Panggung sejarah membuktikan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam interaksi sosialnya. Mereka hanya menjadi pelengkap atau bahkan sering menjadi korban, selain itu mereka selalu menjadi makhluk tuhan yang di nomor dua-kan, bahkan dianggap sebuah barang kepemilikan.Dalam tradisi Yunani, laki laki boleh mengawini perempuan dengan jumlah tidak terbatas. Bila sudah dikawini maka menjadi milik laki-laki sepenuhnya. Bahkan filsuf besar Aristoteles beranggapan bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Makhluk yang terakhir itu, dalam peradaban Yunani kuno dianggap tidak memiliki akal cukup untuk mencerna dan memahami.
Peradaban yang lain seperti Arab, India, Tiongkok tidak jauh berbeda. Bahkan di Arab, perempuan dibunuh dengan alasan telah mencemarkan kehormatan keluarga. Jika pun tidak dibunuh, mereka akan dijadikan budak dan dirampas hak sosialnya.
Tentu saja deskripsi ini menggambarkan peradaban yang cacat kemanusiaan. Kemunculan Islam lima belas abad silam menawarkan misi pembebasan hak perempuan namun tidak dapat dipungkiri tempat kelahiran Islam memiliki peradaban merendahkan kemanusiaan perempuan.
Kedatangan Islam merupakan angin segar bagi kaum perempuan. Melalui wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw bahwa perempuan dan laki-laki sebagai subjek manusia yang utuh dan setara satu sama lain saling melengkapi dan bermitra saling kerja sama. Hal demikian adalah visualisasi dari ayat Al-Qur’an (QS.al-Hujurat (49);13):
“Wahai manusia, kami telah ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, lalu kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Penjelasan deskripsi di atas tentu saja kita sepakat bahwa kedatangan islam membawa misi besar mengangkat kemanusiaan perempuan. Namun, akhir-akhir ini cara pandang kita terhadap teks- teks nash dan sejarah di awal Islam belum sepenuhnya diterapkan dalam perilaku kita. Masih banyak tafsir yang belum memanusiakan perempuan.
Indonesia sebagai negara mayoritas muslim pun belum sepenuhnya memahami tafsir kesetaraan. KH. Husein Muhammad salah satu ulama Indonesia yang cenderung memiliki pemikiran tafsir gender progresif. Beliau membuat formula baru fiqih perempuan dengan mempertimbangkan interpretasi Islam kita saat ini, apakah ikut berkontribusi memanusiakan perempuan atau malah sebaliknya justru menyampingkan dan menistakan. Dengan menelaah kitab kitab klasik dan mengkaji tatanan sosial perempuan beliau menemukan beberapa pemikiran tafsir wacana keadilan dan kesetaraan gender.
Esensi Penciptaan Manusia
Pemahaman perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki telah menjadi keyakinan yang mengakar dalam tubuh masyarakat. Padahal dalam Al-Quran tidak ada satu ayatpun yang menyebutkannya.
Faqihuddin Abdul Qadir dalam bukunya Qira’ah Mubadalah Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender Dalam Islam menuturkan bahwa Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Nasarudin Umar dalam analisisnya menyebutkan ada tiga bagian tafsir ayat penciptaan manusia dalam berbagai tafsir (modern dan klasik) tentunya sama sekali tidak membedakan asal-usul penciptaan antara laki-laki dan perempuan.
Abu Hurairah Ra meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Isteri itu (terkadang) seperti tulang rusuk (yang bengkok dan keras). Jika kamu meluruskan maka akan mematahkannya. Jika kamu (mendiamkan) menikmatinya maka kamu menikmati seorang yang ada kebengkokan (kekurangan) dalam dirinya.” (Shohih Bukhori, No 5239)
Hadist yang menerangkan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki ini perlu ada pemaknaan ulang karena hal ini tidak faktual dan bertentangan dengan teks-teks lain. Artinya Buya Husein Muhammad dalam bukunya Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender tidak sependapat dengan pemaknaan teks hadist yang menerangkan sifat perempuan (kiasan) “istri laksana tulang rusuk” yang kemudian diarahkan terhadap proses penciptaan manusia.
Menurutnya esensi awal penciptaan manusia dalam Al-Quran tidak menyebutkan lebih dahulu laki-laki kemudian perempuan dari tulang rusuknya sehingga laki-laki menjadi superior atas perempuan. Namun esensi awal penciptaan perempuan dan laki-laki yang eksplisit dan jelas salah satunya ada dalam QS. An-Nisa [4] ayat 1:
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhanmu,yang telah menciptakan kalian dari esensi yang satu, kemudian menciptakan dari jenis yang sama (esensi yang satu tersebut) pasangannya, lalu dari keduanya mengembangbiakan para laki-laki dan perempuan dengan banyak. Bertakwalah kepada Allah dst (QS. An-Nisa’ [4]; 1)
Dari ayat di atas dapat tergambar dalam pikiran kita bahwa tidak ada pernyataan mengenai penciptaan perempuan dari seorang laki-laki. Ayat penciptaan tersebut menggunakan kata “manusia” atau kalau dalam teks asalnya menggunakan kata “an-nas” yang berarti manusia secara umum laki-laki dan perempuan.
Bila kita perhatikan lagi dalam ayat tersebut terdapat kata “nafsun wahidah” dan “zaujaha” secara bahasa nafsun itu adalah jiwa sementara zaujaha artinya pasangan. Keduanya tidak menyebutkan diciptakan duluan mana dan tidak ada pembahasan penciptaan dari tulang rusuk.
Selain ayat di atas terdapat kelompok ayat lagi dalam surat al-Mu’minun [23] ayat 12:
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari satu saripati (berasal ) dari tanah.”
Penggalan ayat tersebut menegaskan persamaan penciptaan dari unsur tanah yang dikandung manusia baik laki-laki maupun perempuan. Jadi pada dasarnya semua manusia tanpa melihat jenis kelaminya diciptakan dengan tanah yang sama.
Pembahsan tentang isu isu penciptaan seharusnya ada kajian yang sangat mendalam dan pemikiran ulang mengenai tafsirnya. Sebab akan terjadi pemahaman yang menyimpang dengan keterangan yang telah digariskan dalam Al-Qur’an.
Kepustakaan:
KH. Husein Muhammad Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender
Faqihuddin Abdul Qadir dalam bukunya Qira’ah Mubadalah Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender Dalam Islam
Noviyati Widiyani Peran KH. Husein Muhammad Dalam Gerakan Kesetaraan Gender Indonesia