Hari-hari ini kita dihadapkan dengan berbagai masalah kerusakan lingkungan, mulai dari kehilangan jutaan hektar hutan alam hingga ratusan konflik agraria yang disebabkan karena aktivitas pertambangan, pengubahan lahan hutan menjadi perkebunan sawit, hingga proyek infrastruktur besar seperti IKN.
Dan siapakah yang paling dirugikan dan terkena dampak? Tentu saja masyarakat adat di sekitar wilayah tersebut. Dikutip dari amnesty.id pada tanggal 26 Mei 2025, telah terjadi penangkapan oleh aparat kepolisian terhadap warga masyarakat adat Wayamli dan Wayanli dari Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur, Maluku Utara karena menolak aktivitas pertambangan nikel oleh PT Sambaki Tambang Sentosa (STS).
Dalam rencana pelaksanaan proyek pembangunan seperti penambangan, pihak terkait sering tidak melibatkan konsultasi awal dengan warga, terlebih dengan adanya pasal-pasal bermasalah dalam UU Minerba. Warga tidak bisa protes ke Pemda karena izin usaha tambang langsung dari pusat, sehingga apabila terjadi masalah Pemda tidak bisa hadir sebagai mediator dan mencabut IUP tersebut. Bahkan yang lebih parah, warga yang protes (dianggap mengganggu aktivitas pertambangan) dapat dilaporkan balik oleh perusahaan dan bisa dikenai pidana kurungan atau denda.
Apa yang telah terjadi pada masyarakat adat Wayamli dan Wayanli hanyalah satu dari banyaknya kasus masyarakat adat yang harus terusir dari wilayah mereka sendiri. Ini diakibatkan karena belum adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat, bahkan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) hingga kini belum juga disahkan, padahal sudah 14 tahun dari draft naskah akademik tersebut dibuat.
Pada dasarnya, masyarakat hukum adat (MHA) baik keberadaan maupun hak-haknya diakui dan dilindungi oleh Negara Indonesia melalui UUD NRI 1945 yaitu di Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat mengandung makna bahwa negara wajib menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi Indonesia. Pengabaian yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara terus menunda-nunda pengesahan RUU MHA ini akibat dari tidak dianggap pentingnya isu masyarakat adat.
Mungkin kita perlu belajar dari semangat gerakan Zapatista, gerakan yang dipimpin oleh EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion) atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, yaitu sebuah gerakan perlawanan petani adat di negara bagian Chiapas, Meksiko Tenggara. Nama Zapatista sendiri yang berarti “pengikut Zapata” mencerminkan adanya ikatan yang mereka pegang teguh antara gerakan Zapatista 1994 dengan Emiliano Zapata yang mencetuskan reforma agraria di Meksiko tahun 1911.
Zapatista berbeda dengan gerakan lainnya yang tujuannya tak lain merebut kekuasaan atas nama rakyat lalu mendirikan pemerintahan baru ke atas pundak rakyat. Zapatista tidak berniat merebut kekuasaan, mereka ingin menunjukan pada dunia bahwa cara lain untuk berpolitik itu sungguh ada, dan salah satunya bisa dilihat dalam praktik kehidupan swakelola masyarakat adat.
Berbeda dengan gerilyawan lain yang mendatangi penduduk udik untuk “mengajari” mereka, para perintis Zapatista sadar mereka justru harus “belajar” dari masyarakat udik tersebut. Masyarakat adat memiliki sistem tradisional yang menjaga agar sumber daya alam tidak dieksploitasi secara berlebihan.
Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang siklus alam, musim tanam, pola imigrasi hewan yang kemudian mereka terapkan dalam praktik pertanian dan perburuan, dan mereka hanya mengambil seperlunya bukan sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan oleh para korporat tambang dan kebun sawit itu.
Dengan berbasiskan pada penduduk adat Indian, gerakan Zapatista menekankan perjuangan mereka demi sebuah dunia yang adil terhadap kaum minoritas apa pun, sebuah dunia yang bisa memberi tempat terhadap segala perbedaan, sebuah dunia yang menampung segala yang kecil, remeh, tak dihiraukan.
Dalam sebuah wawancara dengan radio San Cristobal pada tanggal 22 Februari 1994, Subcomandante Marcos menegaskan bahwa Zapatista tidak memaksakan kebenaran, melainkan membuka ruang demokrasi untuk pertukaran gagasan (Marcos, 1994, dalam pengantar Kata Adalah Senjata).
Jadi, apa sumbangan riil Zapatista untuk dunia? Penerjemah buku Kata Adalah Senjata, Ronny Agustinus, merangkum semangat Zapatista lewat frasa “dunia yang lain itu mungkin”, yakni dunia yang memberi ruang bagi kelompok kecil, terpinggirkan, dan berbeda (Agustinus, 2004-2005).
Lalu apa relevansinya dengan Indonesia? Peristiwa-peristiwa di Chiapas telah mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah negara yang multietnis dan multikultural. Indonesia adalah negara yang unik, tidak hanya letak geografisnya tapi juga penduduknya, termasuk keberadaan masyarakat adat yang juga harus diakui dan dilindungi hak-haknya.
Tentu saja jalan gerilyawan tidak bisa kita terapkan di Indonesia dalam upaya perjuangan hak masyarakat adat seperti yang dilakukan Zapatista, tapi mereka tidak hanya angkat senjata tapi juga pembentukan otonomi wilayah, pembangunan sosial dan kampanye politik. Nah, untuk Indonesia sendiri bisa menggunakan alternatif lain seperti penguatan lembaga adat, membangun dialog dan advokasi, memberikan pendidikan dan penyadaran tentang hak-hak masyarakat adat serta membangun penguatan ekonomi yang berbasis pada kearifan lokal.
Yang paling dahsyat gerakan Zapatista yaitu komunike-komunike politiknya, yang dibalut sastra dengan gaya yang belum ada bandingannya, dan ini tidak terlepas dari pesona karismatik Marcos. Karena alih-alih Lenin, Marcos malah memetik Shakespeare. Bahkan, konon saat pertama kali datang ke pegunungan Lacandon, Chiapas untuk bergabung dengan kelompok gerilyawan, yang Marcos bawa bukanlah amunisi dalam ranselnya tapi tumpukan buku sastra karya para begawan Amerika Latin seperti Garcia Marquez.
Meskipun telah mengalami perubahan dan tantangan tapi Zapatista masih ada, dan semangatnya masih relevan hingga kini. Sejarah jauh dari kata usai, proyek pembebasan masih panjang dan berliku, termasuk perjuangan perlindungan hukum masyarakat adat di Indonesia.









