Keluar aslinya, sebuah istilah populer untuk menggambarkan bagaimana watak dasar sering kali tersamarkan dalam suasana normal dan mendadak muncul dalam kondisi tertentu. Apalagi, apabila terjadi situasi genting yang memaksa, individu, kelompok masyarakat, organisasi, bahkan institusi negara akan secara spontan menunjukkan nilai-nilai dasarnya.
Siapa nyana, situasi genting saat ini disebabkan oleh makhluk baru berukuran sangat kecil dengan kekuatan sangat besar: virus korona baru. Hanya dalam empat bulan, ia menginfeksi lebih dari sejuta orang di dua ratusan negara, membunuh puluhan ribu jiwa, meluluhlantakkan ekonomi global sampai ekonomi keluarga, dan secara umum menghentikan kehidupan publik. Sebuah disrupsi yang sempurna dampaknya.
VUCA world yang tadinya merupakan istilah dunia bisnis menjelma menjadi istilah kehidupan. volatilility (gejolak perubahan), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kerumitan), dan ambiguity (ketidakjelasan) menggambarkan hari-hari ini dan masa depan yang belum dapat kita bayangkan. Kemapanan dan ukuran kehidupan yang selama ini kita akrabi tidak lagi dapat digunakan sebagaimana sebulan lalu. Bahkan, untuk bekerja, sekolah, dan beribadah pun, kita tak lagi dapat mengandalkan cara-cara lama. Ketika nanti kita sudah terbebas dari bencana virus ini dan dapat kembali beraktivitas, perubahan ini pasti masih meninggalkan dampaknya.
Bencana virus dan dampak VUCA ini membawa banyak hal ke permukaan. Membawa dan mengembalikan banyak hal baik, tetapi juga mengungkapkan banyak hal buruk yang selama ini tidak kita sadari.
Sudah cukup lama kita menyadari bahwa birokrasi dan sistem pemerintahan bergerak lamban, tidak responsif terhadap perubahan situasi, sering kali tumpang tindih antarsektor, tetapi juga sering tidak terintegrasi dan sinergis. Di banyak institusi negara ini, kita lebih sering melihat strategi kerja berorientasi kegiatan dan bersifat formalistik, bukan berorientasi hasil ataupun perubahan di tingkat masyarakat.
Dalam bencana wabah Covid-19 ini, kita menyaksikan hal-hal itu secara nyata. Kita berulang kali melihat para pejabat memberi komentar yang tidak memberdayakan. Sampai awal Maret, kita melihat ketidaksiapan pemerintah untuk tanggap cepat, ketidaksigapan sektor-sektor, tidak sinkronnya hubungan antarlembaga, yang berujung pada strategi tambal sulam. Semua ini adalah buah dari problem birokrasi yang sudah puluhan tahun kita sadari. Dampaknya, manajemen krisis tertatih-tatih, baru mulai terintegrasi beberapa hari terakhir.
Beruntungnya, warga masyarakat Indonesia memiliki kearifan tersendiri: dalam hal-hal dan situasi yang fundamental, mereka tidak pernah menunggu negara. Dalam beberapa bencana skala besar, inisiatif rakyat jadi tulang punggung ketangguhan bangsa. Saat krisis ekonomi 1998, warga saling menolong anggota keluarga. Saat bencana tsunami tahun 2004, gempa Yogya, letusan gunung Merapi tahun 2010, dan bencana Lombok serta Palu beberapa tahun terakhir tanggap bencana bertumpu pada masyarakat.
Demikian juga dalam bencana wabah Covid-19 ini. Semangat saling jaga antarwargalah yang berhasil mengatasi beberapa persoalan darurat kala instrumen negara masih tergagap, bahkan defensif, menghadapi hantaman bencana.
Saat tenaga kesehatan mengeluhkan kurangnya alat pelindung diri (APD), warga bertransformasi jadi tukang jahit dan tukang produksi APD darurat tanpa cari untung, seperti gerakan Majelis Mau Jahitin. Saat masker mulut dan hand sanitizer langka, warga berbondong-bondong belajar memproduksi dan membagikannya.
Saat protokol pembatasan gerak tidak kunjung diputuskan pemerintah, warga mengorganisir diri untuk melindungi area masing-masing. Saat pemerintah pusat dan daerah belum tanggap atas dampak ekonomi terhadap kelompok miskin dan rentan miskin, sebagian besar warga telah sadar bahwa banyak orang masih bergantung pada penghasilan harian sehingga akan terdampak langsung oleh melambatnya sektor bisnis dan aktivitas di ruang publik.
Warga berswadaya dengan berbagai cara untuk membantu kelompok ini. Mulai dari membagikan nasi bungkus dan mi instan, sampai menaikkan tip para pengendara ojek daring. Ratusan kelompok masyarakat mengorganisasi bantuan paket sembako, seperti yang dilakukan Gusdurian Peduli dan Gerakan Islam Cinta, bekerja sama dengan platform galang dana Kitabisa.com.
Data dari beberapa platform galang dana daring mencatatkan total donasi lebih dari 50 miliar rupiah yang dihimpun dari ratusan ribu orang. Donasi mulai dari seribu rupiah sampai jutaan rupiah dapat kita temukan di sana. Ini menandakan bahwa semangat saling jaga dimiliki oleh siapa saja, tidak hanya mereka yang berkelimpahan finansial.
Tak salah jika Charity Aid Foundation melalui World Giving Index 2018 menobatkan Indonesia sebagai negara dengan penduduk paling dermawan di dunia. Dalam bencana ini, kita menyaksikan wujud tiga kriteria penilaian indeks itu, yaitu mendonasikan uang, menjadi relawan, dan kemauan menolong orang yang tidak dikenalnya.
Bencana Covid-19 memberi dampak yang sama-sama kuat kepada negara dan pada masyarakat. Sama-sama ”keluar aslinya” yang sayangnya saling berlawanan. Negara gamang, sementara banyak warga bangsa kini tersadarkan bahwa kita saling bergantung. Sebab, nasib kita bersama ditentukan oleh tindakan setiap orang. Karena itu, kita perlu saling jaga. Kita perlu bergerak bersama untuk mencari solusi bersama. Inilah nilai asli bangsa Indonesia dan modal utama resiliensi masyarakat.
Pertanyaannya: bagaimana dan kapan pemerintah dapat belajar dari masyarakat?
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 12 April 2020)
Sumber: kompas.id