Tiga Faktor yang Membuat Data Covid-19 di Indonesia Amburadul

Para peramal akhir-akhir ini kesulitan menentukan model apa yang tepat untuk memprediksi Covid-19 di Indonesia, baik prediksi kapan puncak pandemi, atau kapan pandemi Covid-19 di Indonesia berakhir. Hal ini disebabkan oleh data yang dilaporkan pemerintah setiap hari patut diduga tidak mencerminkan fakta sesungguhnya perkembangan Covid-19 di Indonesia.

Setidaknya ada tiga indikator yang menunjukkan perihal tersebut.

Pertama, minimnya orang yang dites PCR. Menurut data di worldometers.info/coronavirus per tanggal 6 Mei 2020, Indonesia tercatat hanya melakukan tes PCR sebanyak 444 per 1 juta penduduk, bandingkan dengan India 864 per 1 juta, Malaysia 6,588 per 1 juta, atau Filipina 1,194 per 1 juta penduduk. Jumlah tes yang dilakukan Indonesia tersebut setara dengan beberapa negara di Afrika, seperti Zimbabwe dan Namibia.

Kedua, bila kita lihat pergerakan data harian Covid-19, terutama data di level provinsi, maka akan kita temukan variasi data hariannya sangat tinggi, naik-turun datanya seperti roller coaster, kadang naik tajam, kadang turun tajam, atau ada juga provinsi yang penambahan kasus baru harian stabil tiba-tiba melonjak berpuluh-puluh kali lipat. Meski demikian ada beberapa provinsi yang pergerakan data yang dilaporkan harian cukup bagus, di antaranya DKI Jakarta dan Bali

Ketiga, terkait dengan indikator kedua kita melihat adanya kelemahan manajemen data baik di Pusat maupun di Daerah. Seandainya pemerintah lebih terbuka bagaimana arus data dari daerah ke pusat kita bisa tahu sumber kemacetan data itu di mana? Apakah karena sistem informasinya yang bermasalah atau karena kedisiplinan pegawai Kemenkes di semua level yang rendah dalam meng-update data harian.

Prediksi selalu berpijak kepada pola data masa lalu, baik pola linear, non linier, atau seasonal, ditambah dengan beberapa indikator dan asumsi tertentu yang bisa dipertanggungjawabkan untuk memperkuat model yang dibuat. Semakin jelas pola datanya maka akan menghasilkan prediksi yang semakin solid dengan tingkat kesalahan yang kecil.

Walhasil melihat data yang ada sekarang, saya yakin semua pemodelan Covid-19 yang dibuat di Indonesia memiliki tingkat kesalahan yang tinggi, apalagi kalau rentang waktu peramalannya semakin lebar. Alvara Research Center sendiri pada akhirnya untuk level nasional hanya membatasi prediksi sampai 7 hari ke depan, hanya beberapa provinsi yang durasi waktu prediksinya lebih panjang hingga estimasi wabah Covid-19 berakhir bisa diketahui.

Lalu bagaimana kita bisa membantu pemerintah terkait carut-marut manajemen data ini?

Pemerintah sebaiknya segera melakukan “Audit Data” Covid-19, terutama terkait supply chain data dari daerah ke pusat, dan juga infrastruktur data lainnya. Audit data ini bisa melibatkan pihak perguruan tinggi terutama dari bidang keilmuan statistika dan informatika. Pemerintah dalam hal ini Kemenkes sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap data Covid-19 bisa belajar dari KPU yang sudah memiliki sistem IT yang sudah teruji saat pemilu.

Kecepatan kita mengatasi pandemi Covid-19 sangat tergantung kepada kecepatan dan ketepatan data yang kita miliki, pengalaman dari negara-negara semuanya menunjukkan hal yang sama. Beberapa negara negara di Eropa dan Asia sekarang sudah berhasil melewati puncak pandemi dan penambahan kasus harian perlahan mulai turun. Keberhasilan negara-negara tersebut salah satunya karena faktor data.

Semoga kita segera berbenah, tidak ada kata terlambat daripada tidak sama sekali.

Sumber: islami.co

Penulis dan peneliti. Saat ini menjadi CEO lembaga riset Alvara.