Ada ironi memalukan yang selalu terjadi dalam sistem penegakan hukum di negara kita yaitu negara menjual hukum sebagai simbol moral, bukan sebagai alat perlindungan nyata. Hal ini terlihat terang ketika pemerintah melalui aparatnya berkali-kali melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat yang berusaha melindungi tanah mereka dari ekspansi perkebunan sawit dan tambang. Hukum lingkungan di Indonesia hanya bekerja sebagai kosmetik legitimasi, bukan instrumen keadilan.
Menurut laporan Kompas (2025), berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2024 terjadi konflik agraria di Indonesia mencapai lebih dari 250 kasus dengan luasan lebih dari 500.000 hektar. Konflik tersebut mengakibatkan banyaknya tanah ulayat yang terampas. Seperti di Sumatera Barat, ada tanah ulayat Minangkabau yang tergerus oleh ekspansi sawit, di Kalimantan Tengah, ribuan hektar tanah ulayat suku Dayat yang dijadikan tambang batu bara, di Papua? Jauh lebih memilukan lagi, karena tanah ada hutan yang kaya akan mineral itu telah menjadi sasaran tambang selama puluhan tahun (Freeport).
Seolah belum cukup bencana banjir yang sampai hari ini belum ditangani secara serius oleh pemerintah, karena Prabowo masih enggan untuk menetapkan banjir di Sumatera sebagai bencana nasional, malah dengan entengnya pada rapat Percepatan Pembangunan Papua di Istana Negara mengatakan agar Papua ditanami sawit. Prabowo bukannya tidak mengerti soal ekologi, meski dia mengatakan sawit itu pohon dan pohon punya daun, tapi dia yang mengelola negara ini dalam sudut pandang pebisnis (kapitalistik).
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sepanjang 2014 hingga 2024, kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan setidaknya mencapai 1.131. Angka ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, mulai dari intimidasi, pemanggilan polisi, penggusuran, hingga pemidanaan terhadap masyarakat adat, aktivis bahkan jurnalis lingkungan. Dan sektor yang paling sering menjadi sasaran konflik adalah perkebunan, kehutanan, pertambangan, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN).
Secara normatif, melalui Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang dalam pemaknaan MK, memperluas cakupan perlindungan hukum (tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata) dari frasa “setiap orang” yaitu (termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan) yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan/penegakan hak atas lingkungan hidup atau menempuh jalur hukum akibat pencemaran atau perusakan. Tapi faktanya? Sudah berapa anak bangsa yang mendapat kekerasan? Sudah berapa banyak aktivis yang dipenjarakan? Dan sudah berapa banyak nyawa masyarakat adat yang jadi korban?
Dalam perspektif Critical Legal Studies (CLS), hukum tidak pernah steril dari relasi kuasa, tidak terlepas dari kepentingan politik, karena pada kenyataanya hukum bekerja bukan di ruang hampa, tapi dalam sebuah realitas yang tidak netral dan subjektif. Karena ketika warga negara biasa yang hanya berusaha mempertahankan ruang hidupnya mereka dilabeli sebagai tindakan liar, pelaku kerusuhan, melawan hukum sehingga “kriminalisasi” menjadi legal.
Selain itu, adanya pelemahan strict liability (tanggung jawab mutlak) melalui Pasal 88 UU PPLH, yang mana jika sebelumnya perusak lingkungan harus bertanggung jawab tanpa perlu adanya pembuktian kesalahan (niat jahat atau kelalaian), cukup hanya dibuktikan dengan adanya kerugian hubungan sebab-akibat (kausalitas), kini setelah perubahan menyebabkan pembuktian kembali berat. Sehingga korporasi bisa dengan mudah berkelit dan hanya berakhir dengan penyelesaian administratif.
Pasal 66 UU PPLH yang tampak melindungi “setiap orang” pada kenyataannya tak lebih dari bentuk legitimasi klaim negara bahwa hukum sudah adil, padahal hierarki kekuasaan tidak tersentuh. Duncan Kennedy dalam esainya “The Critique of Rights” (1997) mengatakan, “Rights discourse often function as a form ideological reassurance, offering the appearance of protection while living power relations intact”. Jadi, dalam konteks Pasal 66, meminjam istilah Duncan, tak lebih dari penenang ideologis (ideological reassurance).









