Bayangkan, di pagi hari yang cerah di tengah hiruk-pikuk perkotaan, Anda sedang jogging menikmati udara segar, lalu tiba-tiba saja buyar karena bau yang menyengat. Yah, itulah sampah yang terbuang dari aktivitas manusia sebab dianggap tak berguna lalu berserakan di pinggir jalan, di bantaran sungai, dan beberapa titik yang tak seharusnya menjadi TPA ataupun bank sampah.
Mendengar kata sampah, yang terbesit di pikiran kita adalah benda yang busuk, berbau, tak berguna, dan merusak lingkungan. Namun, sadarkah kita bahwa kerusakan ekologi akibat konsumsi manusia yang berlebihan menjadi sebab sampah itu hadir, bahkan mengganggu aktivitas kita? Sampah dalam kehidupan manusia hanya berkutat pada tempat sampah, bank sampah, dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) siklus yang tak pernah berubah.
Ketika musim hujan tiba dan banjir melanda, rumah kita pun tak luput dari banjir. Kita lalu mengeluh pada pemerintah, menyalahkan drainase dan sungai yang tersumbat sampah serta makin dangkal. Semua itu dianggap sebagai bukti ketidakbecusan pihak terkait. Akhirnya, para pemangku kebijakan pun jadi sasaran kemarahan, karena dinilai tak mampu mengurus persoalan banjir dan sampah yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Berdasarkan data dari DLH, Konsumsi sampah rumah tangga khususnya di Kabupaten Bone yang dikumpulkan dalam satu TPA volumenya mencapai 200 ton per hari (rri.co.id, 2025). Angka ini tentu sangat besar dan pastinya akan terus meningkat tiap tahunnya. Salah satu solusi yang dihadirkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bone yakni mendorong penciptaan RDF (Refuse Derived Fuel) yang mendorong pengelolaan sampah khusus untuk didaur ulang dengan anggapan mengurangi emisi karbon dan kebijakan Pemda Kabupaten Bone ini untuk mencontoh Kabupaten Banyumas yang dianggap berhasil dalam pengelolaan sampah, namun benarkah demikian?
Catatan dari tim Aliansi Zero Waste menerangkan bahwa dalam sistem RDF ternyata masih menyisakan banyak masalah. Kenapa demikian? Ternyata prasyarat terkait pengelolaan berbasis RDF-nya belum memenuhi tiga aspek tata kelola yakni regulasi yang jelas, kelembagaan yang kuat serta berkelanjutan, pendanaan yang memadai, dan terakhir partisipasi public dan struktur (aliansizerowaste.id, 2024).
Di lapangan ternyata menyisakan penumpukan sampah sekitar 5.000 ton di berbagai fasilitas pengelolaan sampah RDF di Banyumas dan hal ini terjadi sebab kendala teknis serta teknologi yang belum affordable. Penulis ingin menyampaikan jangan sampai kebijakan pengelolaan sampah justru melahirkan public policy yang latah hanya sekedar mengikuti bahkan terkesan template untuk menjawab benang kusut sampah ini.
Untuk mencapai tujuan zero waste, tentu kita tidak harus mengandalkan teknologi semata tetapi mencoba menelaah benang merahnya, yakni dengan mendorong pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, pemilahan yang efektif, dan pengelolaan yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Konsep ini bisa tercapai jika pelibatan publik dan pemerintah lebih tertata baik secara regulasi dan transparansi kebijakan. Langkah awal yang paling sederhana dan bisa memberi edukasi yang efektif yakni mendorong kesadaran eko-teologi melalui mimbar agama agar masyarakat sadar akan kedudukannya sebagai ubudiyah dan khalifah khususnya pada isu sampah.
Mendorong pengelolaan sampah berkelanjutan dapat dilakukan di tingkatan akar rumput untuk bisa mengelola sampah rumah tangga, baik sampah organik dan non-organik. Misalnya lewat pengelolaan eco-enzym yang lebih ramah lingkungan dan lebih affordable bagi masyarakat, sebab tidak butuh biaya besar. Selian itu konsep eco-enzym ini berkelanjutan sebab bermanfaat hampir di semua sektor, baik sisi pertanian, kesehatan, dan lingkungan.
Isu sampah yang merebak jika hanya dikelola dengan mengandalkan teknologi tanpa perencanaan regulasi dan kesiapan lainnya hanya akan menimbulkan masalah baru. Berdasarkan temuan laboratorium Nol Sampah pada tahun 2024, kandungan klorin dalam produksi RDF itu tinggi serta berpotensi menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan (aliansizerowaste.id, 2024).
Di sisi lain, kita menaruh harapan besar bahwa kesadaran religius sebagai manusia beriman dapat berkontribusi dalam merawat lingkungan. Bila dipadukan dengan regulasi yang jelas dan inklusif, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan zero waste cities bukanlah hal yang mustahil. Dan ini bukan hal yang mustahil sebab negara lain pun sudah membuktikan itu, seperti Filipina, Cina, dan India. Ketiga negara ini mendorong regulasi yang jelas, penguatan kelembagaan yang kuat, edukasi masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas sehingga bisa mencapai kinerja pengelolaan sampah efektif, berkelanjutan, tanpa mencemari lingkungan.
Benang kusut dalam tata kelola sampah seharusnya kita dorong lewat kesadaran kolektif. Salah satu cara untuk menyentuh kesadaran itu salah satunya lewat dakwah ekologi, karena tokoh agama adalah pihak yang paling dekat dengan masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia pada umumnya religius dan sangat menghormati teks-teks keagamaan. Maka dari itu penguatan eko-teologi sangat penting untuk dikuatkan terutama pada fikih lingkungan agar nantinya setiap regulasi atau kebijakan pemerintah bersatu dengan sisi agama dan sisi manusiawi kita sebagai makhluk ubudiyah.