Gus Dur: Kombinasi Kiai dan Politisi

Keberanianlah yang mengantarkan dirinya mengakhiri kedudukan sebagai Presiden. Sidang istimewa MPR 23 Juli 2001 yang melengserkannya merupakan puncak pertarungan politik dengan lawan-lawan politiknya pasca mengeluarkan jurus terakhir (Dekrit Presiden). Ketika dilengserkan dari kursi Presiden, di Istana Negara, yang bersangkutan menyapa pendukungnya hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek.

Menampilkan pemandangan yang tidak biasa namun dikomentarinya suatu waktu dengan santai “Itu lebih baik daripada tidak pakai celana.” Namanya Abdurrahman Wahid, sapaan akrabnya Gus Dur. Beliau merupakan Presiden Republik Indonesia yang ke-4, sosoknya masih diperbincangkan banyak orang menyangkut banyak hal mulai soal keislaman, kebinekaan hingga kenegaraan.  

Meski di lingkungan pesantren terutama Nahdlatul Ulama’ (NU) dikenal sebagai seorang Kiai, putra Kiai sekaligus cucu Kiai pendiri organisasi, namun dia lebih terkenal sebagai Gus Dur dibanding K.H. Abdurrahman Wahid. Mungkin itulah  way of life (jalan hidup) yang dipilih olehnya, perjalanan hidup penuh perjuangan dan pembelajaran, ditinggal wafat sang ayah di usia sekitar 12 tahun, menempuh pendidikan dari pesantren ke pesantren serta dari kampus ke kampus. 

Dia seorang Kiai yang rela mewakafkan diri menjadi politisi demi kepentingan bangsa dan negaranya, bisa dibilang perjalanan politiknya dimulai ketika aktif di organisasi massa Islam, NU. Terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) pada tahun 1984 dalam Muktamar ke-27 Situbondo, di saat organisasi itu bermufakat untuk kembali ke Khittah 1926.

Era kepemimpinannya, NU yang sebelumnya menjadi partai politik tahun 1952 kemudian berfusi dengan 3 partai politik Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, akhirnya kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah, yang fokus kepada penguatan komunitas. 

K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU yang cukup lama, terpilih tiga periode berturut-turut (1984-1999), menjadikannya seorang Kiai yang sukses memimpin organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Berkat posisinya itulah ia semakin terpandang di masyarakat, sekaligus mempunyai bargaining positions di hadapan pemerintah waktu itu.

Menjabat sebagai Ketua Umum PBNU bukanlah tanpa modal, modal simbolik( karisma) dimilikinya, modal yang diperoleh dari perpaduan modal sosial dan modal kultural diri dan keluarganya. Kakeknya sang Ra’is A’am Suriah NU yang pertama, Hadratus Syaikh  K.H. Hasyim Asy’ari dan ayahandanya K.H. Wahid Hasyim pernah menjadi Menteri Agama Indonesia.

Setelah tamat dari pesantren, Gus Dur menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir, meskipun tidak selesai. Dia justru menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Baghdad Irak lalu pergi belajar secara informal sambil melancong ke negara-negara Eropa kemudian barulah pulang ke Indonesia. 

Awalnya pemerintah (rezim orde baru) menyambut baik keterpilihannya sebagai pemimpin eksekutif (Tanfidziyah) PBNU karena dianggap sebagai tokoh moderat. Buktinya sewaktu pemerintah menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila, NU dibawah kendali Gus Dur turut mendukungnya, hal itu membuatnya memiliki kedekatan khusus dengan rezim.

Namun kedekatan itu tidak menghilangkan sikap kritisnya di kemudian hari untuk mengecam proyek pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, sebuah proyek yang dianggap banyak merugikan rakyat. Dia juga tidak mendukung pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) karena bernuansa politis, ICMI baginya bersifat sektarian, dibentuk untuk meraih simpati umat Islam salah satunya untuk kepentingan pemilu 1992. Kehadiran ICMI tahun 1990, diresponnya dengan membentuk Forum Demokrasi (Fordem) tahun 1991 bersama tokoh-tokoh lainnya. 

Kekritisan itulah yang membuat dirinya mendapatkan masalah, misalnya  penghadangan massa NU oleh aparat untuk tidak menghadiri Rapat Akbar di Jakarta tahun 1992. Mendengar insiden itu, Gus Dur mengirim surat kepada Presiden Suharto, surat itu wujud protes sekaligus kekecewaannya.

Keinginannya untuk maju kembali sebagai Ketua Umum PBNU di Muktamar 1994 juga berusaha dijegal, muncul calon untuk melawannya yang di-backup oleh orang-orang rezim. Meskipun dijegal dengan cara apapun, Gus Dur tetap terpilih menjadi Ketua Umum. Hubungan Gus Dur dengan rezim Orde Baru memang mengalami pasang surut, kadang berkolaborasi, kadang juga berkonflik. Disitulah kepiawaiannya sebagai “Kiai” dalam memimpin organisasi serta menjalin relasi. 

Kariernya sebagai politisi tidak sedikit, pernah menjadi Anggota MPR dari Golkar tahun 1987 serta membantu Golkar untuk kampanye pemilu 1997 dan akhirnya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1998. Berkat partai itu bersama partai-partai lainnya yang dikenal dengan koalisi poros tengah, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999.

Mayoritas anggota MPR memilihnya. Dipilih oleh MPR kemudian akhirnya diberhentikan pula oleh MPR, masa jabatannya terbilang singkat  mulai 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Semasa menjadi Presiden Indonesia, Gus Dur bukanlah tipe politisi yang mudah didikte termasuk dalam penentuan siapa-siapa yang akan masuk dalam kabinetnya, kabinet persatuan nasional.

Hak prerogatif Presiden tampak jelas ditunjukkan oleh Gus Dur dalam kebijakan-kebijakannya, dia dengan berani membubarkan  Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, beberapa kali mereshuffle kabinet, sekitar 18 menteri yang diganti dengan berbagai pertimbangan.

Mengangkat kalangan sipil sebagai menteri pertahanan bukan dari militer, memelopori pengangkatan panglima TNI berasal dari luar Angkatan Darat, menempatkan posisi Kapolri langsung dibawah Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan paling tidak terlupakan oleh kelompok minoritas adalah kebijakannya yang mencabut Instruksi Presiden  (Inpres)  Nomor 14 tahun 1967 tentang  Agama dan Adat Istiadat Cina kemudian menerbitkan  Keppres Nomor 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Presiden Gus Dur menutup masa jabatannya  dengan kebijakan fenomenal mengeluarkan Dekrit pada 23 Juli 2001 yang intinya membekukan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan untuk Pemilu, serta menyelamatkan gerakan reformasi total (pembekuan Partai Golkar). Kebijakan-kebijakan yang diambil menunjukkan dia politisi yang berani mengambil konsekuensi meski harus kehilangan posisi, dikepung oleh lawan-lawan politik yang terkonsolidasi. Posisinya sebagai Presiden harus diganti oleh orang yang telah didukungnya untuk menjadi Wakil Presidennya sendiri.

Pada diri Gus Dur, kita menemukan  manusia langka. Karier sosial dan politiknya begitu hebat, di ranah sosial sebagai tokoh agama Islam (Kiai), sedangkan di ranah politik seorang politisi yang handal mencapai puncak kariernya menjadi Presiden.

Walaupun beliau seorang Kiai namun tetap kebijakannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan menunjukkan keberpihakannya kepada semua umat beragama. Warisan Gus Dur kepada bangsa ini bahwa pluralitas harus diterima sebagai realitas. Kombinasi Kiai dan Politisi itulah kita akan menemukan sosok Gus Dur.

Bila merenungkannya lebih jauh, maka sesungguhnya beliau bertransformasi dari Kiai (satu umat) menuju agamawan (semua umat), dari Politisi (partai politik) menuju Negarawan (bangsa). Gus Dur pernah mengutip ucapan Khalifah Umar bin Khattab “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah).”