Social Media

Patuh

Di tengah proses pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB tanggap pandemi Covid-19, viral beredar video penolakan pedagang Pasar Cileungsi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bahkan pengusiran terhadap petugas kesehatan yang datang untuk melakukan rapid test pada awal Juni 2020 ini. Baru setelah proses konsolidasi yang sangat intensif, petugas kesehatan dapat kembali seminggu kemudian untuk menjalankan rapid test di pasar yang menjadi salah satu kluster penularan di Kabupaten Bogor.

Penolakan pedagang Pasar Cileungsi ini bukan yang pertama dan terakhir. Penolakan rapid test oleh masyarakat terjadi di sejumlah tempat di kota Makassar (Sulawesi Selatan) dengan spanduk-spanduk. Penolakan juga terjadi di Manado (Sulawesi Utara) dan Kediri (Jawa Timur). Bahkan, di Serang (Banten), beberapa pondok pesantren menolak rapid test oleh Pemerintah Serang. Bupati Singkawang di Kalimantan Barat, dalam sebuah webinar, menyampaikan salah satu tantangan pemerintah adalah ketidakpatuhan warga.

Di sejumlah tempat di negeri ini, kita juga menyimak pengabaian masyarakat terhadap protokol kesehatan untuk memutus rantai penularan virus korona baru. Berbagai alasan jadi justifikasi, mulai dari tak punya masker sampai keyakinan bernada jabbariyah bahwa infeksi virus korona baru adalah kehendak Tuhan.

Secara umum terdapat beberapa realitas dan persepsi yang memengaruhi munculnya pengabaian dan penolakan masyarakat terhadap protokol pencegahan pandemi ini. Yang utama adalah pemahaman masyarakat yang kurang dan ”miring” terkait pandemi Covid-19, diikuti dengan keengganan patuh kepada pihak otoritas.

Tsunami informasi membuat masyarakat awam bingung memilih informasi yang bisa dipercaya. Kabar menjadi kabur, tentang apa yang boleh dan tidak boleh atau apa yang efektif dan tidak efektif dalam melindungi diri dari Covid-19. Narasi-narasi konspirasi juga beredar luas, berselancar di atas narasi yang telah lebih dulu ada tentang dominasi dan kepentingan asing dunia. Pandemi informasi yang tidak memberdayakan ini menenggelamkan informasi yang tepat dan diperlukan.

Bila kita menggali lebih dalam, kepatuhan (lebih tepatnya ketidakpatuhan) masyarakat Indonesia terhadap protokol pandemi ini bukanlah hal yang baru atau hal yang khas pandemi ini saja. Faktanya, tingkat kepatuhan masyarakat kita terhadap segala peraturan secara umum masih cukup rendah. Beberapa peraturan atau kebiasaan sosial berhasil ditanamkan, hanya melalui strategi perubahan perilaku yang komprehensif dan masif. Contohnya perilaku berlalu lintas yang diperkuat melalui mekanisme hukuman cukup berat atas pelanggaran.

Tanpa strategi masif tersebut, perubahan perilaku masyarakat tidak akan terjadi. Ini karena agaknya tingkat kesadaran masyarakat kita masih berada pada Tingkat Prakonvensional (Hukuman dan Konsekuensi) dalam teori klasik Perkembangan Moralitas (Kohlberg, 1958). Pertimbangan mengikuti atau tidak mengikuti aturan sosial tertentu ditentukan oleh pihak otoritas secara penuh, tanpa agensi dari warga itu sendiri. Masyarakat tunduk pada aturan karena ia takut mendapat hukuman atau konsekuensi apabila tidak melakukannya.

Jangankan berharap masyarakat akan sampai di tingkat perkembangan moralitas tertinggi, yaitu pertimbangan nilai dan prinsip etis moral yang menjadi bahan atau modal kontrak sosial untuk mencapai kemaslahatan bersama sehingga setiap warga dapat secara mandiri membangun moralitas pribadi yang memberdayakan. Sebagian besar masyarakat awam belum memiliki kesadaran bahwa aturan sosial diperlukan untuk menjaga ketertiban dan tatanan hidup bersama, yang dalam teori Kohlberg ada pada level madya, yaitu Tingkat Konvensional (Orientasi Sosial).

Coba bandingkan situasi polisi menegur pengendara yang tidak menggunakan sabuk keselamatan dengan beberapa video viral polisi saat menegur pengendara yang melanggar protokol berkendara di masa PSBB. Dalam kasus pertama, polisi dapat sangat tegas dan pengendara tunduk penuh karena takut mendapatkan hukuman. Dalam kasus kedua, kedua belah pihak sama tahu bahwa tidak ada sanksi hukuman. Alhasil, para pengendara tersebut bersikap frontal dan menantang petugas, sementara petugas pun tidak melakukan penindakan yang jelas.

Ketidaktegasan ini dimulai dari manajemen krisis yang kurang solid sejak awal, saat para pemangku kepentingan gamang dan lebih bersikap reaktif. Masyarakat menyerap kegamangan ini, menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi menurun, sebagaimana dilansir beberapa hasil survei. Ini memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap protokol kesehatan dan sosial yang diintroduksi pemerintah.

Harga sebuah kepercayaan publik memang besar, menurut Stephen MR Covey (2006). Dalam konsepnya ”the economy of trust”, Covey menyebutkan bahwa saat trust menurun, maka speed akan menurun dan cost akan meningkat. Sebaliknya, trust yang meningkat membuat speed meningkat dan cost menurun. Tingkat kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah akan membuat kecepatan (efektivitas perubahan) juga terakselerasi dengan biaya yang lebih rendah.

Sayangnya, pemahaman yang komprehensif atas perubahan sosial tampaknya luput dari desain strategi penanganan pandemi Covid-19. Padahal, paradigma baru pemerintah adalah berdamai dengan Covid-19 dan ini menuntut adaptasi kebiasaan baru dalam keseharian.

Sepanjang adaptasi kebiasaan baru tidak dilengkapi dengan strategi perubahan perilaku masyarakat yang tepat, rasanya kita harus bersiap hidup tidak damai karena pandemi Covid-19.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 21 Juni 2020)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.