Gus Dur, Sepak Bola, dan Seni Mempimpin Indonesia

Dari tujuh Presiden yang pernah dan masih memimpin Indonesia sampai saat ini, bisa dikatakan hanya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seoranglah Presiden yang dikenal menyukai sepakbola. Level kesukaannya bahkan sudah sampai pada taraf gila sepakbola.

Kegilaan Gus Dur dengan sepakbola terbentuk sejak ia masih belia. Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2011), saat kecil Gus Dur sudah gemar menonton sepakbola dan film. Ia biasa bermain sepakbola dengan teman sebayanya. Karena kegemarannya ini pulalah Gus Dur sempat tidak naik kelas.

Kebiasaan Gus Dur menonton sepakbola sejak kecil, terbawa hingga ia merantau ke Mesir. Ketika di Mesir, selain sibuk ke perpustakaan dan diskusi di warung kopi, Gus Dur juga sibuk mengikuti perkembangan sepakbola yang ada di Mesir maupun di Eropa. Ia mengikuti perkembangan sepakbola melalui koran dan radio. Tak heran jika pengetahuan Gus Dur mengenai sepakbola terhitung sangat luas saat itu. Wawasan sepakbola yang diperoleh ketika di Mesir inilah yang menjadi bekal utama Gus Dur menulis analisa sepakbola sekembalinya ke tanah air.

Jauh sebelum menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini, Gus Dur sudah dikenal sebagai kolumnis di berbagai media massa. Gus Dur menulis berbagai topik, dari agama, politik, budaya, sejarah, hingga sepakbola. Tulisan Gus Dur mengenai sepakbola ditulis dengan tajam, jenaka, blak-blakan, dan uniknya membawa sepakbola tidak hanya berurusan pada ranah statistik belaka—kesebelasan mana yang mencetak gol lebih banyak, siapa top skor, atau berapa jumlah poin di klasemen.

Gus Dur meletakan sepakbola sebagai bagian dari struktur masyarakat. Ia menulis sepakbola seringkali dengan menyelipkan isu politik, kebudayaan, atau ketimpangan sosial di dalam analisanya. Salah satu contohnya terlihat pada satu artikel yang dimuat di Tempo tanggal 17 Juli 1982 berjudul Piala Dunia ’82 dan Landreform.

Dalam tulisan ini, Gus Dur mengulas persamaan antara perebutan juara Piala Dunia tahun 1982 dengan landreform. Kata Gus Dur, di Piala Dunia 1982 yang dihelat di Spanyol itu, ada watak pertandingan yang oleh Gus Dur disebut “Mondial 1982”, yakni menangnya pola bermain negatif. Hal itu ditunjukan oleh Jerman Barat dan Italia. Jerman Barat menggunakan cara bermain negatif karena harus “main sabun” untuk bisa lolos ke putaran kedua, setelah kalah dari kesebelasan medioker macam Aljazair, dan hanya mampu sampai semifinal karena perbedaan selisih gol. Sedangkan Italia bermain negatif dengan mempraktikan cattenaccio. Bagi Gus Dur, siapapun juara Piala Dunia 1982 tidak akan mampu mengangkat keharuman sepakbola sebagai seni. Yang terjadi justru sikap negatif: menahan gedoran sambil mengintai kelemahan lawan.

Pola bermain negatif ini, memiliki kesamaan dengan landreform. Gus Dur mengatakan, pihak tuan tanah yang memiliki lahan pertanian luas (apakah itu perorangan, “keluarga besar”, maupun perusahaan besar multi-nasional), tidak pernah “menyerang” dengan positif, seperti mengajukan gagasan berharga untuk menjamin keadilan penguasaan tanah sebagai unit produksi. Yang diambil adalah sikap negatif: tunggu saja gedoran kekuatan politik yang menghendaki penataan kembali pola kepemilikan dan penguasaan. Nanti toh akan ada kelemahannya.

Apa yang ditulis Gus Dur di atas merupakan sebagian kecil contoh bagaimana Gus Dur mengaitkan sepakbola dengan berbagai struktur yang ada di masyarakat. Gus Dur tidak terjebak pada analisa data statistik dalam melihat sepakbola. Ia justru melampauinya dengan membawa sepakbola masuk pada ranah sosial kemasyarakatan. Hal ini adalah kemampuan yang jarang dimiliki oleh para analis bola pada umumnya.

Kegemaran Gus Dur terhadap sepakbola tidak hanya terwujud dalam bentuk tulisan, tapi juga tergambar dari peranan yang ia mainkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Emha Ainun Najib (Cak Nun) seperti termuat dalam buku Gus Dur dan Sepakbola (2014), pada suatu waktu Gus Dur dapat berposisi sebagai playmaker. Ia mendapuk diri di posisi sentral mengatur jalannya permainan. Tapi satu waktu, ia bisa tiba-tiba berpindah menjadi sosok penting di jantung pertahanan. Begitu bola berada di kakinya, semua menunggu dengan cemas, akankah ia memberikan assist, menggiring kesana kemari, atau malah mencetak gol. Kata Cak Nun begitulah Gus Dur. Sulit ditebak.

Sikap Gus Dur yang sulit ditebak ini pulalah mungkin yang membuat Sindhunata geregetan, hingga akhirnya menulis artikel di Kompas tanggal 16 Desember 2000, berjudul Catenaccio Politik Gus Dur. Dalam tulisan tersebut, Sindhunata mengulas bagaimana Gus Dur memakai cattenaccio sebagai strategi atau gaya bermain dalam pemerintahan.

Cattenaccio menurut Sindhunata ialah gaya sepakbola khas Italia. Ciri utamanya adalah bertahan dan menggerendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk lawan. Gus Dur bagi Sindhunata mempraktikan gaya sepakbola ini dalam pemerintahannya. Gus Dur bertahan dari gempuran musuh sambil menanti peluang serangan balik.

Gaya bertahan Gus Dur ini dikritik oleh Sindhunata, baginya pemerintah tidak boleh menunggu peluang, tetapi harus menciptakan peluang. Pemerintah seharusnya memakai gaya sepakbola menyerang, berisiko dengan segala kemungkinan, untuk mencari dan menemukan sebanyak-banyaknya peluang.

Kritik Sindhunata ini uniknya dibalas oleh Gus Dur dengan menulis artikel di Kompas tanggal 18 Desember 2000, berjudul Cattenaccio Hanyalah Alat Belaka. Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menjawab bahwa cattenaccio hanya dipakai sebagai alat khusus untuk menghadapi satu persoalan semata. Ia tidak dipakai untuk keseluruhan persoalan. Gus Dur menyebut, bahwa dalam satu waktu kadang strategi total football yang diterapkan. Di waktu yang lain menggunakan strategi cattenaccio atau hit and run.

Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, sepertinya baru Gus Dur sosok pemimpin yang memakai pengetahuan dalam sepakbola untuk menjalankan pemerintahan. Kalau bukan karena keluasan wawasan yang dimiliki, rasanya sulit memadukan pengetahuan mengenai sepakbola dalam pemerintahan. Tapi begitulah seni memimpin ala Gus Dur. Ia tidak kaku hanya dengan memakai satu pengetahuan umum mengenai pemerintahan semata. Ia juga memakai berbagai khazanah lain yang dirasa dapat membantunya menjalankan pemerintahan.

Kini Gus Dur telah pergi mendahului kita. Kalau saja masih ada dan sempat mengikuti persaingan ajaib antara Messi dan Ronaldo, atau melejitnya karir anak muda macam Mbappe, mungkin Gus Dur akan menganalisa hal itu dengan membawanya pada konteks kehidupan kebangsaan kita hari ini. Wallahua’lam.

Sumber: hidayatuna.com

Esais. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.