Bakti kepada Ibu saat Hari Raya Dongzhi

Hari Raya Dongzhi merupakan hari besar bagi umat Khonghucu di Indonesia yang identik dengan memakan ronde. Ya, ronde, minuman hangat dengan air jahe dan juga bola-bola tepung bercampur kacang di dalamnya. Sembahyang Dongzhi dilakukan saat momen astronomis tertentu, yaitu ketika matahari berada tepat di atas garis balik 23,5 derajat Lintang Selatan, sehingga di belahan bumi utara terjadi siang terpendek dan malam terpanjang. Biasanya dirayakan pada tanggal 21-23 Desember dalam penanggalan Masehi yang juga bertepatan dengan Hari Ibu di 22 Desember.

Dalam Agama Khonghucu, Bakti (xiao, 孝) merupakan salah satu nilai etis paling mendasar dan menjadi fondasi kehidupan moral, sosial, dan spiritual. Bakti tidak hanya dimaknai sebagai ketaatan anak kepada orang tua, melainkan sebagai sikap hormat, tanggung jawab, dan kesetiaan yang menyeluruh dalam relasi antar manusia dan relasi manusia dengan Tian (Yang Maha Esa). Dalam Kitab Lun Yu Jilid 1: 6 dikatakan bahwa:

Nabi bersabda, “Seorang muda, di rumah hendaklah berlaku bakti, di luar rumah hendaklah bersikap Rendah Hati, berhati-hatilah sehingga dapat dipercaya, menaruh cinta kepada masyarakat dan berhubungan erat dengan orang yang berperi Cinta Kasih. Bila telah melakukan semua ini dan masih mempunyai kelebihan tenaga, gunakanlah untuk mempelajari kitab-kitab.”

Dalam momen Dongzhi ini, penulis mengikuti kegiatan yang diadakan di Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Purwokerto yang dilakukan bersama dengan Makin Purbalingga untuk merayakan sembahyang Dongzhi. Sembahyang dipanjatkan dengan persembahan serta menaikkan dupa dan doa dipimpin oleh Rohaniwan Khonghucu, Js. Maryati.

Sembahyang berlangsung dengan khidmat yang mana umat menyanyikan pujian Khonghucu terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan penyempurnaan surat doa. Ketua Makin Purwokerto Js. Sun Eng memberikan pesan bahwa sebagai umat Khonghucu harus tetap semangat dan setia bahkan hingga lansia harus tetap mengikut Khonghucu. Beliau memberikan semangat karena yang hadir merupakan para ibu-ibu yang sudah memeluk Agama Khonghucu bahkan sejak pemerintahan Orde Baru –yang tentunya kita tahu saat itu Khonghucu mengalami pelarangan.

Pada momen Hari Raya Dongzhi yang juga bertepatan dengan Hari Ibu, Perempuan Agama Khonghucu Indonesia (PERKHIN) Purwokerto membagikan bingkisan kepada perempuan hebat dan perkasa, yakni mereka yang bekerja sebagai pencari nafkah. Seperti mereka yang menjadi buruh gendong, penjual sayuran di Pasar Wage, dan juga sebagian penjual jajanan pasar keliling. Hal ini merupakan wujud dari solidaritas sesama perempuan dalam menunjukan dukungan moril terhadap perempuan di luar sana tanpa melihat latar belakang mereka.

Tema Perkhin Nasional tahun ini yang bertepatan dengan Dongzhi ialah Sayangi Lansia-Rawatlah dengan Cinta. Menggambarkan rasa bakti kepada orang tua khususnya ibu yang telah banyak berjuang bagi keluarga. Para ibu lansia umat Khonghucu setidaknya merupakan generasi yang merasakan diskriminasi etnis Tionghoa di masa pemerintahan Orde Baru. Tidak mudah bagi mereka menjalani dan membesarkan keluarga sehingga para generasi muda Khonghucu masih ada hingga sekarang.

Pada momen ini Perkhin Purwokerto memberikan bingkisan kepada para ibu-ibu yang telah lanjut usia untuk menunjukan Cinta dan Bakti terhadap orang tua. Bingkisan itu diberikan dari orang muda dan anak remaja kepada para oma yang hadir pada waktu itu sebagai wujud terima kasih atas dedikasi mereka.

Dongzhi yang bertepatan dengan peringatan Hari Ibu menghadirkan sebuah ruang refleksi yang mendalam mengenai relasi antara Tian, manusia, dan sesama dalam ajaran Khonghucu. Dongzhi, sebagai momentum kosmik ketika yin mencapai puncaknya dan yang mulai bertumbuh kembali, menandai harapan, keseimbangan, serta pembaruan kehidupan.

Dalam konteks ini, perjumpaannya dengan Hari Ibu menegaskan bahwa nilai bakti (xiao) bukan sekadar kewajiban etis dalam lingkup keluarga, melainkan juga jalan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Tian. Bakti kepada orang tua—terutama kepada ibu sebagai sumber kehidupan—menjadi manifestasi konkret dari penghormatan terhadap kehendak Tian yang bekerja melalui relasi manusiawi.

Dalam ajaran Khonghucu, bakti tidak berhenti pada sikap hormat secara lahiriah, tetapi mencakup kesungguhan hati, tanggung jawab moral, dan kesetiaan dalam merawat relasi sepanjang hidup. Melalui praktik bakti inilah seorang umat Khonghucu ditempa untuk menjadi Junzi, pribadi berbudi luhur yang mampu menghayati ren, yi, dan li dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, pengabaian terhadap bakti mencerminkan sikap Xiaoren, yakni manusia yang terjebak pada kepentingan diri sendiri dan kehilangan orientasi moral. Dengan demikian, Dongzhi yang bertetapan dengan Hari Ibu mengajarkan bahwa keharmonisan kosmik dan sosial hanya dapat terwujud ketika relasi dengan Tian dan sesama dijalin melalui bakti yang tulus, sadar, dan berkelanjutan.

Dengan demikian, peringatan Dongzhi yang bertepatan dengan Hari Ibu menegaskan bahwa bakti merupakan jembatan antara dimensi spiritual dan sosial dalam kehidupan umat Khonghucu. Melalui bakti kepada orang tua, manusia belajar merawat relasi, menumbuhkan kepekaan moral, dan meneladani kehendak Tian dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini membentuk pribadi Junzi yang tidak hanya saleh secara personal, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial.

Pada akhirnya, bakti menjadi fondasi bagi terciptanya keluarga yang harmonis, masyarakat yang berkeadaban, serta tatanan dunia yang selaras, adil, dan penuh penghormatan terhadap kehidupan.

Mahasiswa CRCS UGM. Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *