Minggu lalu, kembali penulis memutar compact disc (CD) di mobilnya dan mendengarkan lagu-lagu hard rock yang diciptakan Dhani Dewa. Penulis memutar lagu-lagu tersebut untuk mencari tahu apa sebabnya pihak-pihak ‘Islam garis keras’ marah kepadanya dan berniat menyeretnya ke pengadilan? Atau minimal untuk ‘menakuti’ anak-anak muda yang hendak membeli kaset atau CD tersebut. Sampai-sampai terpaksa penulis membelanya, demi mempertahankan terhadap kemungkinan pelanggaran Undang-Undang Dasar dengan adanya tindak kekerasan terhadap grup band ini. Karena alasan yang digunakan, sama sekali tidak masuk akal manusia yang berpikir sehat.
Menentang sesuatu secara terbuka dan terang-terangan, tanpa kejelasan sebab-sebabnya adalah perbuatan gila yang tidak akan dilakukan penulis. Karena itulah penulis mendengarkan CD di atas. Ternyata Dewa Band hanya bernyanyi biasa-biasa saja. Penulis lebih kagum pada permainan musik dan olah instrumen yang dibawakan mereka, daripada oleh lirik-lirik berbagai nyanyian yang dipersembahkan oleh band musik tersebut. Karena lagu-lagu tersebut memang produk musik dan bukannya produk sastra, maka hal itu sebenarnya adalah wajar-wajar saja. Bukankah lagu Natal yang dibawakan mendiang Jim Reeves laku di pasaran lebih dari lima puluh juta copy kaset, sebenarnya kuat dalam permainan musik dan bukannya dalam kata-kata? Karya Dhani Dewa dan kawan-kawannya ini pun seperti itu juga, sehingga kita tidak ‘terkecoh’ hanya oleh liriknya yang digelar. Padahal apresiasi yang kuat juga harus diberikan atas musiknya secara keseluruhan dan tidak melulu karena liriknya. Namun, bagaimanapun juga telisik atas lirik-liriknya harus dilakukan, jika kita ingin tahu sebab sebenarnya dari ‘serangan’ terhadap lagu-lagu ciptaan mereka itu. Itulah kira-kira sikap yang sehat dan tidak berpihak, yang seharusnya diambil dalam kasus ini.
Ketika penulis kembali mendengarkan dengan teliti, barulah diketahui apa sebab Front Pembela Islam menjadi marah terhadap Dhani Dewa. Yaitu karena dalam lirik-liriknya, Dhani Dewa menunjuk kepada cinta yang kongkret kepada Tuhan, bukannya sekedar cinta konseptual yang sering dibawakan orang dalam lagu-lagu atau ceramah-ceramah mereka. Cinta konseptual yang dimaksudkan adalah cinta kepada Tuhannya orang Islam, yang dikenal dengan nama Allah SWT. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai milik golongan mereka dan harus diperlakukan sebagai ‘tokoh golongan’ mereka, bukannya ‘tokoh’ yang secara umum dikenal oleh berbagai pihak sebagai Tuhan.
Bagi sementara orang, Tuhan yang begini ini sangat memuaskan karena ‘mudah dikenal’. Namun bagi seorang seniman, Tuhan yang demikian itu adalah Tuhan yang memiliki keterbatasan karena dirumuskan sesuai dengan kemampuan manusia. Padahal, Tuhan jauh lebih berkuasa dari pada manusia mana pun, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an, “Dia berkuasa atas segala sesuatu” (Huwa ‘ala kuli shai’in qadir). Jadi hanya Tuhan yang demikianlah yang patut disembah. Karena itu segala macam perbuatan manusia tidak dapat dikaitkan dengan Tuhan. Secara terus terang Dhani Dewa mengatakan “Atas nama cinta saja. Jangan bawa-bawa nama Tuhan demi kepentinganmu.” Ini adalah kensekuensi logis dari manusia sudah diberi kekuatan oleh Tuhan. Namun hal semacam ini tidak diterima oleh mereka yang berpandangan lain itu.
Sebenarnya orang-orang yang menolak pandangan Dhani itu tidak memiliki argumentasi yang kuat. Karena itu mereka ‘memperkuat’ pandangan mereka dengan tindakan-tindakan fisik yang keras. Mereka mengira, dengan demikian akan tercapai keinginan mereka menghentikan ‘kesalahan-kesalahan’ yang diperbuat orang-orang seperti Dhani Dewa itu. Mereka tidak memahami kenyataan bahwa tindak kekerasan dan pengucilan fisik atas produk-produk yang dianggap salah itu tidak akan berbuah banyak. Karena generasi muda telah memiliki preferensi mereka sendiri, yang erat kaitannya dengan soal selera yang mereka senangi. Maka tindakan melarang nyanyian-nyanyian itu hanyalah tindakan ceroboh yang akan merusak kredibilitas lembaga yang melakukannya. Paling tinggi, ia hanya menjadi lembaga pelarangan seperti yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru beberapa tahun yang lalu.
Dalam sebuah masyarakat modern yang majemuk dan didasarkan pada pluralitas, soal selera diserahkan kepada perkembangan masyarakat itu sendiri. Karenanya, tidak akan mungkin diberlakukan sebuah larangan dalam bentuk apa pun. Karena itu dapat dipahami mengapa di samping munculnya musik hard rock dan jazz di samping irama klenengan dan keroncong sebagai ‘perwakilan’ musik tradisional. Orang boleh saja menangisi munculnya sebuah jenis musik baru, tetapi selama musik lama dapat bertahan di pasaran, maka ia akan ada yang mendukung. Sedangkan sebuah ‘tradisi baru’ akan terus muncul sebagai perantara antara berbagai hal yang sudah ada, termasuk yang tadinya baru.
Mau tidak mau kita harus menjalani kenyataan ‘tradisi’ itu yang kemudian akan kita tinggalkan sebagai warisan, dan menjadi budaya campur aduk dengan segala kemodernannya. Dari situ, sebagian dari kita menemukan pola hidup yang mungkin membentuk kepribadiannnya –hal itu tidak usah disesali. Sebagian lainnya, mencoba melakukan jenis responsi apa yang ingin diberikan terhadap kebudayaan baru yang dianggap tidak dapat ditolaknya. Ini belum lagi jika kita masukkan ke dalamnya akibat-akibat dari teknologi modern dan sebagainya. Karena itu dapat dimengerti jika manusia dalam sebuah budaya yang demikian, tampak tidak mampu mencari jalan keluar dan bertindak seolah-olah menjadi manusia yang bingung.
Sementara kaum muslimin dalam menghadapi keadaan seperti itu mempunyai dua pilihan, yaitu dari segi budaya atau institusional. Dari segi budaya, yaitu dengan melahirkan sikap budaya kolektif yang memancarkan ‘ke-Islaman’, seperti NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, pendekatan institusional lebih mementingkan tumbuhnya kemampuan Islam untuk ‘mengalahkan’ budaya-budaya lain. Kalau perlu memaksakan institusi Islam itu dengan kekerasan, seperti dengan melakukan pengeboman di sejumlah tempat dan sebagainya. Responsi dengan menggunakan ‘kekerasan’ itu, tidak terbatas hanya dengan menggunakan alat-alat fisik saja tetapi juga ancaman dan gertakan, seperti yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia, maupun oleh seniman seperti Dhani Dewa dan Inul Daratista.
Karena itu, kita harus berhati-hati untuk mengamati perkembangan kelompok-kelompok ‘pemaksa’ itu. Kita bukanlah negara Islam, karenanya kita berpegang kepada Undang-Undang Dasar. Kita harus berani mempertahankan dengan segala cara yang sah menurut hukum Undang-Undang Dasar tersebut. Kalau ada orang yang menyatakan kita melanggar ketentuan-ketentuan Islam, dengan menggunakan contoh negara lain, kita harus berani menyatakan bahwa negara kita adalah Negara Nasionalistik, bukannya Negara Islam. Kenyataan ini harus ditekankan berulang kali. Sikap ini sebagai bagian dari sikap melestarikan atau merubah kehidupan kita secara sungguh-sungguh, bukan?
Sumber: santrigusdur.com