Pengakuan bahwa pesantren adalah subkultur masih berupa usaha pengenalan identitas kultural yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukannya oleh kalangan pesantren sendiri. Jika diingat pendekatan ilmiah yang terbaik untuk mengenal hakikat sebuah lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan naratif (narrative), di mana kalangan lembaga itu sendiri yang melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi. Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni, kesimpulan apa pun juga yang didapat dari penggunaan masih akan berupa kesimpulan sementara, tetapi sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai objektifitas ilmiahnya.
Dengan pola kehidupan yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya, kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.
Pola pertumbuhan hampir setiap pesantren menunjukkan gejala kemampuan melakukan perubahan total ini. Bermula dari inti sebuah surau guna keperluan ibadah dan pengajaran, kemudian pesantren berkembang menjadi lembaga masyarakat yang memainkan peranan dominan dalam pembentukan tata nilai bersama yang berlaku bagi kedua belah pihak. Dalam proses pembinaan inti surau yang kecil hingga menjadi suatu lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapannya sendiri, pesantren juga mengubah pola kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Keberhasilan pesantren selama ini mempertahankan diri dari serangan kultural yang silih berganti, sebagaian besar dapat dicari sumbernya pada kharisma yang cukup fleksibel untuk mengadakan inovasi pada waktunya. Penunjang kehidupan pesantren dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu warga pesantren dan warga masyarakat luar yang mempunyai hubungan erat dengan pesantren.
Yang termasuk dalam warga pesantren adalah kiai (ajengan, nun, atau bendara) yang menjadi pengasuh, para guru (ustadz, bentuk ganda asatidz) dan para santri. Kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana. Di mana kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Sedangkan kepemimpinannya itu sering kali diwakilkan kepada seorang ustadz senior selaku lurah pondok. Seorang kiai dan para pembantunya, merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui di dalam pesantren.
Demikian besar kekuasaan seorang kiai atas santrinya, sehingga seorang santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa merasa terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moril dalam kehidupanya. Adapun kedudukan ustadz memiliki dua fungsi pokok: sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai dalam mendidik para santri. Dan yang dimaksud dengan santri adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kiai sepenuhnya.
Sedangkan yang dimaksud masyarakat luar adalah sebuah kelompok masyarakat yang dinamai “golongan santri” (dikenal juga dengan sebutan “masyarakat kaum”, sedangkan daerah tempat tinggal mereka biasa disebut “kauman”). Golongan masyarakat kauman inilah yang ikut memelihara pesantren dengan memberikan dukungan materil dan menyediakan calon santri yang akan belajar di pesantren.
Selain golongan masyarakat kauman, pesantren juga berhasil menciptakan “santri kota”. Yaitu santri yang pada umumnya tinggal di kota dan jarang melakukan hubungan secara langsung dengan pesantren, akan tetapi mereka menggunakan ajaran yang mereka dapatkan dari pesantren dalam kehidupan sosial mereka, seperti masalah bagi hasil pekerjaan (qirad) yang khusus antara pemilik modal dan pihak yang melaksanakan pemutaran modal (di mana bagian yang diserahkan kepada pihak kedua harus dianggap upah bukan laba).
Sedangkan tata nilai kehidupan yang ada dalam pesantren bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, sudah tentu segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok kiai.
Pesantren terlibat dalm proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama: yaitu peniruan dan pengekangan. Unsur pertama, yaitu peniruan, adalah usaha yang dilaksanakan terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Saw dan para ulama salaf ke dalam praktek kehidupan di pesantren. Tercermin dalam hal berikut; ketaatan beribadah ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materil yang relatif serba kurang, kesadaran kelompok yang tinggi.
Unsur kedua, pengekangan, memiliki perwujudan utama dalam disiplin sosial yang ketat di pesantren. Kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disipllin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkangnya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang dipergunakan.
Di samping topangan moril dari seorang kiai bagi kehidupan pribadinya. Kriteria yang biasanya digunakan untuk mengukur kesetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanakan pola kehidupan yang tertera dalam literatur fiqh dan tasawuf. Salah satu bentuk penerapan kriteria ini adalah sebuah sebutan “ahli maksiat” bagi semua santri yang melanggar dan dikucilkan.
Kehidupan di pesantren yang diwarnai oleh asketisme yang dikombinir dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah kiai, sudah barang tentu memberikan bekas yang mendalam pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada gilirannya nanti akan membentuk sikap hidupnya sendiri. Sikap hidup bentukan pesantren ini, apabila dibawakan ke dalam kehidupan masyarakat luar, sudah barang tentu pula akan menjadi pilihan ideal bagi sikap hidup rawan yang serba tak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba transisional dalam masyarakat dewasa ini. Di sinilah letak daya tarik yang besar dari pesanten sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putera-puterinya untuk belajar di pesantren.
Motif ini dapat dijumpai. Umpamanya, pada orang tua yang menyantrikan anaknya untuk waktu terbatas saja di pesantren, untuk mendapatkan pengalaman psikologis yang dianggap sangat diperlukan oleh sang anak. Sangat menarik, sebagaimana digambarkan, yaitu usaha beberapa pesantren untuk mengembangkan “sekolah umum” seperti SMP dan SMA dalam lingkunganya, dengan pengetahuan agama tidak lagi merupakan profesi utama para santrinya.
Sedangkan pengaruh utama yang dimiiki pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh pebedaan strata yang ada di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas: mengatur bimbingan spiritual dari pihak pesantren kepada masyarakat dalam soal-soal perdata agama (perkawinan, waris, dll), dan soal ibadat ritual, dan pemeliharaan materil-finansil oleh masyarakat atas pesantren (dalam bentuk pengumpulan dana, dll). Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisir dalam kehidupanya: dengan demikian pesantren adalah tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepadanya dalam saat-saat tertentu. Di samping itu, bagi pesantren yang menjadi pusat gerakan (tasawuf), terdapat daya tarik dalam kedudukan sebagai pusat gerakan. Tidak jarang pula faktor kharismatik yang dimiliki seorang kiai merupakan daya tarik yang kuat pula.
Hubungan yang matang dan didasarkan atas prinsip-prinsip kerja sama yang sehat tentu akan sangat berguna bagi kedua belah pihak, bagi pesantren hubungan ini akan berarti diperolehnya bimbingan teknis dan dana materil untuk perkembanganya sendiri; bagi masyarakat, hubungan ini akan mengurangi rasa terisolir yang dapat beralibat cukup parah apabila mencapai titik optimal dalam bentuk obsesi.
Dari apa yang telah diuraikan, tampak nyata bahwa proses perubahan sedang terjadi di pesantren, terutama dalam aspek pembentukan tata nilai di dalamnya. Perubahan itu, demikian pula tantangan-tantangan yang dihadapi pesantren dewasa ini, memiliki intensitas lebih tinggi daripada perubahan gradual yang dialami pesantren di masa lampau. Karenanya, pesantren dewasa ini dapat dikatakan berada di persimpangan jalan yang sangat menentukan bagi kelanjutan hidupnya sendiri. Pesantren harus menentukan pilihan di antara berbagai alternatif, yang tidak semuanya menggembirakan. Terlebih lagi, pesantren harus mengadakan perubahan kualitatif yang menyeluruh, terutama dalam sikap hidup yang dimilikinya. Memang banyak kemajuan yang telah dicapai, terutama karena pesantren-pesantren utama dewasa ini tengah terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamnya secara massif, terutama sebagai akibat dari perubahan kuasi-politik semenjak pemilihan umum tahun 1971.
Tetapi proses lain yang sedang berlangsung pada intensitas tinggi adalah usaha penyerapan terang-terangan yang lebih fundamental terhadap tata nilai yang sudah ada, terutama berupa gejala yang cukup mengkhawatirkan berlangsungnya proses pendangkalan pengetahuan agama di pesantren. Di antara tantangan yang fundamental itu adalah berlangsungnya proses pengalihan tanggung jawab dalam mengambil keputusan terakhir dalam suatu persoalan dari tangan kiai kepada rapat pengurus, dengan implikasi semakin banyaknya kiai yang menempati kedudukan primus interpares. Namun diketahui adalah proses ini akan berakhir pada habisnya kekuasaan tunggal seorang kiai di pesantren.
Kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas dirinya yang bersifat subkultural sedang diuji. Masih menjadi pertanyaan besar mampu atau tidaknya ia menyerap perubahan demi perubahan kultural yang sedang dan akan berlangsung di masyarakat, minimal dengan tidak kehilangan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. Di tengah suasana kemasyarakatan di mana kata-kata kejujuran, kesungguhan, kepatuhan, dan kesederhanaan tengah mengalami pemutar-balikan pengertian secara sinis, niscara merupakan tragedi bila pesantren harus mengalami pemutar-balikan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini.
(Tulisan ini diambil sepenuhnya dari buku Prisma Pemikiran Gus Dur; Yogyakarta: LKiS).
Sumber: santrigusdur.com