Natal 2025 mengusung tema “Allah Hadir untuk Menyelamatkan Keluarga”, yang diambil dari Matius 1:22–24. Tema ini mengajak umat Kristiani untuk kembali menengok inti paling dasar dari kisah Natal: Allah yang memilih hadir melalui sebuah keluarga, dalam kesederhanaan, keterbatasan, dan kerentanan manusiawi.
Di tengah perayaan yang seharusnya penuh sukacita, Natal tahun ini juga menjadi ruang refleksi bersama, terutama ketika kita mengingat saudara-saudara umat Kristiani di Sumatera Utara yang tengah mengalami musibah bencana ekologis. Dalam situasi kehilangan dan keterbatasan, Natal dirayakan bukan dengan kemeriahan, melainkan dengan keteguhan iman dan kesederhanaan hidup.
Kesadaran inilah yang menegaskan bahwa Natal bukan pertama-tama tentang perayaan besar, melainkan tentang keluarga sebagai satuan kehidupan terkecil yang menopang harapan di tengah krisis. Dari keluarga Nazaret yang rapuh namun taat, hingga keluarga-keluarga hari ini yang berjuang menghadapi bencana dan ketidakpastian, Natal selalu berbicara tentang Allah yang memilih hadir di ruang-ruang paling manusiawi. Dalam semangat itulah Safari Natal yang diinisiasi oleh Komunitas GUSDURian Yogyakarta tidak dimaknai sekadar sebagai kunjungan seremonial, melainkan sebagai praktik iman dan kemanusiaan—merawat relasi, meneguhkan solidaritas, dan menghadirkan Natal sebagai kabar baik bagi sesama, lintas iman dan latar belakang.
Safari Natal kami dimulai pada Malam Natal, 24 Desember 2025, dengan mengunjungi Gereja Katolik Pringgolayan dan GKI Gejayan. Kunjungan ini menjadi pembuka yang bermakna, karena kami hadir langsung di tengah perayaan ibadah umat, menyaksikan suasana Natal yang khidmat sekaligus penuh kehangatan. Di GKI Gejayan, kami disambut secara langsung oleh Pdt. Paulus Lie, yang dengan terbuka memperkenalkan kami di hadapan jemaat yang mengikuti Ibadah Malam Natal. Sambutan ini mencerminkan semangat keterbukaan gereja dalam merawat relasi lintas komunitas dan memperkuat ikatan persaudaraan.
Safari Natal kemudian berlanjut pada 25 Desember 2025. Rute pertama kami awali dengan berkunjung ke Syantikara Youth Center, sebuah ruang pendampingan dan pelayanan kaum muda yang selama ini aktif membangun dialog kemanusiaan. Dari sana, perjalanan dilanjutkan ke Susteran Carolus Borromeus Samirono dan Susteran Amalkasih Darah Mulia Kota Baru, tempat kami berbagi sapaan Natal serta mempererat solidaritas dengan para suster yang setia melayani di berbagai bidang. Safari Natal ini kami akhiri dengan kunjungan ke Gereja Katolik Santa Maria Assumpta Gamping, menutup rangkaian perjalanan dengan rasa syukur atas perjumpaan, kebersamaan, dan semangat Natal yang hidup dalam tindakan nyata.

Pada kesempatan berikutnya, penggerak GUSDURian Jogja menerima undangan dari Pdt. Boydo R. Hutagalung, Pendeta GPIB Margamulya Yogyakarta, untuk bersilaturahmi dan menikmati kue Natal di kediaman beliau. Undangan ini menjadi momen yang hangat dan personal, karena perjumpaan tidak berlangsung di ruang ibadah formal, melainkan di ruang domestik yang sarat dengan keakraban dan keterbukaan.
Dalam suasana sederhana namun penuh makna tersebut, kami berbincang mengenai perayaan Natal, pelayanan gereja, serta pentingnya merawat relasi lintas komunitas iman di tengah masyarakat yang majemuk. Sajian kue Natal yang dibagikan bukan sekadar hidangan, melainkan simbol penerimaan, persaudaraan, dan kasih yang menjadi inti dari perayaan Natal itu sendiri. Pertemuan ini menegaskan bahwa semangat Natal tidak hanya dihayati melalui liturgi dan ritual, tetapi juga melalui perjumpaan sehari-hari yang membangun kepercayaan, dialog, dan solidaritas antarumat beragama secara tulus dan setara.
Dalam refleksi pribadinya, Rofiki (Kordiv. Advokasi dan Jejaring) menyampaikan bahwa perjumpaan lintas iman pada momen Natal memiliki makna yang sangat mendalam bagi dirinya. “Secara pribadi saya senang bisa bertemu dengan orang lain, terutama di momen Natal bisa bertemu dengan teman-teman yang berbeda agama,” katanya. Bagi Rofiki, pengalaman ini bukan sekadar kunjungan seremonial, melainkan simbol nyata dari hubungan yang erat antarumat beragama, khususnya dengan komunitas Kristen, yang selama ini dibangun melalui dialog dan perjumpaan yang tulus.
Lebih lanjut, Rofiki melihat Safari Natal sebagai pengejawantahan nilai-nilai yang dijunjung dalam Jaringan GUSDURian. Ia menyampaikan bahwa semangat toleransi, keterbukaan, dan kemanusiaan yang dirawat dalam GUSDURian menjadi roh yang menghidupi setiap perjumpaan. “Ini sejalan dengan spirit Gus Dur yang menjunjung tinggi nilai toleransi,” ungkapnya.
Pertemuan dengan para tokoh lintas iman, khususnya para pendeta, juga memberi kesan tersendiri. Rofiki menuturkan, “Setiap bertemu tokoh-tokoh, saya selalu mendapatkan hal baru untuk dibawa pulang, entah itu wejangan atau nasihat.” Dari dialog-dialog tersebut, ia memperoleh wawasan baru tentang keberagaman, cara pandang iman, serta nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan. Pengalaman ini, menurutnya, memperkaya cara melihat perbedaan bukan sebagai jarak, melainkan sebagai sumber pembelajaran bersama.

Sebagai penutup rangkaian Safari Natal GUSDURian, seluruh perjumpaan yang telah dilalui menegaskan bahwa Natal bukan semata perayaan internal umat Kristiani, melainkan ruang bersama untuk merawat kemanusiaan, persaudaraan, dan harapan. Safari ini memperlihatkan bahwa dialog lintas iman paling otentik tidak selalu lahir dari forum formal, tetapi dari kunjungan sederhana, sapaan hangat, doa, dan kesediaan untuk saling mendengarkan.
Dalam setiap gereja, susteran, dan rumah yang kami kunjungi, kami belajar bahwa perbedaan iman tidak menghalangi tumbuhnya rasa saling percaya dan solidaritas. Semangat inilah yang terus dihidupi oleh Jaringan GUSDURian, yakni menjadikan toleransi sebagai praktik nyata, bukan sekadar wacana. Safari Natal ini akhirnya menjadi pengingat bahwa damai harus terus diupayakan, dirawat, dan diwariskan melalui perjumpaan konkret, agar nilai kemanusiaan dapat tetap hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.









