Bermoral

Seliweran kabar burung dan kabar bohong menyesatkan (hoaks) semakin hari semakin tak terbendung. Mulai dari vaksin yang menyebabkan anak autis, rampok yang berkeliaran, sampai yang terkait capres dan Pemilu 2019.

Selain kabar bohong menyesatkan, pesan-pesan bermuatan kebencian dan permusuhan juga bertebaran. Kabar ribuan tenaga kerja asing Cina yang akan menghancurkan Indonesia, misalnya.

Terkait dengan pesta demokrasi, Cherian George (2017) menyebutkan bahwa pelintiran kebencian (hate spin) banyak digunakan oleh makelar politik untuk menimbulkan sentimen menolak lawan politiknya. Dalam risetnya di India, AS, dan Indonesia, George menemukan bahwa pelintiran kebencian ini dilakukan menggunakan agama atau ideologi sebagai bahan bakar.

Walaupun kabar-kabar ini terbukti tidak rasional, cukup banyak masyarakat yang percaya. Bahkan, kelompok dengan pendidikan cukup tinggi pun tak imun dari pengaruh kabar bohong menyesatkan. Mengikuti debat capres kedua, misalnya, tuduhan penggunaan mikrofon dan pena bertransmisi didengungkan oleh banyak lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa manusia lebih dipengaruhi oleh penilaian (emosional) daripada rasionalitasnya. Tesis ini sebetulnya telah banyak diungkap dalam konteks psikologi konsumen. Keputusan membeli lebih banyak ditentukan oleh sentimen emosi dan pikiran logis digunakan untuk memberikan justifikasi pada keputusan membeli tersebut.

Demikian pula dengan kabar menyesatkan. Setiap pesan diterima dan diproses sesuai dengan penilaian (judgement) moralitas seseorang, dan setelahnya rasionalitas digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap penilaian tersebut.

Buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religions (2012) mengulas secara menyeluruh tentang hal ini. Jonathan Haidt, penulisnya, adalah seorang psikolog sosial yang berfokus pada psikologi moralitas. Haidt mengeksplorasi berbagai aspek yang membuat masyarakat mudah terpengaruh oleh pesan-pesan yang mereka terima, dimulai dari hubungan antara judgement dan rasionalitas.

Riset Haidt menyimpulkan bahwa individu memiliki beberapa dimensi (modul) moralitas, yang diibaratkannya dengan indera perasa. Setiap individu memiliki keenam indera moralitas ini, tetapi tidak selalu keenamnya diasah, sebagaimana orang Asia suka masakan pedas, sementara tidak demikian bagi orang Eropa.

Modul moralitas pertama adalah care (menyayangi, merawat)-harm (menyakiti, merusak). Menyayangi atau merawat dipandang sebagai sesuatu yang baik dan bermoral, sedangkan hal-hal yang merusak dipandang sebagai hal yang buruk dan tak bermoral. Pesan ”vaksin akan membuat anak menderita autisme atau menjadi hiperaktif” menyentuh moralitas ini. Orangtua yang sayang kepada anaknya menjadi ragu untuk memberikan imunisasi karena tidak ingin merusak kehidupan sang anak.

Modul moralitas berikutnya adalah fairness (adil)-cheating (kecurangan). Adil tentunya diterima sebagai sikap bermoral, dan sebaliknya bertindak curang adalah sikap tak bermoral. Karena itu, dalam pilpres kali ini, tagar #PemimpinBohong digunakan oleh pendukung kedua capres untuk menyerang lawannya dan menandainya sebagai tak bermoral. Tak peduli apakah informasinya tepat dan terverifikasi, sebutan pembohong sudah akan menimpakan stigma tidak bermoral kepada lawan.

Loyalty (kesetiaan)-betrayal (khianat) adalah modul moralitas selanjutnya. Tuduhan antek asing kepada petahana Joko Widodo dan tuduhan pendukung khilafah kepada Prabowo dipenuhi moralitas ini. Keduanya dipotret sebagai pengkhianat bangsa dengan pesan-pesan tersebut. Bantahan berupa data tidak akan banyak membantu karena data tersebut tidak menyentuh moralitas yang dimaksud. Yang akan lebih efektif adalah pesan bagaimana setianya paslon pujaan kepada negara, Pancasila, dan UUD 1945.

Modul keempat adalah ketaatan kepada otoritas (authority)-sikap melawan otoritas (subversion). Tagar #BelaUlama merupakan contoh mutakhir untuk modul ini. Publik diajak untuk membela ulama yang dimaksud, dan sebagai antitesisnya adalah tuduhan mengkhianati ulama yang dialamatkan kepada orang-orang yang tak mendukung kampanye tersebut. Stigma melawan otoritas juga dilekatkan kepada warga Papua yang memperjuangkan keadilan di tanahnya, lepas dari apakah ia mendukung gerakan merdeka atau tidak.

Sanctity (kesucian)-degradation (penodaan) merupakan modul berikutnya. Menjaga kesucian dianggap sebagai sebuah sikap dan tindakan bermoral, dan dalam hal ini kesucian yang tertinggi adalah kesucian yang bersifat primordial, seperti agama dan ideologi. Contoh konkretnya adalah kampanye MAGA yang digunakan Donald Trump untuk membakar sentimen menjaga supremasi kulit putih (white supremacy) melawan banjir imigran yang dianggap menodainya.

Modul moralitas terakhir adalah freedom (kemerdekaan)- oppression (penindasan). Bermoral adalah menjaga dan menghormati kemerdekaan orang lain, sedangkan menindas orang lain merupakan tindakan dan sikap tak bermoral.

Contoh terdekat adalah citra kriminalisasi ulama atau islamophobia yang dituduhkan kepada rezim pemerintahan saat ini walaupun hampir setiap minggu Presiden menghadiri acara keagamaan yang diselenggarakan oleh banyak organisasi Islam di Indonesia.

Dengan framing yang sedemikian kuat menggunakan modul-modul moralitas ini, tak heran warga masyarakat banyak terjebak pada pesan-pesan yang berhamburan. Data dan rasionalitas tak mampu menggempur jebakan-jebakan ini karena sentimen emosi dalam tata nilai yang disentuh.

Apalagi pada tahun politik yang pada dasarnya adalah kompetisi. Jika para politisi tidak mampu mengendalikan pesan-pesan kampanyenya dan hanya mempersoalkan menang kalah, pada akhirnya menang jadi arang, kalah jadi abu.

Tak heran, Gandhi menyebut politik tanpa prinsip sebagai salah satu dari tujuh dosa sosial yang mematikan.


(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 24 Februari 2019)


Sumber: kompas.id


Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.