Bersikap Cerdas di Tengah Pandemi yang Belum Usai

Ada guyonan menarik dari Gus Dur, “Dulu, saat Orde Baru, ada lomba mancing antara Indonesia dan Malaysia. Lomba itu diadakan di perbatasan laut Indonesia dan Malaysia. Presiden Indonesia sudah sombong dan percaya diri. Ia menganggap ikan di perairan Indonesia lebih banyak dibanding ikan di Malaysia. Singkat cerita, beberapa menit kemudian, pemimpin Malaysia mendapatkan banyak ikan, tapi pemimpin Indonesia sama sekali tidak dapat ikan. Indonesia pun mengakui kekalahannya, lalu bertanya, ‘Wahai Tuan, kenapa Anda bisa dapat banyak ikan sedangkan saya tidak, padahal ikan di tempat saya banyak?’ Pemimpin Malaysia menjawab, ‘Kesalahan ada pada ikan Indonesia yang tidak mau buka mulut’.”

Setelah Orba runtuh, masuk era keterbukaan (reformasi), lomba mancing diadakan kembali, pesertanya tetap Indonesia dan Malaysia. Singkat cerita, lagi-lagi Pemimpin Indonesia kalah dengan Malaysia. Awalnya Indonesia sudah percaya diri, karena yakin ikannya sekarang sudah mau buka mulut. Faktanya, kalah lagi. Pemimpin Indonesia pun bertanya kembali, “Kenapa saya kalah lagi?” Pemimpin Malaysia menjawab, “Itu kesalahan juga ada pada ikan Indonesia, karena tidak mau tutup mulut.”

Pertanyaannya, bagaimana kalau lomba mancing diadakan pada saat ini? Apakah Indonesia akan menang? Melihat situasi sosial yang berkembang, ada kemungkinan Indonesia menang, karena ikan-ikan Indonesia banyak yang keluar (new normal), dan ikan Malaysia banyak yang diam di rumah (lockdown). Tapi itu masih kemungkinan, karena kemungkinan lainnya, draw (tidak ada yang menang). Soalnya ikan-ikan di Indonesia masih pada suka buka mulut, tanpa pernah menutup, lihat saja kelakuan orang-orang yang suka komen ngaco (nyinyir).

Kalau kata Idris Shah, seorang guru sufi, pada salah satu bukunya, ia menjelaskan, jenis ikan itu ada tiga; ikan bodoh, ikan setengah pintar-setengah bodoh, dan ikan pintar. Beda ketiga ikan itu terletak pada siasatnya ketika mau ditangkap.

Ikan bodoh, dalam situasi sulit, ditangkap mau-mau saja, karena tak paham situasi. Ikan bodoh malah merasa lagi disayang, padahal mau dibakar lalu dimakan. Sedangkan ikan yang agak bodoh dan agak pintar, dia bingung mau ambil siasat mana. Akhirnya mengikuti arus yang berkembang, ketangkap juga. Lalu ikan pintar, namanya juga pintar, pasti cerdik. Ikan pintar itu pura-pura mati, dan diam saja, supaya dianggap ikan tidak segar oleh si penangkap. Pernyataan pendeknya, ikan saja siap berdiam diri sejenak demi keselamatan, masa kita tidak?!

Saya tidak mau berlama-lama membahas hal ini. Sebenarnya mudah, kita tinggal pilih, mau jadi ikan yang mana, terus mau menang mancing atau kalah mancing? Saya pilih kalah mancing. Kenapa? Kalah mancing di saat sekarang menandakan Indonesia diisi oleh ikan-ikan pintar.

Jangan dulu berpikir ke mana-mana, narasi tersebut tidak bermaksud menyenggol siapa pun. Sekadar refleksi dari situasi yang ada atau bisa juga dikatakan sebagai alarm buat kita semua, bahwa sekarang situasinya tidak sebatas lomba mancing, tapi ada jala yang sedang ditebar oleh makhluk tak nampak. Suatu saat bisa saja menggaruk kita.

Jala itu ketika dilemparkan tidak pernah pilih-pilih siapa yang akan ditangkapnya, semuanya punya kemungkinan masuk perangkap (ketika tanpa kehati-hatian). Tidak memandang mana ikan kecil, mana ikan besar, tidak memandang agama, suku, usia, golongan, atau siapa pun. Artinya, yang perlu ditingkatkan adalah kewaspadaan sebagai sebuah ikhtiar yang diajarkan oleh agama.

Di situasi seperti sekarang, susah bersikap wajar dan biasa-biasa saja. Faktanya, Indonesia terus mengalami peningkatan kasus Covid-19 per harinya. Entah ini penyabab dari mana, apakah efek new normal atau sebelumnya sudah banyak (baru terdeteksi). Dari awal Covid-19 masuk Indonesia, seruan serba di rumah gencar di mana-mana. Setelah new normal kampanye stay at home semakin menghilang.

Saya sadari tidak ada kewajiban stay at home (imbauan), tetapi meskipun berhak memilih keluar, asalkan keluarnya merupakan aktivitas tepat, tidak masalah. Bukan seperti sekarang, memprihatinkan. Banyak euforia (aktivitas bersenang-senang di luar dan membuat keramaian). Seperti di Yogyakarta beberapa waktu lalu, para pesepeda berkumpul di Malioboro dengan jumlah cukup besar, sehingga memancing Sultan Hamengku Buwono berkomentar (dengan nada kecewa), “Jika tidak bisa diatur, akan saya close Malioboro dan tempat-tempat yang punya potensi keramaian.”

Begitu pun di beberapa tempat yang masih menerapkan PSBB, info dari media, dan beberapa teman, masih tetap ramai juga. Padahal PSBB yang ditetapkan sebagai aturan, banyak dilanggar, apalagi new normal dipersepsikan bukan aturan, tapi kebebasan.

Beranjak dari itu, kalau saya boleh curhat, ada hal lain yang mengganggu. Di salah satu kota menyatakan sudah zero Covid-19. Ini berita membahagiakan. Alhamdulillah. Yang menjadi permasalahan digunakannya istilah “pasca-pandemi”. Antara pas dan tidak pas, mengandung dua kabar: kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya kasus positif Covid-19 sudah hilang, kabar buruknya saya khawatir istilah ini memancing reaksi masyarakat menjadi bebas dengan aktivitas rutin seperti sediakala.

Bagi saya, yang harus menjadi tolok ukur adalah kasus nasional. Ketika kasus nasional belum ada penurunan, maka perang belum usai, apalagi dianggap selesai. Perlu diperhitungkan kondisi daerah lain yang berkaitan dengan masalah ini semakin banyaknya penyebaran kasus. Realitas sekarang susah untuk dimengerti.

Yang harus dimunculkan adalah kesadaran akan ketidakberdayaan. Kondisi kita sekarang memaksa untuk tidak lagi berani melakukan perlawanan-perlawanan, karena ketidakberdayaan kita sebagai manusia untuk melawan ini semua. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha, berdoa, dan berharap agar wabah cepat berakhir. Semua negara di seluruh dunia saat ini sedang mengupayakan itu.

Hadirnya Covid-19 telah mengubah karakter sosial, ekonomi, dan politik. Semua menjadi kacau balau, dari orang awam sampai pakar mengakui alangkah rumitnya memahami situasi wabah di tanah air kita ini. Ada paradoks, iya. Memori kolektif yang tidak terawat mengakibatkan situasi menjadi abu-abu. Salah satu faktornya adalah kita enggan merawat kewaspadaan dan kehati-hatian kita terhadap bahaya Covid-19.

Bobot ketakutan mengalami penurunan jika tidak lebih berani, frontal, atau lebih kompromis terhadap situasi. Pada sudut lain, diwajarkan, merosotnya lalu lintas ekonomi sedikit-banyak mengganggu stabilitas para pengusaha dan pedagang. New normal ini menjadi harapan mereka, supaya arus ekonomi berjalan stabil. Begitu pun pendidikan, proses belajar-mengajar diliburkan, santri dipulangkan, pasti ada kerinduan.

Memang, tidak dapat diketahui secara pasti kapan pandemi ini akan usai. Selagi vaksin belum diketemukan, akan terus berputar, tapi kalau dibiarkan dan diacuhkan akan lebih membahayakan. Tidak ada cara lain, kesadaran akan ketidakberdayaan harus ditumbuhkan, manusia hanya sebutir debu kecil, karena dunia hanya sebesar “kacang ijo” (meminjam istilah Gus Mus).

Di ujung seluruh kenyataan ini, semuanya kembali kepada kesadaran kita. Jika boleh mengibaratkan, saat ini kita seperti anak bayi yang dilempar ke kolam tanpa pelampung, tanpa pengamanan, dan tanpa pengawasan. Kita dipaksa untuk berenang menyusuri kegelapan dunia dengan berbagai risiko saling menabrak. Pilihan kita hanya tiga, mau jadi ikan pintar, ikan bodoh, apa ikan setengah pintar-setengah bodoh?

Sumber: nu.or.id

Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.