Memahami Kemarahan Umat Muslim atas Karikatur Nabi Muhammad

Perancis kini sedang menjadi sorotan. Pemenggalan kepala seorang guru bernama Samuel Paty oleh imigran muslim asal Chechnya, Rusia, menjadi awal cerita. Saling tuding pun tak terelakkan antara publik Perancis dengan umat muslim di seluruh dunia. Umat muslim merasa tersinggung atas karikatur Nabi Muhammad yang dianggap memicu provokasi. Publik Perancis menganggap pembunuhan sadis dengan alasan apapun tak bisa dibenarkan.

Meskipun konflik ini melibatkan pemerintah Perancis dan dunia Islam, ternyata umat Katolik di Indonesia juga mengikuti perkembangan kabar terbaru di Perancis. Pada umumnya, mereka ini tidak menunjukkan dengan gamblang keberpihakannya terhadap isu sensitif tersebut. Umat Katolik banyak yang memilih mengomentari berita terkait Perancis dengan “memamerkan” cara mereka beriman ala Katolik di media sosial.

Komentar yang paling jamak ditemui menyatakan kasus tersebut tidak akan terjadi kalau yang disinggung adalah agama Katolik. Yesus seringkali dijadikan meme ataupun karikatur. Baik dengan tujuan humor atau karena niat kurang ajar untuk mengolok-olok. Namun demikian, tak pernah ada berita orang yang dibunuh akibat kontroversi meme/karikatur Yesus. 

Cukup banyak pula yang membagikan wejangan Paus saat menanggapi aksi penyerangan sebuah gereja di Nice sebagai akibat lanjutan kasus karikatur bikinan Charlie Hebdo ini. Paus berpesan: Kejahatan harus tetap dibalas dengan kebaikan.

Di satu sisi, kemampuan untuk menanggapi satire tanpa kemarahan serta kesadaran untuk tidak membalas kejahatan dengan dendam menunjukkan kedewasaan dalam beragama. Umat Katolik memang sudah semestinya mengedepankan cinta kasih dalam menjalin relasi dengan sesama manusia.

Akan tetapi, kalau umat Katolik berharap agar umat Muslim dapat sedikit “mencontoh” sikap santai umat Katolik dalam menanggapi karikatur Yesus, nanti dulu. Kita perlu pahami ada konsepsi penokohan yang berbeda antara dua agama ini. Umat Katolik kurang tepat jika menganggap bahwa penggambaran karikatur sosok Nabi Muhammad sama saja dengan penggambaran karikatur sosok Yesus.

Bagi umat muslim, Nabi Muhammad merupakan Rasulullah. Sosok istimewa yang memperoleh dan menyampaikan wahyu Allah kepada umat manusia. Demikian mulianya Nabi Muhammad, bahkan umat muslim pun tidak diizinkan untuk menggambarkan wajah beliau sebagai bentuk penghormatan. 

Sebabnya, tidak ada manusia lain di dunia yang paras maupun kepribadiannya dapat menyerupai figur manusia mulia ini. Selalu ada kekhawatiran visualisasi figur Nabi Muhammad akan meleset atau tidak sesuai betul dengan sosok Nabi yang sesungguhnya.

Pendapat tersebut dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka dan pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Prof. Quraish Shihab. Selain itu, Prof Quraish menyebutkan kendala lain apabila sosok Nabi boleh divisualisasikan. Dikhawatirkan model/aktor yang ditunjuk memerankan Nabi Muhammad dalam suatu potret/pementasan/film kelak melakukan perbuatan yang menyimpang dari perilaku Nabi yang mulia.

Oleh karena itulah para ulama pun berijtihad untuk melarang visualisasi wajah Nabi Muhammad. Dasar pelarangannya adalah sadduzara’i, alias melarang suatu perbuatan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Sehingga, cara umat muslim menghormati junjungan tertinggi mereka adalah dengan tidak membuat visualisasi Nabi Muhammad dalam bentuk apapun.

Sedangkan bagi umat Katolik, Yesus sendiri memberitahukan bahwa dia akan memberikan tubuh dan darah-Nya untuk menebus umat manusia. Momen ini masih selalu dikenang hingga sekarang dalam peristiwa konsekrasi. Hosti dan anggur yang sudah dikonsekrasi dalam perayaan ekaristi akan diimani oleh umat Katolik sebagai tubuh dan darah Yesus.

Dengan demikian, akan lebih pas jika misalnya kita membandingkan karikatur Nabi Muhammad dengan hosti yang sudah dikonsekrasi dan disimpan di dalam tabernakel. Tentu umat Katolik akan menyikapi lebih serius ketika ada orang yang sengaja mengambil hosti dari tabernakel dan memperlakukannya dengan tidak hormat. 

Bahkan banyak santo/santa dan martir dalam sejarah panjang kekatolikan yang menempuh jalan kekudusannya dengan cara ini. Mereka rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan tabernakel berisi tubuh Kristus dari jamahan penguasa lalim.

Hal ini sebangun dengan kemarahan umat Muslim saat mereka harus melihat karikatur Nabi Muhammad sebagai bahan olok-olok. Pemahaman atas hal ini tidak lantas membuat kita jadi mendukung tindakan pembunuhan jalanan secara biadab. Lagipula umat muslim sendiri banyak yang tidak menaruh respek terhadap aksi pembunuhan ini.

Hanya saja kita mesti memaklumi kalau umat Muslim memang sangat berhak untuk marah dalam menyikapi kasus ini. Apalagi Pemerintah Perancis melakukan kesembronoan lebih jauh saat memajang karikatur Charlie Hebdo di Balai Kota Toulouse dan Montpellier sebagai penghormatan atas meninggalnya Samuel Paty.

Padahal cara penghormatan atas sebuah tragedi harusnya tetap dilakukan secara bijak. Alih-alih kembali menampilkan karikatur kontroversial Charlie Hebdo di gedung pemerintahan, pemerintah Perancis seyogyanya bisa memilih cara berbeda. 

Misalnya dengan mengibarkan bendera setengah tiang di seantero negeri sebagai bentuk dukacita. Bisa pula dengan memajang foto Samuel Paty secara serentak di seluruh penjuru Perancis. Atau cara lainnya yang jauh dari muatan olok-olok kepada sebuah agama.

Jadi umat Katolik mestinya bisa memahami kalau ekspresi kemarahan umat muslim mirip dengan tindakan para orang kudus di masa silam. Para martir dulu rela bertaruh nyawa “hanya” demi menjaga kesucian tubuh Kristus dalam wujud hosti. Kini giliran umat muslim di seluruh dunia beramai-ramai mengecam Charlie Hebdo dan pemerintah Perancis sebagai cara mereka memuliakan sang nabi tercinta.

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.