Menari Bersama Rumi dan Yesus

“Yesus ada dalam dirimu,” kata Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang Fir’aun”

Pada suatu waktu, saat fajar menyingsing—orang buta, pincang, tuli dan dirundung malang menggedor-gedor pintu rumah Isa al-Masih. Mereka meminta Isa untuk membebaskannya dari penderitaan. Isa kemudian mendoakan mereka lalu berkata, “Wahai orang-orang yang berduka. Keinginan kalian semua telah dikabulkan Allah. Bangunlah, berjalanlah, tanpa sakit dan derita. Akuilah kasih sayang dan kemurahan Tuhan.” Mereka pun sembuh. Mereka bergembira.

Rumi melanjutkan, “Betapa banyak derita disebabkan oleh dirimu sendiri terhadap dirimu. Betapa lamanya kedunguan menjadi kudamu! Betapa jarang jiwamu kosong dari dukacita dan kesedihan.”

Fragmen cerita ini dapat ditemukan di Matsnawi—salah satu karya agung yang dikarang oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273). Karya yang berjumlah enam buku ini berisi ajaran-ajaran tasawuf yang dituangkan secara mendalam, disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. 

Dalam buku ketiga Matsnawi, dibuka dengan satu pertanyaan beserta jawabannya. “Apakah tasawuf itu? Yaitu menemukan kebahagiaan di dalam hati kapan pun kesulitan dan kesusahan menyerang.” Jadi, Rumi menganggap tasawuf pada hakikatnya adalah kemampuan menjalani hidup dengan bahagia di tengah badai kesusahan dan penderitaan.

Di sini Rumi menghadirkan Isa al-Masih atau Yesus dalam ceritanya sebagai sosok yang agung. Bukan saja sebagai teladan yang terbebas dari penderitaan, tetapi juga “tempat perjamuan bagi orang-orang yang berhati.” Di lain sisi, penderitaan adalah hal yang paling eksistensial dalam kehidupan manusia. Kemudian Yesus digambarkan sebagai sosok penghalau galau, pembebas manusia dari belenggu penyakit dan derita. 

Di buku kedua dari magnum opus tersebut, Rumi menjelaskan kebangkitan Yesus yang perlu dipahami sebagai kebangkitan dimensi-dimensi luhur kemanusiaan yang merupakan fondasi kukuh bagi tegaknya kecemerlangan sejarah dan peradaban umat manusia. Tanpanya, kehidupan ini hanya akan dipenuhi oleh babak demi babak episode kelam yang penuh dengan destruksi, friksi, manipulasi dan 1001 perbuatan durja lainnya.

“Ilmu pengetahuan adalah warisan Yesus, bukan keledai, wahai manusia dungu,” ungkap Maulana Rumi dalam Matsnawinya. Alasannya sudah sedemikian jelas, bahwa hanya dengan ilmu pengetahuanlah seseorang akan sanggup membebaskan diri dari berbagai macam jerat dan belenggu kehidupan. Dengan pengetahuan, manusia menemukan dan merangkainya menjadi kebijaksaan dalam hidup sehingga lepas dari jeratan petaka kebodohan yang mendekatkan dirinya kepada kekafiran.

Milikilah kasih ‘Isa, bukan keledai. Jangan biarkan watak kebinatangan mengendalikan akal,” lanjut murid Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi itu dengan penuh keyakinan. Artinya, jangan sampai kebodohan yang bertengger pada watak binatang itu dengan seenaknya pindah kepada manusia. Karena sama sekali bukanlah tempatnya.

Berangkat dari tradisi Islam, Rumi melihat Yesus dalam dua perspektif: Pertama, sebagai manusia yang sudah mencapai tingkat spiritual tertentu. Kedua, sebagai spiritual guide

Pertama, sebagai manusia yang telah mencapai tingkat spiritual tertentu, Rumi menggambarkan Yesus sebagai yang berwarna satu dan yang berhasil menunggangi keledainya. Dalam tradisi sufi, banyak warna merupakan simbol dari ego manusia yang masih mendominasi.

Sementara itu, keledai merupakan simbol dari hawa nafsu. Itu berarti, dua penggambaran di atas menunjukan Yesus sebagai manusia yang telah bisa mengendalikan atau menaklukan ego dan hawa nafsunya. Hal ini, oleh Rumi, disebut sebagai sosok yang telah memiliki jiwa yang murni yang patut menjadi seorang pembimbing bagi mereka yang ingin mencapai tingkat spiritual yang sama.

Kedua, Yesus sebagai spiritual guide, yaitu yang menolong manusia untuk mengendalikan ego dan hawa nafsunya. Bahkan tidak hanya itu, Rumi menjadikan Yesus sebagai model dari sebuah perilaku yang mengarah kepada pemurnian hati itu, yakni ketaatan dan kerendahan hati kepada Allah.

Sebagaimana yang telah dialami oleh ‘Isa al-Masih, kita pun juga mesti menyediakan diri dengan kesanggupan dan kesediaan untuk menampung sifat-sifat terpuji Tuhan semesta alam dalam diri kita. Sehingga kita menjadi teofani-Nya yang paling sempurna di antara milyaran makhluk yang bertebaran di alam semesta. Hubungan kita dengan Tuhan akan menjadi sedemikian intim dan mesra karena tidak lagi bersifat “struktural”, tapi murni linier yang diteguhkan oleh adanya saling cinta antara kita dengan-Nya.

Lebih lanjut, Rumi mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa. “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi bukan berarti menyeru kepada para pendengarnya untuk memeluk salah satu agama. Dia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Para sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung dan dipandu oleh Yesus dan Muhammad.

Tuhan memancarkan kasih sayangNya kepada kita dan tugas kita selanjutnya adalah menyebarkan kasih itu ke serat-serat terdalam kehidupan. Sejatinya hidup harus memberi kehidupan. Di tengah pandemi Covid-19 ini—dimana manusia telah menjelma serigala yang memangsa serigala lainnya. Covid-19 tidak saja menyerang organ pernafasan manusia, namun juga menyerang pikiran-pikiran manusia yang menghancurkan tubuh rohaninya dari dalam. Dan kita sebagai orang-orang yang takzim kepada ‘Isa al-Masih—masih setia memungut jejak-jejak karyanya di muka bumi, bagian kita selanjutnya adalah senantiasa bangkit untuk mengobati penyakit-penyakit kemanusiaan yang menyerang manusia dan kehidupan.

Jika engkau memiliki Yesus, mata lahiriahmu hanya bernilai kecil. Jangan tersesat. Sebuah mata batiniah akan diberikannya bagimu. Mintalah tolong padanya, maka kamu akan merasa aman. Tapi jangan minta jiwa murni Yesus untuk melakukan keinginan dagingmu. [mfr]

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).