Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat pada sebuah film. Bukan Film Hollywood yang kerap memainkan imajinasi kita dengan sensasi adegan ranjang dan sengaja dipotong. Atau film-film Bollywood, yang memanjakan para pecinta lagu dan gerak tarik ala Hindustan dan Sungai Gangga. Bukan. Bukan itu. Saya teringat sebuah film dokumenter berjudul High Noon in Jakarta.
Memang film ini tidak beredar di gedung bioskop 21 atau XXI. Film ini beredar di kalangan para aktivis di seputaran tahun 2001, pasca Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dijerat dengan pasal politik yang tak masuk akal dan berujung pelengseran.
Orang seusia saya tak mungkin bisa melupakan suasana itu. Saya sedang di Jakarta kala Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001. Mengantar para kiai dari Jawa Timur, berangkat dengan belasan bus dari Taman Bungkul Surabaya. Mereka diundang ke pondok pesantren Assiddiqiyah Batuceper, Tangerang, bersama para ulama se-Nusantara. Saya baru tahu belakangan, kalau pertemuan itu sengaja digelar untuk memberi penjelasan tentang situasi politik yang tak mungkin lagi ada titik temu dan berisiko tinggi pada pemakzulan (impeachment).
Gus Dur sebagai presiden emoh mengompromikan hal prinsip yang itu sudah dikunci mati dalam konstitusi negara. Walau dikeroyok oleh para politisi yang dulu mendukungnya di Pemilihan Presiden 1999, Presiden Gus Dur tak gentar. Dia berani menghadapinya sendirian, bahkan ketika tak didukung oleh kekuatan militer, di mana ia adalah Panglima Tertingginya.
Nah, film tadi bercerita tentang keberanian Presiden yang juga merupakan cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary. Adalah sutradara asal Australia, Curtis Levy yang membesutnya. Diproduksi dan ditayangkan Australian Broadcast Corporations (ABC). High Noon in Jakarta dengan apik, epik dan apa adanya, merekam satu ruas sejarah Indonesia tentang keberanian seorang Presiden bernama Gus Dur dalam mengambil keputusan penting berefek internasional terkait pelanggaran HAM di Timor Leste yang melibatkan militer Indonesia.
Menko Polkam era Presiden Gus Dur, Wiranto dianggap terlibat dan harus bertanggung jawab mengingat posisinya sebagai pemegang pucuk pimpinan militer ketika peristiwa itu terjadi. Gus Dur akhirnya memang menonaktifkan Jendral Wiranto dari posisinya sebagai Menko Polkam, dalam situasi politik di mana Presiden (sebenarnya) butuh back-up militer secara politik, mengingat posisi pemerintahan transisi kala itu.
Keputusan yang semata didasarkan untuk kepentingan Indonesia sebagai negara berdaulat dan menghormati deklarasi kemanusiaan yang menjadi konsensus semua negara di dunia. Selain itu, karena Gus Dur yang sedang gencar menggalang dukungan investasi internasional bagi Indonesia yang belum sepenuhnya lepas dari krisis moneter, juga tidak ingin tersandera oleh keberadaan anggota kabinet yang dituduh melanggar HAM oleh dunia.
Saya hanya bisa membayangkan bahwa, setelahnya, tak akan ada presiden yang seberani Gus Dur: mengambil pilihan sulit itu dengan percaya diri dan riang gembira. Risikonya cukup berat, berhadapan dengan para politisi dan tentaranya sendiri yang sudah 32 tahun menikmati singgasana. Sementara, Gus Dur jauh dari background kemiliteran kecuali dengan Banser memang dekat. Heheu.
Dan keputusan pun diambil. Wiranto dinonaktifkan dengan cara yang tidak biasa. Gus Dur mengumumkan pemecatan orang kuat itu dari luar negeri, saat sedang melakukan kunjungan kenegaraan. Dia seperti ini mengatakan kepada dunia internasional begini: “Lu tantang gue. Emang gue takut?” Sikap ini bagi kalangan pesantren tak ubahnya sebagai muqtadal makan, mengerjakan sesuatu sesuai konteks tempatnya. Setidaknya, urusan internasional sudah selesai. Urusan dalam negeri biar diselesaikan belakangan secara internal. Dunia internasional tak usah turut campur.
Keberanian Gus Dur itu oleh Levy disandingkan dengan keberanian dan kesatriaan seorang sheriff dalam film High Noon, hanya sendirian melawan sekawanan bandit yang menantang duel di siang bolong. Untuk membuat film dokumenter ini, Levy membutuhkan waktu 4 bulan, termasuk mengikuti perjalanan Gus Dur selama 15 hari ke Eropa dan Asia. Dalam kunjungan resmi kenegaraan ini, Levy menggambarkan bagaimana situasi diplomasi menghadapi opini internasional terkait kasus Timor Leste.
Lantas, kenapa film ini diberi judul ‘Highnoon in Jakarta’?
Pertama, Levy menilai ada kemiripan karakter keberanian (brave) antara Gus Dur dengan tokoh Sheriff dalam film aslinya, High Noon. Kedua, dalam masa-masa kritis menghadapi masalah ini Gus Dur (ketika nyantai dan berolah raga jalan pagi di pagi buta) sering bersenandung lagu yang menjadi soundtrack film High Noon yang diciptakan Text Ritter.
Syairnya sangat menggambarkan situasi pelik saat itu: “I do not know what fate awaits me. I only know I must be brave n I must face the man who hates me, now that I need you by my side”. Kira-kira artinya begini, “Aku tak tahu, takdir apa yang kini sedang menunggu. Yang aku tahu hanyalah, aku harus berani, menghadapi dia yang sedang membenciku. Setelah itu, aku membutuhkanmu di sisiku.” So sweet banget kan?
Di bagian akhir film berdurasi 59 menit itu, ada adegan Gus Dur bercerita kepada para pengawalnya, bahwa sang sheriff akhirnya berangkat menuju stasiun kereta, tempat di mana dia harus berduel dengan para bandit yang akan menuntut balas. Padahal di hari itu pula dia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.
“Do not forsake me, oh my darling. I must be brave…”
“Jangan tinggalkan aku, sayang. Karena–saat ini–aku harus berani ….”
Lirik pesan cinta dari sang Sheriff itu didendangkan mantan Ketua Umum PBNU itu, ditirukan dan juga ditiru olehnya di alam nyata. Gus Dur berani menghadapi tekanan internasional, sebagaimana dia juga berani menghadapi para politisi yang hanya berpikir kekuasaan dan kursi kabinet.
Sebagaimana Sheriff yang berduel melawan sekawanan bandit dalam film High Noon, Gus Dur pun berani menghadapi segala jerat culas, demi kesatuan Indonesia tercinta. Curtis Levy menjulukinya: High Noon in Jakarta. Siang Bolong di Kota Jakarta. Saat matahari Jakarta tepat di atas kepala.
Sumber: arrahim.id