Imbauan 3B (beribadah, belajar, dan bekerja dari rumah) yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers di Istana Bogor pada Senin (15/03/2020) bukan hanya menggeser lokus kegiatan. Pada akhirnya, kebijakan itu mereposisi relasi laki-laki dan perempuan di dalam rumah. Hal ini terutama menyangkut wanita karir yang selama ini melakukan pekerjaan profesional di ruang publik.
Tulisan ini adalah refleksi subjektif saya sebagai seorang wanita karir dalam situasi pandemi Covid-19, di mana semua aktivitas harus dijalankan di dalam rumah. Jika selama ini ada pembedaan yang tegas mana kerja publik dan mana kerja domestik, kebijakan Work from Home (WFH) membuat pembedaan itu nyaris tak bersekat.
Saat ini, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagaimana laki-laki untuk berkontribusi dalam segala bidang. Pembagian konvensional laki-laki di ruang publik dan perempuan hanya berada di ruang domestik untuk sekedar “melayani” dan membersamai suami dan anak terasa semakin tidak relevan.
Pandemi Covid-19 tentu saja adalah musibah kemanusiaan. Namun, tidak ada musibah yang tak terselip hikmah di baliknya. Banyak hal yang bisa disyukuri dari keadaan saat ini. Mungkin Tuhan sedang memberi waktu kita untuk rehat sejenak, merenung, memperbaiki diri, menikmati momen yang selama ini terlewatkan. Tuhan mungkin sedang mengajarkan kita berpuasa yang sesungguhnya: menahan nafsu untuk jalan-jalan, berbelanja, banyak bercakap, melihat hal-hal yang mungkin kurang bermanfaat, serta berbagai hal yang kurang berkenan.
Tuhan sedang memberi kita sesi berdialog secara intim. Kita dan Tuhan, tidak bersama orang lain, tidak di tempat lain, namun di rumah saja. Sebuah dialog yang sepenuhnya dengan hati. Tuhan sedang menjawab doa-doa yang sering dikeluhkan betapa macetnya jalanan dan lelahnya bekerja yang tidak jarang datang bertubi-tubi di waktu bersamaan hingga pulang tidak tepat waktu. Saat ini, keluhan dan doa itu dijawab serentak, termasuk doa dari hati seorang wanita karir seperti saya agar punya cukup waktu untuk berada di rumah; memiliki kesempatan bersama keluarga; dan punya waktu istirahat yang memadai.
Haruskah kita mengeluh? Apapun yang terjadi selalu memiliki sisi baik dan buruk, ada gelap ada terang. Kita perlu menerima dan mensyukuri semua. Pandemi bagi wanita karir seperti saya adalah sebuah “sekolah” yang mendidik sekaligus tantangan yang harus dihadapi. Saya harus tetap profesional dalam membagi ritme pekerjaan sebagai dosen dengan tugas tambahan yang membawahi suatu unit kerja. Saya juga adalah seorang istri dan ibu dari dua anak gadis.
Bukan pekerjaan mudah membagi ritme semua pekerjaan ketika harus dilakukan secara online di rumah. Sebagai dosen, saya harus tetap mengajar mahasiswa, membaca tugas-tugas mereka dan memberi feedback lisan dan tulisan, mengevaluasi dan memberi penilaian. Saya juga harus menguji proposal maupun skripsi. Sebagai dosen dengan tugas tambahan, salah satu kewajiban saya adalah memberi arahan, memantau, mengevaluasi, melakukan supervisi dan menvalidisi hasil pekerjaan kolega sesuai prosedur yang ada. Semuanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tri Darma Perguruan Tinggi juga mengharuskan saya untuk tetap melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Pandemi ini benar-benar menjadi “Sekolah Covid” bagi saya. Saya dituntut untuk mengatur waktu dengan tepat. Saya belajar untuk menyeimbangkan semuanya, termasuk dalam hal ibadah, baik yang berkaitan dengan kepentingan duniawi maupun ukhrawi.
Mari kita lihat kebijakan WFH ini dari sudut pandang lain. Salah satu manfaat WFH mungkin bisa menjadi alternatif kerja bagi wanita karir untuk menjaga keharmonisan dengan keluarga, terutama dengan anak-anak. Melalui WFH, saya merasa waktu bersama keluarga benar-benar terjaga dengan baik. Kedua anak saya sekolah di kota yang berbeda sejak mereka menginjak SMP hingga kuliah. Pertemuan di antara kami selama ini selalu berlangsung secara singkat dan kurang intens. Dengan WFH, saya punya kesempatan untuk melihat perbedaan karakter dua anak gadis saya.
Banyak cerita yang mereka sampaikan, termasuk hal-hal remeh yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Mereka berkisah tentang perasaannya di waktu kecil, kisah-kisah yang terlewatkan oleh saya sebagai ibu karena sering bertugas ke luar kota atau ke luar negeri. Sekalipun terlambat, saya bersyukur pada akhirnya saya mengetahui perasaan-perasaan mereka. Sungguh ini merupakan pembelajaran yang luar biasa bagi saya.
Banyak ide kreatif yang mereka munculkan ketika WFH. Misalnya, melakukan bisnis home made dan menjajakannya secara online, exercise bersama untuk menjaga kesehatan, mencoba menu-menu kekinian sesuai selera mereka, menyelesaikan tugas mandirinya masing-masing, serta melanjutkan menulis untuk menyelesaikan skripsinya.
Betapa bahagia rasanya ketika saya merasa bahwa saya masih dibutuhkan oleh mereka untuk mendampinginya. Riak-riak kecil dalam keluarga yang terkurung sekian lama tentu saja ada. Namun semua terasa begitu menyenangkan. Semuanya patut saya syukuri terutama dalam upaya menjaga agar mood dan imun kita tetap bagus.
Pandemi ini pada akhirnya mengingatkan saya pada suatu hadis Nabi yang berbunyi:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْھِمَاكَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ الصَّحَّةُ وَالْفَرَاغُ٠ ﴿رواﻩ البخاري
Artinya: “Dua kenikmatan yang banyak manusia menjadi rugi (karena tidak diperhatikan), yaitu kesehatan dan waktu luang”. (HR. Al-Bukhari)
Betapa banyak tugas-tugas baik yang bisa dilakukan seorang wanita karir di dalam rumah. Jadikan WFH di musim pandemi ini sebagai ladang ibadah, bukan perasaan terkurung tanpa melakukan apa-apa. Melindungi keluarga sama halnya melindungi garda terdepan Indonesia agar siap menghadapi berbagai tantangan dan persaingan di masa depan.
Sumber: arrahim.id