama, tetapi merumuskan ulang apa itu agama. Tidak hanya mengajarkan tentang alam, tetapi mengembalikan manusia ke kosmos ekologisnya. Tidak hanya mengkritik sistem, tetapi membangun alternatif hidup dari akar yang paling sederhana: tanah. 

Nissa Wargadipura atau familiar dengan Umi Nissa menyebutnya Green Islam, sebuah epistemologi ekologis yang berangkat dari tubuh perempuan, pengalaman agraria, dan spiritualitas sufistik yang membumi. Dan itulah yang membuat pesantren ini menjadi otokritik paling serius terhadap krisis ekologi, patriarki, serta pembangunan di Indonesia.

Pada sebuah wawancara, umi berkata dengan nada yang sulit disangkal: kecewa, lucu, sekaligus getir. “Sekarang kiai-kiai tidak berdzikir dengan burung, tidak lagi dengan suara sungai. Pesantren penuh semen. Santri tidak keluar keringat.”

Dalam satu kalimat itu, ia sebenarnya merangkum krisis besar pesantren Indonesia saat ini: teologi yang tercerabut dari bumi. Bagi umi, pesantren sekarang berubah menjadi institusi modern yang sibuk mengejar akreditasi, bangunan tipe A–B–C, asrama bertingkat, pendingin ruangan, dan jaringan listrik yang tak pernah tidur. Ruang belajar yang harusnya terbuka, kini kedap oleh tembok semen dan birokrasi kurikulum.

Padahal, kata umi, santri itu harus mengeluarkan keringat, benar-benar keringat. Bukan sekadar menghafal kitab. Dari sinilah kritik Ath-Thaariq dimulai. Ia tidak menolak pesantren; ia mengoreksinya dari akar.

Ekoteologi dari Tubuh Perempuan: Epistemologi yang Jarang Dibaca Akademisi

Hal yang paling mengejutkan dari umi adalah sumber pemikirannya. Ia tidak memulai ekofeminisme dari buku Vandana Shiva, Maria Mies, Karen Warren, atau teori akademis mana pun.

Ia memulainya dari tubuh perempuan. Dari tubuhnya sendiri.

“Umi takjub dari ketubuhan perempuan… dari masa haid, perubahan hormon, sperma masuk, embrio kecil, melahirkan, menyusui, bayi blues… betapa hebatnya perempuan.”

Bagi Umi, tubuh perempuan adalah metafor terbesar ekologis: ia menyerap, menjaga, tumbuh, memberi kehidupan, terluka, pulih, dan terus berulang.

Jika tubuh perempuan rusak, ekosistem pun rusak. Jika tubuh perempuan tidak dipenuhi makanannya, tanah pun tidak dipenuhi kesuburannya. Jika perempuan dipinggirkan dari pengambilan keputusan, sesungguhnya bumi sedang kehilangan penjaganya.

Dan bagi umi, semua krisis ekologi hari ini seperti kerusakan tanah, hilangnya benih lokal, tingginya operasi caesar, kasus baby blues, hingga stunting sebenarnya berakar pada satu hal: perempuan dan bumi diperlakukan dengan logika yang sama: dieksploitasi, bukan dirawat.

Dalam wawancaranya, ia membuat hubungan berani:

Stunting bukan hanya saat lahir. Dari dalam kandungan sudah stunting karena spermanya sperma Supermie (mie instan), ibunya makan ultra process food.”

Sulit membantah pemikiran ini ketika kita melihat data: Indonesia berada di urutan tinggi untuk stunting nasional, bahkan Garut, daerah umi tinggal termasuk wilayah dengan angka perceraian tertinggi karena tekanan ekonomi dan krisis rumah tangga. Kedua masalah ini, bagi umi, adalah masalah ekologi sekaligus masalah reproduksi sosial perempuan.

Bagi umi, ekologi tidak bisa dipisahkan dari hormon, rahim, dan dapur perempuan. Inilah epistemologi ekofeminisme yang unik dan lahir dari tubuh, bukan dari ruang seminar. 

Ath-Thaariq Dibangun dari Kegagalan Negara: Kritik terhadap Revolusi Hijau

Sebelum mendirikan pesantren, Umi adalah aktivis agraria. Ia ikut mendirikan Serikat Petani Pasundan, mempelajari langsung bagaimana redistribusi tanah negara gagal total dalam meningkatkan kesejahteraan petani.

Umi menjelaskan: “Pembaruan agraria itu gagal karena petani tidak disiapkan jadi petani sejati. Dikasih tanah satu hektar tapi sistem pertaniannya monokultur. Akhirnya mereka menjual tanahnya lagi.”

Ia memberi contoh konkret: kasus Sagara di Garut, redistribusi 20 hektar untuk 700 kepala keluarga. Tanah dibagi, tapi: tidak ada modal, tidak ada koperasi, tidak ada pendidikan agroekologi, tidak ada jaminan pasar, tidak ada kebijakan pendukung.

Bagi Umi, ini bukan kesalahan petani. Ini kesalahan negara. Kesalahan sistem pertanian monokultur yang memiskinkan desa, mengandalkan pupuk kimia, dan membuat petani terjerat hutang hingga akhirnya menjual kembali tanahnya.

Ia menjelaskan dengan gamblang: “Kalau menanam karet, 7 tahun baru panen. Dari mana petani hidup selama itu? Hutang. Lalu menjual tanah. Ini lingkaran kemiskinan.”

Dari kegagalan sistem inilah Ath-Thaariq lahir. Ia adalah jawaban praktis atas apa yang tidak mampu dilakukan negara: membangun ekonomi lokal berbasis polikultur, pendidikan agroekologi yang membumi, kemandirian pangan keluarga, dan spiritualitas ekologis.

Ath-Thaariq menjadi bukti bahwa pembaruan agraria sejati harus dimulai dari dapur keluarga, bukan dari meja birokrasi.

Habluminal ‘Alam: Teologi Baru yang Jarang Dibicarakan Pesantren

Salah satu konsep paling radikal dari umi adalah pemetaannya tentang empat hablun. Kita sering mendengar tiga hablun: habluminallah (hubungan dengan Tuhan), habluminannas (hubungan sesama manusia), dan habluminnafsi (hubungan dengan diri).

Tapi umi menambahkan satu lingkaran besar di tengah yang selama ini hilang dari wacana arus utama: “Habluminal ‘alam. Tempat semua makhluk berdzikir.”

Umi menunjukkan gambar lingkaran itu pada peneliti: Tiga hablun bertemu di tengah dan pusatnya adalah alam. Ini bukan hal kecil. Ini adalah pergeseran epistemologi. Teologi baru. Bagi Umi: Habluminallah tanpa habluminal ‘alam sama dengan iman yang kering. Habluminannas tanpa habluminal ‘alam sama dengan solidaritas tanpa akar. Habluminnafsi tanpa habluminal ‘alam sama dengan terapi yang kehilangan ruang kosmik. Dan ini bukan teori kosong. Ia diwujudkan dalam kehidupan santri: santri menanam sambil berdzikir, menyiram tanaman sambil membaca basmalah, belajar di kebun, dapur, dan sungai, makan dari hasil panen sendiri, tidur cukup, berjalan pagi, grounding, forest healing, praktik yang umi kaitkan dengan habluminnafsi.

Bagi umi, berdzikir bukan hanya melafalkan kalimat suci, tetapi mendengar suara burung, sungai, semut, bahkan desis ular. Ini adalah teologi yang menghancurkan tembok asrama pesantren modern dan bagian dari kurikulum Green Islam; kurikulum yang membuat pesantren ini mendapat penghargaan kurikulum lingkungan terbaik PBMU 2025.

Kementerian Agama mungkin baru sampai tahap memisahkan jenis sampah kering–basah. Umi sudah jauh bergerak: mengintegrasikan zikir dengan mikrobiologi tanah.

Kaderisasi Sunyi: Melawan Kaderisasi Kosong

Banyak pesantren bangga dengan ribuan santri. Ath-Thaariq justru membatasi diri: maksimal 30. Bahkan setiap tahun hanya mendidik sekitar 10 orang.

“Saya tidak harus banyak. Yang penting mereka pulang ke desa, hidup bersama tanah. Itu getok tular.”

Kaderisasi Ath-Thaariq bukan melalui ceramah, tetapi: hidup bersama, masak bersama, berkebun bersama, belajar sehari-hari dalam ritme desa, membangun karakter dari tubuh, bukan kepala. Ini strategi yang berbeda dari pesantren populer dan lebih dekat pada metode sufi: membentuk manusia, bukan massa. 

Pesantren sebagai Lembaga Perlawanan terhadap Kapitalisme

Umi melihat bahwa krisis spiritual dan krisis ekologi datang dari sumber yang sama: kapitalisme. Ia mengatakan keras “Sistem kapitalis masuk ke pesantren. Pesantren akhirnya menjadi penyupply kader-kader kapitalis.”

Ini bukan tuduhan sembarangan. Banyak pejabat daerah–nasional adalah alumni pesantren. Banyak kebijakan publik lahir dari tafsir agama yang patriarkis dan pro-kapital. yang kemudian mengesahkan kebijakan yang merugikan petani, merusak tanah, dan memihak korporasi. Pesantren besar lebih bangga membangun gedung tinggi daripada membangun tanah.

Maka Ath-Thaariq mengambil posisi anti-mainstream, sebagai bantahan terhadap itu semua: tidak mengejar akreditasi, tidak mengutamakan pembangunan fisik, tidak mencari ribuan santri, tidak mengadopsi kurikulum Kemenag yang materialistik, dan menjadikan pangan sebagai basis ekonomi desa.

Inilah sebabnya mengapa Ath-Thaariq disebut laboratorium habluminal ‘alam oleh umi. Karena gerakan ini adalah teologi sekaligus perlawanan.

Interfaith, Green Islam, dan Masa Depan Pesantren Perempuan

Umi bukan hanya pemimpin pesantren. Ia adalah bagian dari Konsorsium Pembaruan Agraria, aktivis GUSDURian, serta delegasi Indonesia dalam pertemuan pemimpin lintas iman Asia.

“Ath-Thaariq juga interreligius. Kami baru pulang dari Bangkok untuk pertemuan pemimpin Asia.”

Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi umi tidak berhenti di Garut. Ia bergerak dalam jaringan global. Dan yang paling penting: ia membuktikan bahwa pesantren bisa dipimpin perempuan, dengan kualitas kurikulum yang diakui secara nasional.

Pesantren Umi menjadi salah satu dari hanya 7 pesantren yang mendapat penghargaan Kurikulum Terbaik PBMU 2025, khususnya untuk kurikulum lingkungan berbasis Green Islam. Ini membuka pintu bagi pesantren-pesantren perempuan lain untuk percaya diri dan mengambil ruang kepemimpinan.

Akhirnya, apa itu Ath-Thaariq?

Ia bukan hanya pesantren. Ia adalah counter-narrative terhadap: negara yang gagal melakukan pembaruan agraria, pesantren yang tercerabut dari alam, kapitalisme yang menggerus manusia, patriarki yang membungkam perempuan, teologi yang lupa bahwa Tuhan menciptakan bumi bukan sebagai latar belakang, tetapi sebagai ayat.

Umi merangkum seluruh perjalanan panjang ini dalam satu kalimat yang ia ulang berkali-kali: “Yang penting itu 3R: ritme tubuh, ritme alam, ritme kehidupan.”

Ath-Thaariq adalah upaya memulihkan ritme itu. Ritme yang hilang di kota. Ritme yang diculik kapitalisme. Ritme yang dikubur oleh pesantren yang terlalu sibuk membangun gedung.

Ath-Thaariq adalah pesantren sebagai otokritik ekologis, sekaligus laboratorium teologi yang paling jujur di Indonesia hari ini: teologi yang tidak melayang di langit, tetapi menancap di tanah.

Dari Pesantren Kecil, Lahir Epistemologi Baru

Ketika saya membaca seluruh wawancara, saya teringat catatan pertama saya dari Mbak Mai dan Bang Oji yaitu “kalian jangan hanya mewawancarai para Nausus, tapi juga memahami cara beliau menghidupi ilmunya.”

Kini saya sadar: ilmu Umi Nissa bukan sesuatu yang dapat dikumpulkan dalam buku. Ia harus dialami seperti santri: berjalan pagi, berkebun, mendengar burung, memasak, menanam, mengolah tanah, merawat air, dan merawat tubuh perempuan.

Dari pesantren kecil itu, lahir epistemologi baru: bahwa spiritualitas bukan tentang naik ke langit, tapi menunduk ke tanah. Dan dari tanah Cigugur itulah kritik itu dimulai, pelan, halus, tetapi sangat dalam.

Ath-Thaariq membuktikan bahwa pesantren bisa menjadi ruang perlawanan ekologis, ruang feminis, ruang spiritual, sekaligus ruang pendidikan agraria yang konkret.

Dan mungkin, di masa depan, ketika krisis iklim semakin menghimpit, justru pesantren seperti inilah yang akan menjadi penyelamat: pesantren yang lebih percaya pada tanah daripada semen, lebih memilih burung daripada speaker, dan lebih mempercayai tubuh perempuan sebagai sumber ilmu daripada politik panggung. Pesantren sebagai otokritik ekologi. Dan dari Ath-Thaariq, kritik itu menemukan bentuknya yang paling utuh.

Penggerak Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *