Bung Karno dan Gus Dur berasal dari generasi yang berbeda. Namun, pemikiran keduanya masih terasa relevan. Keduanya sama-sama meninggalkan jejak penting dalam cara kita memandang hubungan manusia dan alam.
Bung Karno dikenal lewat gagasan Marhaenisme. Ia menekankan kesadaran sosial dan nasional sebagai dasar perjuangan. Sementara itu, Gus Dur tampil sebagai ulama dan pernah menjabat sebagai presiden yang menjunjung tinggi nilai moral serta kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut juga tercermin dalam sikapnya terhadap perlindungan lingkungan.
Walau lahir dari latar dan zaman yang berbeda, gagasan keduanya saling bertemu. Keduanya membantu kita memahami kepedulian ekologis. Kepedulian yang tidak hanya menjaga alam, tetapi juga berpihak pada kesejahteraan manusia.
Bung Karno melihat Marhaenisme sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Marhaenisme menekankan sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi. Fokusnya adalah kemerdekaan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil, seperti petani, buruh, dan kaum miskin. Dalam Tjamkan Pantja Sila-Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (1964), Bung Karno menyatakan, “Marhaenisme adalah Marxisme jang diselenggarakan, ditjotjokan, dilaksanakan di Indonesia.”
Marhaenisme menekankan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Berbeda dengan Marxisme di Eropa yang fokus pada buruh dan masyarakat tanpa kelas. Bung Karno menarik pada konteks Indonesia sehingga kemerdekaan politik dan keadilan sosial juga ekonomi bagi seluruh rakyat indonesia (baca: rakyat kecil, petani, buruh, dan kaum miskin).
Dalam esainya, “Eko-Marhaenisme: Tata Kelola Bangsa-Manusia-Alam dalam Sosio-Ekologi” yang terkumpul dalam buku Bacan Bumi (2025), George Towar Ikbal Tawakkal mengembangkan istilah eko-marhaenisme untuk membawa pemikiran Bung Karno ke ranah lingkungan. Dengan menggali kembali Pidato 1 Juni 1945, Tawakkal membawa pada gagasan bahwa bangsa adalah kesatuan manusia dan bumi. Masyarakat dan alam saling berinteraksi, saling menjaga, dan saling menyelamatkan.
Eko-marhaenisme, agaknya dapat disebut sebagai eko-sosialisme versi Indonesia. Ia menekankan bahwa kesejahteraan rakyat bergantung pada kelestarian lingkungan. Sebaliknya, lingkungan yang lestari membutuhkan perhatian manusia. Maka tak dapat dipungkiri, keberhasilan Pak Marhaen, petani, atau buruh tidak bisa dipisahkan dari kualitas alam di sekitarnya.
Secara tidak langsung, ia menuntut pemahaman bahwa udara bersih, tanah subur, dan sumber daya alam yang lestari bukan kemewahan, melainkan hak dasar rakyat. Menurut Tawakkal, nasionalisme harus menjamin keselamatan seluruh masyarakat dan bertindak sesuai kepentingan mereka. Hal ini menekankan pentingnya harmoni antara rakyat dan ibu pertiwi.
Pemikiran ini mendorong bangsa menempatkan manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan moral dan politik. Pembangunan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal keberlanjutan kehidupan.
Sementara itu, Gus Dur menempuh jalur pemikiran yang berbeda. Dengan latar nilai-nilai humanisme yang kuat dalam gagasannya, pandangan Gus Dur kerap dapat dipadankan dengan apa yang kini dikenal sebagai humanisme ekologis, yakni cara pandang yang menautkan kepedulian terhadap lingkungan dengan penghormatan terhadap martabat manusia.
Dalam esainya “Ulama dan Pembinaan Kesadaran Lingkungan” (2024), Gus Dur menegaskan bahwa kesadaran lingkungan tidak cukup dibangun lewat aturan atau seruan formal. Kesadaran itu harus berakar pada refleksi terhadap realitas sosial dan kemanusiaan.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Auriga Nusantara (2022) dalam buku Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi, Gus Dur menolak eksploitasi sumber daya alam yang tidak adil, termasuk penebangan hutan dan pertambangan. Bahkan, selama kepemimpinannya, ia tidak memberikan konsesi tambang, memberlakukan moratorium penebangan hutan, dan mendorong pengelolaan sumber daya alam yang akuntabel serta berkelanjutan.
Pandangan tersebut tidak hanya tercermin dalam kebijakan negara, tetapi juga dalam gagasan politik yang ia dorong. Menurut Eko Cahyono (2025) dalam artikelnya “Jejak Gus Dur dalam Penegakan Keadilan Ekologis”, Gus Dur mendorong gerakan hijau dalam partai politik. Ia menekankan bahwa politik lingkungan harus bersifat kultural, bukan alat untuk menyerang pemerintah.
Gagasan ini kemudian diwujudkan secara lebih konkret dalam agenda politik partai. Deklarasi Hijau PKB 2007 menekankan nilai lokal, partisipasi masyarakat, dan moratorium kontrak tambang di kawasan hutan lindung, sebagai langkah nyata menjaga kelestarian ekosistem. Gus Dur juga menekankan pentingnya pendidikan Islam yang berwawasan lingkungan, menanamkan kesadaran ekologis sejak dini.
Dalam konteks yang lebih luas, pemikiran dan praktik ekologis Gus Dur dapat dibaca berdampingan dengan Eko-Marhaenisme sebagai pendekatan lain yang sama-sama berorientasi pada keadilan sosial dan lingkungan. Kedua pendekatan ini tetap relevan.
Eko-marhaenisme mengingatkan bahwa pembangunan harus memperhatikan kesejahteraan rakyat sekaligus kelestarian alam. Gus Dur menekankan bahwa keputusan politik dan sosial harus berpihak pada kehidupan, moral, dan keberlanjutan lingkungan. Jika dibaca berdampingan, pemikiran Bung Karno dan Gus Dur sama-sama memperlihatkan bahwa soal lingkungan tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan keadilan sosial, sikap moral, dan keterlibatan rakyat dalam menentukan arah hidupnya.
Masalah seperti perubahan iklim, kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan ketimpangan akses atas sumber daya alam menunjukkan bahwa gagasan Bung Karno dan Gus Dur masih sangat dekat dengan persoalan yang kita hadapi sehari-hari. Marhaenisme mengingatkan bahwa kesejahteraan rakyat terkait langsung dengan kelestarian alam, sementara Gus Dur menekankan tanggung jawab moral dan sosial terhadap lingkungan.
Pemikiran mereka mendorong kita bertanya: bagaimana setiap kebijakan dan tindakan sehari-hari berdampak pada kelestarian bumi dan kesejahteraan masyarakat? Bagaimana hak manusia bisa berjalan seimbang dengan tanggung jawab terhadap alam?
Pemikiran Bung Karno dan Gus Dur tetap menjadi cermin untuk memahami hubungan manusia dengan bumi. Keduanya juga mewanti-wanti pada kita bahwa kelestarian hidup bukan milik individu atau kelompok tertentu, melainkan tanggung jawab bersama. Warisan ini mengajarkan kita menempatkan manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Atau barangkali yang sedang kita hadapi hari ini bukan sekadar krisis iklim, melainkan krisis cara memandang bumi. Kita terlalu sibuk menghitung manfaat, lupa menimbang akibat. Terlalu percaya pada grafik pertumbuhan, lupa pada hutan yang gundul dan bumi yang dikeruk.









