Sejak kecil, sebagai seorang muslim, kita selalu diajarkan tentang Tauhid (pengesaan) terhadap Allah. Bahwa Tuhan itu maha esa (QS. Al-Ikhlāṣ: 1), dan tidak ada satu pun di muka bumi ini yang menyamai dan menyerupai-Nya (QS. Al-Shu’arā’: 11). Pengingkaran terhadap keesaan Allah ini bersifat fatal dan memiliki konsekuensi yang sangat serius, yaitu keluar dari Islam.
Dalam hukum fiqh, keadaan seperti ini di sebut ‘murtad’ dan secara fiqh halal untuk ditumpahkan darahnya. Sebegitu seriusnya konsekuensi dari keyakinan kita terhadap keesaan (tunggal) ini. Tetapi apakah sejatinya yang dimaksud tunggal? Apakah ketunggalan itu mencakup semua aspek dalam Islam? Apakah keesaan (tunggal) Allah bersifat paralel dengan kebenaran dalam Islam itu sendiri?
Untuk memulai menjawab sederet pertanyaan di atas, terlebih dahulu saya ingin menyamakan frekuensi saya dengan siapapun, yang sengaja atau tidak sengaja, sedang membaca tulisan ini. Bahwa tulisan ini tidak akan membahas tentang Islam sebagai agama yang kita yakini bersifat tunggal karena lahir dari yang maha Tunggal, melainkan lebih kepada Islam sebagai sebuah agama ketika masuk ke ranah pemahaman manusia.
Karena pada ranah inilah Islam mulai terpilah menjadi; islam ideal yang bersifat abstrak, yang hanya berada di haribaan Allah dan Nabi Muhammad Saw, dan Islam historis adalah islam yang berada di haribaan manusia. Sampai disini pertanyaan tentang apakah sejatinya yang dimaksud tunggal, dan apakah ketunggalan itu mencakup semua aspek dalam islam, dalam tulisan ini saya harap sudah dapat tertangkap dengan baik.
Pertanyaan selanjutnya, yang merupakan alasan utama kenapa tulisan ini sampai pada pembaca, yaitu apakah keesaan (tunggal) Allah bersifat paralel dengan kebenaran dalam islam itu sendiri? Sebelumnya kita sudah sepakat bahwa yang akan kita bahas adalah Islam sebagai sebuah agama ketika masuk ke ranah pemahaman manusia.
Maka jika masih ada yang memaknai kata ‘Islam’ dalam pertanyaan ini dengan ‘Islam’ pada kategori yang pertama, jawabannya tentu dan pasti kebenaran ‘Islam’ ini bersifat paralel. Tetapi ketika masuk ke ranah Islam historis, kita akan langsung dihadapkan dengan kemajemukan cara umat muslim memahami agamanya ini.
Kemajemukan cara umat muslim dalam memahami agama Islam, selanjutnya melahirkan keberagaman yang sangat luar biasa. Ketika seseorang memahami Islam dari dimensi hukum legal formalnya, lahir lah fiqh. Berbeda cerita ketika seorang muslim memahami Islam sebagai sebuah nilai, maka lahirlah tasawuf yang syarat akan nilai kerohanian yang kental.
Atau ketika seorang muslim memahami agamanya sebagai sebuah sumber pengetahuan tertinggi, dari situ kemudian lahirlah filsafat. Begitu juga muncul istilah Islam Arab, Islam India, Islam Nusantara, dan sebagainya. Islam historis inilah yang juga melahirkan berbagai aliran, mazhab, organisasi, dan lembaga keagamaan lainnya.
Yang melandasi segala macama keberagaman Islam historis di atas tidak lain, meminjam teori paradigma keilmuan Thomas Kuhn, diakibatkan oleh perkembangan revolusioner epistemologi Islam itu sendiri. Sebagai contoh, perkembangan revolusioner epistemologi keilmuan fiqh melibatkan fiqh rasional imam Abu Hanifah, tradisional imam Maliki, moderat Imam Syafi’i, dan literalis imam Ahmad bin Hambal. Dalam ilmu kalam, melibatkan rasionalis Muktazilah dan tradisionalis ‘Asḥ’ariyah. Dalam keilmuan tasawuf pun demikian, melibatkan tasawuf falsafi al-Hallaj dan tasawuf sḥar’i al-Ghazali.
Di era modern sendiri, perkembangan revolusioner Islam historis ini mendapat tantangan baru, terutama di bawah hegemoni peradaban dan sekularisasi ilmu pengetahuan oleh Barat. Sekularisasi sebagai anak kandung modernitas sepertinya menawarkan harapana, yang bahkan berhasil memengaruhi tokoh muda seperti Nurcholish Madjid dan Mehdi Ha’iri Yazdi untuk memanfaatkan momen dan menawarkan gagasan dialogis antara agama dengan ragam ilmu pengetahuan.
Bagaimana kemudian umat muslim menyikapi gelombang revolusioner yang ada dalam Islam historis ini? Sebuah gagasan menarik, dan tentu juga masih terbuka untuk diperdebatkan, datang dari Gus Dur tentang kebangkitan Islam. Ia menyadari bahwa kaum muslim dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki begitu banyak ragam tantangan dan kemungkinan.
Gus Dur memilih untuk meyakini bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai dan berada pada titik optimalnya, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif umat muslim dan kebebasan berpikir semua semua lapisan masyarakat. Setidaknya ini yang bisa kita pakai untuk membangun pondasi bagi keberagaman kita dalam memahami Islam. Wallau a’lam.
Kepustakaan
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: nilai-nilai Indonesia & transformasi kebudayaan. Wahid Institute, 2017.
Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistemologi: Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme. Pustaka Pelajar, 2014.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Rosdakarya, 2002.