Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam dasar negara Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi, dan budaya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar-agama seringkali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar-kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Peran Kaum Pendatang
Sejarah mencatat, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugis, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia. Di sini terlihat bahwa keberagaman mendasari praktik keberagamaan di Indonesia sehingga tidak ada alasan bagi setiap warga negara bersikap intoleran terhadap perbedaan.
Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa, dan Sulawesi, membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad ke-5 Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Dewa Siva.
Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah mempengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Syailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah telah dibangun oleh Kerajaan Syailendra. Pada waktu yang bersamaan dibangun pula candi Hindu, Prambanan di Yogyakarta. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 M. Berasal dari Gujarat, India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram, dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, sebanyak 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor, Nusa Tenggara Timur.
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, di mana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia pimpinan Soekarno, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.
Sebagai hasilnya, tiap-tiap warga negara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.
Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa.
Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
Penyebaran Agama Islam
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak Indonesia-Hindu. Di Sumatera terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang datang ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat.
Daya penarik Islam bagi pedagang-pedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat Muslim. Sedangkan menurut alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan lebih tinggi daripada orang-orang yang bukan Muslim, meskipun dalam struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses Islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik, ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat memasuki dan mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara yang ditempuh oleh orang-orang Muslim dalam menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada.
Dengan demikian, pada tahap permulaan Islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia.
Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan pedagang-pedagang Muslim seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak zaman Samudera Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Tata cara islamisasi melalui media perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan jalan mengadakan kontak secara langsung dengan penerima, serta dapat pula terjadi dengan lambat melalui terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat Muslim terlebih dahulu. Para pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri, berkumpul dan menetap, baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya, di suatu daerah, sehingga terbentuklah suatu perkampungan pedagang Muslim.
Dalam hal ini orang yang bermaksud hendak belajar agama Islam dapat datang atau memanggil mereka untuk mengajari penduduk pribumi. Selain itu, penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara perkawinan antara pedagang Muslim dengan anak-anak dari orang-orang pribumi, terutama keturunan bangsawannya. Dengan perkawinan itu, terbentuklah ikatan kekerabatan dengan keluarga Muslim.
Media Seni
Media seni, baik seni bangunan, pahat, ukir, tari, sastra, maupun musik, serta media lainnya, dijadikan pula sebagai media atau sarana dalam proses islamisasi. Berdasarkan berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir pada masa-masa penyebaran agama Islam, terbukti bahwa proses islamisasi dilakukan dengan cara damai.
Kecuali itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat islamisasi yang sangat bijaksana dan dengan mudah menarik orang-orang non-Muslim untuk dengan lambat-laun memeluk Islam sebagai pedoman hidupnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, golongan penerima dapat menjadi pembawa atau penyebar Islam untuk orang lain di luar golongan atau daerahnya. Dalam hal ini, kontinuitas antara penerima dan penyebar terus terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem pembinaan calon-calon pemberi ajaran tersebut.
Biasanya santri-santri pandai, yang telah lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu tempat bernama pondok pesantren dan kemudian kembali ke daerahnya, akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang telah diperolehnya. Mereka kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam.
Agama Islam juga membawa perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariat di berbagai daerah di Indonesia selalu terjadi. Meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses pertentangan dalam masyarakat.
Meski demikian, proses islamisasi di berbagai tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat setempat. Sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Inilah akulturasi. Hal tersebut dilakukan oleh penyebar Islam, yaitu Wali Songo karena di Indonesia telah sejak lama terdapat agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
Sumber: nu.or.id