Menerka Skenario Penunjukan dr. Reisa sebagai Jubir Covid-19

dr. Reisa Broto Asmoro pertama kali tampil di muka publik pada tanggal 8 Juni 2020 mendampingi Achmad Yurianto menyampaikan perkembangan Covid-19 di Indonesia. Penunjukan dr. Reisa tentu menjadi angin segar karena turut melibatkan perempuan dalam penanganan Covid-19 yang selama ini dianggap terlalu maskulin.

Anggota Gugus Tugas yang jumlah perempuannya jauh lebih sedikit dibanding laki-laki, penggunaan diksi layaknya kondisi perang dalam penanganan Covid-19 (menempatkan petugas medis sebagai garda terdepan perlawanan,  menempatkan masker dan APD sebagai senjata pelindung diri), serta minimnya  kebijakan responsif menjawab kerentanan perempuan selama Covid-19 memperkuat kesan maskulinitas dalam penanganan pandemi.

Tampilan perdana dr. Reisa memicu gejolak media sosial hingga menjadi trending topic teratas dalam lini twitter. Artikel yang memuat tentang gagal fokusnya publik merespon dr. Reisa hanya pada kecantikannya bukan pada isi pesan yang disampaikan sudah banyak dibahas artikel lainnya. Dalam artikel ini yang ingin penulis bahas adalah menerka skenario apa yang dirangkai dalam penunjukan dr. Reisa sebagai juru bicara Covid-19?

Kapabilitas Perempuan dalam Komunikasi Publik

Komunikasi publik yang dilakukan perempuan dalam public relation memiliki kelebihan daripada laki-laki. Terlebih apabila public relation yang dilakukan erat kaitannya dengan komunikasi yang emosional. Reputasi perempuan dalam public relation dianggap sukses karena mereka bekerja dengan intuisi emosional dan selalu berlaku baik kepada semua orang.[1]

Sejauh pekerjaan public relation semakin melibatkan kerja emosional, maka pilihan lebih tertuju pada perempuan daripada laki-laki.[2] Dalam penelitian lain pun, perempuan mendapat respon lebih baik daripada laki-laki karena dianggap lebih ramah dalam berbicara, lebih sering tersenyum, melakukan eye contact, dan menggunakan nada yang tinggi atau tidak datar[3] sehingga lebih mendapat respon positif dan simpati publik.

Dalam kasus Covid-19 ini, perkembangan jumlah orang yang positif, meninggal, sembuh, maupun panduan hidup sehat masyarakat dianggap sebagai informasi yang menggugah emosional. Oleh karena itu, pemilihan perempuan sebagai juru bicara dengan landasan hasil penelitian tadi menurut penulis tidak salah apabila bertujuan menarik simpati dan kesadaran masyarakat untuk lebih menjaga diri.

Terlebih, pemilihan dr. Reisa dirasa tepat karena memang memiliki kapasitas kedokteran dan basic profesi dokter. Hal itu membuat penempatannya secara kualitas sebagai juru bicara tidak diragukan. Jadi dalam kasus ini, penulis tidak meragukan kapasitas dr.Reisa sebagai juru bicara dan justru menyambut baik karena sebagai upaya pelibatan perempuan dalam penanganan Covid-19.

Trending Topic Twitter #ReisaBrotoAsmoro dan #Tembus1000

Sehari setelah dr. Reisa diangkat menjadi jubir, di tanggal 9 Juni 2020 diumumkan peningkatan positif Covid-19 tertinggi di Indonesia tembus 1000 kasus baru. Di tanggal 9 dan 10 Juni 2020 kenaikan berturut-turut sebanyak 1.043 dan 1.241.[4] Tingginya penambahan angka Covid19 di 2 minggu pasca lebaran sudah diprediksi jauh hari.

Hal itu karena mobilitas pulang ke kampung halaman dan intensitas kontak fisik semasa lebaran membuat riskan penyebaran virus merajalela. Mengingat masa inkubasi virus kurang lebih 2 minggu, maka para pengamat memprediksi dan bersiap jebolnya angka positif dalam kurun waktu 2 minggu setelah lebaran[5] yang rupanya benar terjadi.

Tingginya angka paparan di tanggal 9 Juni 2020 memicu gejolak netizen di twitter dengan hastag #tembus1000 dan menjadi trending topic. Dalam satu hari itu, kejar-kejaran hastag antara pengangkatan dr. Reisa sebagai jubir dengan hastag #reisabrotoasmoro dan tembusnya angka 1000 kasus Covid dengan hastag #tembus1000menjadi saling berlomba di jajaran trending topic twitter teratas Indonesia.

Melihat dua kejadian yang berturut-turut: penambahan dr. Reisa sebagai jubir dan meningkatnya angka kasus Covid, membuat penulis bertanya apakah ini “serba kebetulan”? Semoga penunjukan dr. Reisa yang bertepatan dengan 2 minggu pasca lebaran bukan sebagai strategi pemerintah agar masyarakat Indonesia terpecah fokusnya sehingga menurunkan tensi kritik naiknya angka Covid-19. Akan disayangkan apabila pelibatan perempuan yang memang berkapasitas hanya dijadikan tameng penyelamatan citra buruk pemerintah menangani penyebaran virus saat lebaran lalu. [mfr]

Ashilly Achidsti, Penulis adalah volunteer di Pusat Studi Gender UNU Yogyakarta sekaligus pengamat isu gender dan kebijakan


[1]Carla Fernanda Lozano, 2015, The Predominance Of Women In Public Relations: Realizing Feminist Values, Societal Influences, And Media Portrayal, Tesis Texas State University

[2]Barbara F. Reskin dan Patricia A. Roos. 1990, Job Queues, Gender Queues: Explaining Women’s Inroads into Male Occupations. Philadelphia: Temple UP.

[3] Astha Singhal, dkk, 2018, Analyzing the Impact of Gender on the Automation of Feedback for Public Speaking, 13th IEEE International Conference on Automatic Face & Gesture Recognition

[4]Kompas.com, 10 Juni 2020,  “Dua Hari Berturut-turut, Penambahan Kasus Harian Covid-19 Tembus 1.000”, diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2020/06/11/07451621/dua-hari-berturut-turut-penambahan-kasus-harian-covid-19-tembus-1000?page=all.

[5] Liputan6.com, 25 Mei 220, Pakar Memprediksi Kasus COVID-19 Meningkat Usai Lebaran, diakses melalui https://www.liputan6.com/health/read/4262731/pakar-memprediksi-kasus-covid-19-meningkat-usai-lebaran

Volunteer di Pusat Studi Gender UNU Yogyakarta sekaligus pengamat isu gender dan kebijakan.