Situasi krisis karena Pandemi Covid-19 selama setengah tahun ini memunclkan berbagai bentuk kreativitas filantropi dari masyarakat luas, baik dalam bentuk barang kebutuhan harian, hingga barang kebutuhan siap saji. Aksi galang bantuan untuk masyarakat yang membutuhkan mendapat antusiasme dari banyak pihak, tujuan mereka satu membantu masyarakat yang sangat membutuhkan agar terpenuhi kebutuhan dasar mereka.
Hal ini menunjukan bahwa filantropi telah menjadi bagian kehidupan bermasyarakat yang tak terpisahkan di Indonesia. Pada dasarnya konsep filantropi sendiri berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas sosial antara orang kaya dan orang miskin, antara yang beruntung dan yang tidak beruntung, dan antara si kuat dan si lemah.
Kegiatan derma itu sendiri merupakan upaya bagaimana dapat meringankan beban kehidupan masyarakat terdampak Covid-19. Sebagian besar mereka ialah pekerja informal, tidak berpenghasilan tetap, dan ekonomi rentan. Mereka juga kelompok yang kehilangan pekerjaan atau PHK. Solidaritas sosial ini perlu dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari walau tanpa wabah.
Keterlibaran dan keikutsertaan masyarakat untuk bergotong-royong membantu rakyat yang terdampak Covid-19 merupakan kekuatan sebuah bangsa. Kegiatan tersebut sangat membantu ketika bantuan pemerintah turun dengan lambat padahal masyarakat sudah menanti. Gotong-royong dan kepedulian di tengah wabah ini seolah menghidupkan kembali identitas bangsa Indonesia dan memberikan penguatan kemanusiaan dan solidaritas.
Terkait kemanusiaan dan solidaritas, masyarakat bisa mengambil teladan dari Gus Dur. Kedekatan dan pembelaan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap setiap kalangan dan kelompok tertindas memberikan inspirasi penguatan kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sisi kemanusiaan ini justru harus menguatkan individu di tengah kehidupan kaum beragama yang cenderung intoleran. Karena sebagian masyarakat kerap melegitimasi tindakannya dengan dalil-dalil agama yang dipahami secara dangkal.
Dalam setiap pemikiran, gerak, dan langkah Gus Dur, sembilan nilai utama dari sosok guru bangsa itu terumuskan. Apa yang dikatakan Gus Dur tidak berbeda dengan apa yang diperbuatnya sehingga muncul idealisme dan akhlak yang kokoh. Sembilan nilai utama Gus Dur ialah: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.
Sembilan nilai utama itu menjadi pondasi dan gerak langkah para Gusdurian untuk merawat dan melestarikan perjuangan Gus Dur. Namun, agar terimplementasi dengan baik, Nur Khalik Ridwan memberikan syarah 9 nilai utama Gus Dur tersebut. Ia menulis buku Ajaran-Ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur.
Awalnya, 9 nilai utama yang dirumuskan itu dimaksudkan sebagai nilai poros. Nilai-nilai yang lain tentu ada dan banyak yang bisa dipelajari. Tetapi 9 nilai utama tersebut untuk memudahkan orang mempelajari, mengenal, dan mengembangkan cita-cita Gus Dur dan pemikirannya. Maka 9 nilai utama itu dipandang sangat penting sebagai dasar.
Ada ungkapan yang dijelaskan oleh Gus Dur bahwa, “guru spiritualitas saya ada realitas dan guru realitas saya adalah spiritualitas.” Ungkapan tersebut menggambarkan gerak langkah Gus Dur tidak lepas atau tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan sebagai simbol ketauhidan. Bahkan, Gus Dur merupakan sosok yang memperhatikan tanggung jawab kemanusiaan di akhirat.
Tidak mau tanggung jawabnya sebagai Presiden RI ditagih di akhirat, Gus Dur tidak mau meninggalkan istana negara tanpa seizin pejabat yang berwenang. Saat itu Gus Dur sedang menghadapi pelengseran dirinya sebagai presiden. Karena Gus Dur tidak pernah terbukti bersalah atas segala tuduhan yang menimpanya, ia tidak mau meninggalkan istana negara, rumahnya sebagai pemimpin.
Namun, Gus Dur juga tidak mau terjadi perang saudara karena para pendukungnya juga mengancam akan merangsek ke Jakarta dan membela mati-matian Gus Dur. Sebab itu, ia memilih meninggalkan istana negara. Karena hak meninggalkan rumah tidak boleh kecuali seizin pejabat yang berwenang, Gus Dur meminta surat kepada Lurah Gambir saat itu. Sebab istana negara berada di wilayah Kelurahan Gambir.
“Jika nanti di akhirat saya ditanya kenapa meninggalkan istana, tanya saja kepada Lurah Gambir,” kata Gus Dur.
Sisi kemanusiaan sangat ditekankan juga oleh Gus Dur. Karena muara ajaran agama ialah diimplementasikan kepada seluruh umat manusia. Basis kemanusiaan (humanisme) ini yang menjadi pondasi perjuangan Gus Dur melalui prinsip dan ajaran agama, demokrasi, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Sehingga di batu nisannya tertulis “Here Rests a Humanist (di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan)” yang ditulis dalam empat bahasa, Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin yang terbuat dari batu giok kualitas tinggi dari negeri Tiongkok. Muara dari perjuangan Gus Dur ialah terciptanya masyarakat berkeadilan, damai, dan bersatu di tengah kemajemukan.
Nur Khalik Ridwan memberikan syarah kalimat demi kalimat yang terumus dari 9 nilai utama Gus Dur. Nilai-nilai utama itu diterjemahkan melalui satu paragraf yang ringkas, padat, substantif, dan komprehensif.
Pertama, ketauhidan. Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-satunya Dzat hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang disebut dengan berbagai nama. Ketauhidan didapatkan lebih dari sekadar diucapkan dan dihafalkan, tetapi juga disaksikan dan disingkapkan. Ketauhidan menghujamkan kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya.
Pandangan ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama. Ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, kemanusiaan. Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati.
Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.
Ketiga, keadilan. Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan.
Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil, merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggungjawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, kesetaraan. Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat.
Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk di dalamnya adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.
Kelima, pembebasan. Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.
Keenam, kesederhanaan. Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.
Ketujuh, persaudaraan. Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.
Kedelapan, keksatriaan. Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi: penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.
Kesembilan, kearifan tradisi. Kearifan Tradisi bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan tradisi Indonesia di antaranya berwujud pada dasar negara Pancasila, Konstitusi UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika, serta seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab.
Gus Dur menggerakkan kearifan tradisi dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban.
Sumber: nu.or.id