Setelah terjadi dialog panjang pemikiran Agama dan Sains yang di awali oleh Goenawan Mohamad yang berada di pihak agama, kemudian direspons AS Laksana (Sulak) yang berada di pihak sains, akhirnya Goenawan Mohamad memberikan feedback dan beberapa bantahannya atas argumentasi yang Sulak lancarkan.
Goenawan dalam menulis bantahannya atas tuduhan sastarawan Sulak memberikan catatan atas pendapat Sulak yang dianggapnya telah salah memahami apa yang telah disampaikan oleh dirinya.
Beberapa catatan di antaranya yaitu dalam memahami Goenawan Mohamad, Sulak salah dalam menafsirkan atas diksi yang dipilih oleh Goenawan Mohamad, seperti kutipan Goenawan Mohamad atas pendapat Whitehead dan beberapa tokoh yang lainnya, yang menjadi dalil Goenawan Mohamad dalam mengebiri peran sains di masa yang akan mendatang.
Namun ada catatan menarik bagi saya bahwa Goenawan Mohamad, dengan ragu-ragu bahwa “ada entitas yang hilang” dari perdebatan antara agama dan sains sebagai satu-satunya “cara pandang” manusia di masa yang akan datang, yaitu “seni”. Goenawan Mohamad bukan bermaksud mengecilkan peran sains di masa yang akan datang, dan mengunggulkan agama, tetapi kontribusi keduanya akan terasa hambar sebagai “cara pandang” manusia di masa mendatang apabila menganggap agama akan tergusur oleh sains sebagai “cara pandang” manusia dalam melihat persoalan kehidupan ini.
Selain itu –dengan ragu- Goenawan Mohamad menyebutkan tanpa unsur “seni” sebagai pendukungnya agama dan sains akan terasa ada “lubang” yang memisahkan keduanya di masa yang akan datang –jika boleh menambahkan unsur spiritualitas pun menjadi unsur integrasi yang tidak boleh diabaikan-.
Dari tulisan Goenawan Mohamad tersebut saya teringat penelitian yang saya lakukan pada tahun 2012 hingga 2013 yang lalu –skripsi di STAIN (sekarang IAIN) Kediri yang menggunakan pendekatan “fenomenologi Edmund Husserl” – berjudul Integrasi antara Agama, Filsafat dan Seni Dalam Ajaran Tari Tradisional di Lembaga Seni dan Budaya Lung Ayu Kabupaten Jombang.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa sinergi agama, seni, dan filsafat (Jawa), bukan hanya menghasilkan sebuah pembelajaran seni semata, tetapi juga memperkaya “cara pandang” seseorang dalam menghadapi pluralitas unsur pembentuk kehidupan modern –ajaran agama, cara merasakan “rasa” ala seni dan corak berpikir filsafat Jawa- yang terhegemoni oleh grand narrative, formalisme ajaran agama (Islam) –yang cenderung meng-haram-kan seni terutama seni Jawa yang dianggap penuh dengan unsur kesyirikan- dan filsafat Barat yang melahirkan sains dan teknologi modern.
Dalam penelitian tersebut, saya menggunakan paradigma “idealitas Muslim modern” yang digagas oleh Armahedi Mazhar dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Revolusi Integralisme Islam. Secara sederhana, “Integralisme Islam” adalah sebuah pendekatan yang mengikutsertakan semua kebenaran yang penting dari beragam disiplin keilmuan.
Dalam paradigma integralisme memegang teguh prinsip menghormati dan kerja-sama ilmu pengetahuan beragam menjadi wawasan kemenyeluruhan dalam memandang sesuatu: baik sains, teknologi, seni, budaya, maupun persoalan agama. Integralisme melihat semua sesuatu sebagai keterpaduan yang tidak bisa dipecah atau dipisahkan dari realitas kehidupan manusia modern. Ilmu pengetahuan/sains dalam pengertian modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani.
Namun filsafat Yunani terlalu deduktif, yang berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang telah diperintahkan dalam Al-Qur’an. Karena itu menurut Mahzar sains dan agama tidak bertentangan. Hal ini bisa ditinjau dari catatan sejarah peradaban umat Islam di mana banyak ilmuan-ilmuan Muslim yang mampu mengembangkan sains dengan sangat pesat.
Di tangan para ilmuan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional dan obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Akan tetapi rasional sains tidak dapat terlepas dari rasional religius. Teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan yang integral, kata Armahedi Mahzar.
Sains yang melandaskan paradigmanya kepada hal-hal yang bersifat eksperimental memperkaya metodologi dalam mengkaji agama Islam. Dengan demikian, di tangan ilmuan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun perlu dicatat bahwa rasionalitas sains tak bisa dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral.
Dalam membicarakan integralisme Islam, setidaknya ada tiga prinsip mendasar yang menjadi obat bagi patologi sains-sains khas postmodernisme. Tiga prinsip tersebut antara lain: “kesatupaduan realitas, hirarki realitas, dan Tuhan sebagai sumber kebenaran”. Ketiga prinsip ini menurut Mahzar menjadi solusi bagi kerancuan corak berpikir postmodernisme yang memiliki kecenderungan dekonstruktif dan relativis-radikal.
Pandangan Mahzar tentang agama dan sains dilihat dari perspektif Al-Qur’an dan Hadis yang memiliki sumber spiritualitas Muslim sebagai sumber ilmu pengetahuan yang utama bagi umat Islam menyeimbangkan antara agama, sains, dan spiritualitas masyarakat Muslim modern.
Dari paparan di atas ketika menengok kepada realitas pendidikan PTKI hari ini, adalah suatu “ironi” yang dirasakan oleh masyarakat Muslim pada umumnya dalam mengimplementasikan integralisme Islam dan sains. Yaitu tidak adanya jurusan yang khusus mengkaji “seni”, meskipun di PTKI sudah banyak yang mendirikan fakultas Adab, Dakwah, Syariah, Ushuludin, bahkan Sains dan Teknologi dalam upayanya memujudkan integralisme Islam dan sains.
Unsur seni bagi Mazhar adalah sesuatu yang penting dalam menjembatani keduanya –bahkan di universitas-universitas umum jurusan seni diintegrasikan dalam satu rumpun sains, contohnya Institut Teknologi Bandung yang memiliki fakultas seni rupa dan desain-. Bisakah kita bayangkan bahwa para sarjana Muslim yang ahli agama dan teknologi tetapi miskin “kreativitas”, “ekstetika”, dan “imajinasi” dalam setiap karyanya.
Padahal pada zaman dahulu banyak sekali cendikiawan-cendikiawan Muslim selain pandai dalam ilmu agama dan sains di zamannya tetapi juga menguasai seni di zamannya. Semisal Abu Bakar Ar-Razi –terlepas dari pendapatnya tentang kenabian yang kontroversial- selain menguasai ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu ushul, ia juga mengajarkan kepada muridnya seni musik, sebagai salah satu terapi kesehatan mental. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, kapan PTKI akan menyadari kehilangan ini.
Sumber: arrahim.id