JAKARTA – Pertemuan orang muda lintas negara yang diselenggarakan Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) yang didukung oleh Mensen Met Een Missie (MM) melahirkan dokumen deklarasi bertajuk “Asia-Africa Youth Declaration on Digital Safety and Human Rights” pada Rabu, 17 September 2025.
Sebelumnya, para orang muda dari Burundi, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, dan Filipina berkumpul untuk mengikuti kegiatan “Cross-Country Learning on Youth, Digital Safety, and Human Rights” pada 7-17 September di tiga kota: Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Beberapa lembaga seperti Jaringan GUSDURian, Peace Generation, Imparsial, dan Interfidei berperan menjadi penyelenggara acara ini.
Selama sepuluh hari, sekitar tiga puluh pemimpin dan aktivis muda yang mewakili negaranya masing-masing saling bertemu untuk belajar tentang cara menangani radikalisme daring, polarisasi, dan ekstremisme-kekerasan serta mempromosikan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).
Pertukaran pembelajaran lintas negara ini menginspirasi dan menghubungkan pemuda untuk terlibat dalam berbagai isu terkait keamanan digital, hak asasi manusia, dan pendidikan perdamaian, dengan tujuan belajar, berjejaring, berpartisipasi, serta membangun dukungan untuk mempromosikan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).
Adapun dokumen deklarasi yang dihasilkan menyoroti beberapa hal, mulai dari konteks yang terjadi hari ini hingga seruan aksi bagi para pengambil kebijakan (stakeholder). Deklarasi Orang Muda Asia-Afrika berangkat dari kegelisahan munculnya polarisasi di media digital, rendahnya literasi dan keamanan digital, radikalisasi dan eksploitasi daring yang dilakukan kelompok ekstremis, lemahnya hukum siber dan penggunaan AI (Akal Imitasi), serta ketidaksetaraan akses di masyarakat.

Maka dari itu, dokumen deklarasi menyarankan memberikan lima poin rekomendasi yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, peningkatan kapasitas pemuda dalam keamanan digital, literasi digital, penciptaan, dan penyebaran narasi alternatif; (2) Kedua, pengesahan dan penegakan prinsip, hukum, dan kerangka kerja terkait keamanan digital, hak asasi manusia, dan KBB.
Ketiga, penguatan kolaborasi antara pemangku kepentingan negara dan non-negara: pemuda, lembaga pemerintah, sektor swasta, komunitas rentan, media, akademisi, donor, lembaga internasional, tokoh agama, kelompok budaya, dan keluarga; Keempat, penyebaran kampanye kesadaran baik daring maupun luring tentang keamanan digital, HAM, anti-diskriminasi, inisiatif perdamaian, serta kolaborasi lintas generasi dalam kampanye daring; Kelima, adanya dialog inklusif dengan perusahaan teknologi untuk regulasi mandiri dan moderasi konten terhadap konten digital berbahaya.
Maka dari itu, untuk menerjemahkan rekomendasi tersebut menjadi aksi nyata, dokumen deklarasi menyerukan kepada:
Pertama, lembaga pemerintah internasional, regional, nasional, dan sub-nasional untuk menyediakan lingkungan yang mendukung, menegakkan hukum dan regulasi, serta mempromosikan keamanan digital, HAM, dan KBB. Kedua, donor dan organisasi internasional untuk memprioritaskan investasi strategis melalui pendanaan, mendorong pertukaran pembelajaran, serta memastikan keberlanjutan program di ruang digital dengan menerapkan prinsip Do No Harm dan Leave No One Behind.
Ketiga, media dan pembuat konten untuk bertanggung jawab dalam pembuatan dan penyebaran konten daring. Keempat, pemuda untuk ingat peran kita dalam membangun perdamaian menuju komunitas yang tangguh dengan mencegah ekstremisme kekerasan di ruang digital.
Dokumen deklarasi dibacakan oleh tiga peserta yang mewakili tiga negara yang berbeda, yaitu Yatron dari Irak, Anna dari Indonesia, dan Spageon dari Burundi.









