Belajar Meminta Maaf dari Gus Dur

Maaf adalah salah satu kata dasar dalam etika sosial manusia. Ia termasuk dalam tiga ungkapan dasar yang lazim diajarkan sejak dini—tolong, terima kasih, dan maaf—sebagai fondasi relasi sosial yang sehat. Namun, ketika memasuki usia dewasa dan memiliki kuasa, justru kata ini sering kali sulit diucapkan. Ego, gengsi, dan kekhawatiran kehilangan kekuasaan menjadikan permintaan maaf dipandang sebagai ancaman bagi harga diri.

Dalam praktik sosial-politik, kata maaf kerap kali dipahami sebagai tanda kelemahan, bukan sebagai ekspresi tanggung jawab moral. Padahal, meminta maaf bukan sekadar pengakuan, melainkan tindakan moral yang berdampak sosial. Permintaan maaf harus dipahami sebagai kesadaran akan kesalahan, pengakuan atas penderitaan pihak lain, dan komitmen untuk tidak mengulangi.

Apalagi perihal seorang pemimpin. Kadang banyak dari seorang pemimpin susah sekali mengucap maaf atas tindakannya yang semena-mena, entah karena takut atau malu. Seorang pemimpin yang berani meminta maaf justru menunjukkan sebuah kebesaran hati, tanggung jawab, dan membangun kredibilitas yang tinggi.

Sayangnya, praktik sederhana seperti ini jarang ditemukan, terutama dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer. Budaya politik kita cenderung defensif. Kesalahan kebijakan sering dijawab dengan persoalan teknis, kritik publik dibalas narasi sinis, dan kegagalan negara kerap kali dilemparkan kepada rakyatnya sendiri.

Peristiwa-peristiwa seperti sering kali kita jumpai, bahkan dalam lingkungan kita sendiri. Bukannya meminta maaf dengan menginsafi kesalahan, malah klarifikasi berkelit-kelit. Empati tidak dipedulikan, yang penting permasalahan segera usai. Kiranya mungkin agar bisa melakukannya lagi, seperti yang sudah-sudah—seperti kasus korupsi, misalnya.

Fenomena ini dapat ditangkap sebagai krisis moral kepemimpinan. Kekuasaan hanya dipahami sebagai instrumen penampil citra, bukan sebagai amanah sosial. Dalam logika semacam ini, bukan tidak mungkin, permintaan maaf dianggap berisiko secara politis—karena dapat menurunkan legitimasi. Akibatnya, dimensi kemanusiaan dan relasi penguasa dengan rakyat dalam sebuah negara menjadi kabur.

Melihat fenomena ini, memantik ingatan pada sosok Abdurrahman Wahid atau lumrah disapa Gus Dur. Beliau dianggap banyak pihak sangat cocok untuk dijadikan rujukan etis. Memang dalam perjalanannya menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia sangat singkat, namun beliau telah mewariskan begitu banyak tindakan etis dalam berpolitik. Salah satunya adalah perihal meminta maaf.

Seperti misalnya, permintaan maaf Gus Dur kepada korban tragedi 1965. Beliau secara terbuka meminta maaf dalam salah satu stasiun televisi. Tentu langkah ini sangat kontroversial. Mengingat adanya keterkaitan erat antara NU dengan peristiwa 1965. Oleh sebab itu, muncul banyak protes dari berbagai kalangan. Permintaan maaf Gus Dur dianggap tidak tulus, membuka luka lama, dan bahkan dicap mengganggu stabilitas nasional.

Hebatnya seorang Gus Dur, beliau justru menanggapi berbagai kritik itu dengan langkah tegas. Secara konsisten, beliau membuktikan ketulusannya lewat kebijakan dan tindakan konkret. Seperti membuka ruang pemulihan martabat korban, mendorong rekonsiliasi, dan menghentikan praktik stigmatisasi. Dengan demikian, Gus Dur tidak hanya beretorika, tapi menjalankannya.

Sikap serupa juga ditunjukkan Gus Dur dalam menyikapi pelanggaran HAM di Timor Leste, seperti dalam peristiwa Santa Cruz. Beliau meminta maaf secara terbuka atas kekerasan yang dilakukan aparat negara. Secara etis, Gus Dur telah memberikan warisan yang begitu mendalam. Negara, baginya, akan beradab jika berani mengakui kesalahannya sendiri. Tanpa pengakuan, sejarah hanya akan mewariskan sumber konflik.

Contoh lainnya juga dapat kita lihat dari kebesaran hati seorang Gus Dur yang meminta maaf kepada rakyat Papua. Beliau mengakui bahwa negara telah lama gagal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan di wilayah tersebut. Untuk itu, beliau membuka ruang dialog dan berhasil menjadi salah satu presiden yang disayangi rakyat Papua.

Merujuk berbagai contoh yang telah Gus Dur lakukan di atas, kita dapat melihat bahwa kerangka berpikir yang dirangkai Gus Dur bukanlah soal bagaimana mempertahankan legitimasi kekuasaan. Beliau melompat lebih jauh. Permintaan maaf digunakan sebagai kunci untuk membuka gerbang moral kemanusiaan yang sudah usang tertimbun reruntuhan Orde Baru.

Maaf bukan sebuah akhir, ia adalah awal dari perubahan pendekatan negara. Dari yang mulanya militeristik menjadi humanistik. Bagi Gus Dur, maaf merupakan tindakan politik yang bermoral. Karena beliau ingin mencoba merasakan langsung penderitaan rakyatnya. Untuk itu, beliau dikenang sebagai presiden yang dicintai oleh berbagai kalangan.

Lagi-lagi, hadirnya Gus Dur sebagai teladan telah membuktikan bahwa apa yang beliau perbuat masih relevan untuk kita jalankan. Entah karena Indonesia yang tidak maju-maju, atau memang warisan Gus Dur yang menembus ruang dan waktu. Indonesia tidak pernah kekurangan pejabat yang pintar dalam hal teknokratis, tetapi kita kekurangan pejabat yang memiliki keberanian moral. Keberanian untuk mengakui kesalahan, atau bahkan mundur dari jabatan ketika merasa tidak mampu menjalankan.

Kesadaran untuk mengakui kemampuan dan kesalahan adalah fondasi penting dalam mengemban jabatan. Meminta maaf dan mundur dari jabatan bukan tanda kekalahan, melainkan bentuk kedewasaan berpolitik. Tanpa kesadaran, kepercayaan publik akan semakin luntur dan jarak antara pejabat dengan rakyat akan semakin melebar.

Negara yang mengaku demokratis harus bersedia menerima kritik dengan lapang dada. Ia juga harus berani bercermin, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri. Apalagi di tengah krisis empati, polarisasi politik, dan melemahnya kepercayaan publik. Keberanian moral semacam ini menjadi kebutuhan yang mendesak.

Tidak hanya para pejabat yang bisa belajar meminta maaf dari Gus Dur, kita semua juga bisa. Perlu diingat, meminta maaf bukan hanya soal keberanian mengungkapkan kata maaf, lebih jauh dari itu, kita juga harus belajar menindaklanjuti ungkapan tersebut. Agar kata maaf tidak berhenti di mulut, tapi bermanifestasi ke dalam perbuatan sehari-hari.

Gus Dur telah mewariskan banyak hal, bukan hanya kebijakan formal, namun juga pada keberaniannya menempatkan kemanusiaan di atas gengsi kekuasaan. Beliau mengajarkan bahwa kata maaf, meski sederhana, dapat menjadi fondasi penting untuk menumbuhkan keadilan, rekonsiliasi, dan masa depan yang lebih bermartabat. Dari sini, kita bisa belajar menjadi dewasa dan manusiawi.

Penggerak Komunitas GUSDURian Surakarta, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *