Indonesia sering digambarkan sebagai negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi dan berperilaku berdasarkan etika ketimuran yang mana keduanya mengedepankan nilai-nilai luhur. Tidak tanggung-tanggung, temuan Pew Research Center menunjukkan bahwa 96% orang Indonesia mengaku rutin berdoa dan beribadah setiap hari.
Survei lainnya dari CEOWORLD dan Global Business Policy Institute bahkan mencatat skor 98,7 untuk nilai religiusitas kita. Hasil jajak pendapat lain oleh Statista Global Consumer Survey pun mirip-mirip dengan tingkat religiusitas 80-99 persen.
Namun survei di atas tak ubahnya kosmetik apabila melihat kondisi negara kita yang penuh gonjang-ganjing. Beberapa waktu lalu, seorang guru ngaji di Tebet, Jakarta Selatan mencabuli sepuluh anak muridnya dengan rentang usia 9 hingga 12 tahun.
Dalam waktu yang berdekatan, terjadi pula perusakan rumah dan pembubaran retret saat toleransi diuji lagi di Sukabumi, Jawa Barat. Belum lagi kalau bicara korupsi, seakan semua orang sampai “lumrah” atas buruknya tingkat korupsi di Indonesia.
Ironisnya, otoritas keagamaan sebagai aktor religius saat ini gencar dipertanyakan legitimasi moralnya pasca-sibuk cawe-cawe konsesi tambang dan tidak segan mendiskreditkan usaha para aktivis lingkungan.
Kita paham betul bahwa sejatinya agama adalah sebuah kompas, penuntun hidup. Sehingga dengan berpegangan padanya kita bisa menjadi sosok yang baik. Namun, dengan rentetan fakta di atas dapatkah kita berkesimpulan, bahwa tingginya tingkat religiusitas tidak berbanding lurus dengan beradabnya etika publik kita? Mungkin saja orang mengatakan hak super ekstrem dan ternyata aslinya tidak peduli secuil pun.
Religius atau Ritualis?
Sepertinya negara kita lebih layak disebut sebagai negara ritualis ketimbang negara religius. Lihat saja, betapa banyak simbol-simbol keagamaan di ruang publik, aparatur pemerintahan yang rutin mengadakan pengajian, bahkan kita juga tidak pernah lupa untuk menyelipkan agenda berdoa dalam susunan acara-acara kita.
Tetapi sepertinya, hal-hal tersebut tidak diiringi dengan keinsafan untuk menguatkan nilai etika dalam kehidupan bersama. Agama yang mestinya menjadi landasan moralitas sosial saat ini telah tereduksi menjadi penampilan simbolik semata—religiusitas kosmetik.
Alhasil, perilaku intoleran tidak berhasil disembuhkan, kekerasan seksual semakin sering menghantui, korupsi kian merajalela, dan ketimpangan makin curam. Elite agama, masih sibuk mencari pembenaran dalam industri tambang.
Religiusitas kosmetik tentu saja menghilangkan daya transformatif religiusitas substansial dengan tidak hanya berhasil membentuk manusia amoral, tetapi juga menambah napas panjang krisis etika publik secara sistemik. Hal ini membuat agama tidak lebih dari sekadar ritus kosong.
Di saat masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat semakin kompleks, spiritualitas kosmetik saja tidak akan sanggup melahirkan manusia saleh yang memiliki kompetensi profesional dan berintegritas sehingga mampu memberikan kemanfaatan yang luas di muka bumi.
Pemberhalaan Agama
Sikap beragama yang ritualistis, membuat pemberhalaan terhadap agama, menjadikan agama sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk menuju Tuhan. Kita sudah cukup puas dan merasa selesai dengan melaksanakan ritual agama tanpa perlu menghayati apa tujuan sebenarnya dalam beragama.
Kita menjadikan agama bukan sebagai petunjuk, tetapi sebagai kartu identitas diri sehingga harus dibela dan dipertahankan mati-matian. Agama-agama lain akan dianggap sebagai ancaman dan tidak boleh dibiarkan sebab membahayakan eksistensi agamanya.
Seketika agama yang harusnya menjadi sumber kedamaian, kasih sayang, dan keadilan, menjelma menjadi sumber konflik dan perpecahan. Apa sebenarnya yang kita pahami, amalkan, dan hayati dalam keberagamaan kita? Bukankah pada puncaknya semua ritus adalah jalan menuju pengembangan akhlak mulia, dan menjadikan ritus akan hampa jika tak berdampak pada perilaku?
Untuk itu, religiusitas yang bersifat kosmetik tidak akan berhasil membangun etika yang luhur apa lagi solidaritas sosial dan tanggung jawab bersama serta struktur sosial yang adil. Pemberhalaan agama justru menciptakan semakin banyak orang dengan standar ganda; yang penting tampil agamis, urusan etika bisa dinegosiasikan.
Seperti namanya, religiusitas kosmetik adalah wajah palsu dari keberagamaan. Menjadikan agama sebatas kedok moral tanpa kedalaman nurani. Di balik rapalan doa dan simbol suci yang dipertontonkan, tersembunyi kebungkaman atas ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur agama itu sendiri.
Saat kita lebih mengapresiasi penampilan keimanan ketimbang memperjuangkan kejujuran, empati, dan keberpihakan pada yang tertindas, agama kehilangan ruhnya, dan masyarakat kehilangan arah. Inilah kegagalan kolektif kita.