Gus Dur di Tambakberas (1959-1963)

Pada tahun 1959 Gus Dur pindah ke Jombang dari Magelang, yaitu di Tambakberas. Greg Barton menyebut: “Ia belajar di sini hingga tahun 1963, dan selama kurun itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bishri Syansuri secara teratur. Selama tahun pertamanya, ia mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di Madrasah Modern yang didirikan dalam kompleks dan juga menjadi kepala sekolahnya. Selama masa ini, ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di sini ia tinggal di rumah KH. Ali Maksum (Greg Barton, 2003: 50). Di Tambakberas, Gus Dur menempati Bilik Pangeran Diponegoro, di bawah asuhan KH. Abdul Fattah Hasyim. Kiai Fattah ini memiliki salah satu wirid rutin setelah sholat shubuh dengan ngaji Shohîh al-Bukhôrî dan Ihyâ’ `Ulûmuddîn (Tambakberas, 2017: 215).

Kiai Fattah adalah anak dari KH. Hasyim Idris, suami dari Nyai Hj. Fathimah (salah satu adik dari KH. Abdul Wahab Hasbulloh, anak dari KH. Hasbulloh Said). KH. Abdul Fattah Hasyim menikah dengan Ny. Musyarofah (putri dari KH. Bishri Syansuri), saudari dari Ibu Gus Dur, Nyai Hj. Sholihah Wachid. Karenanya, KH. Abdul Fattah Hasyim, masih terhitung paman Gus Dur. Sementara, KH. Bishri Syansuri (kakek Gus Dur dari pihak ibu), menikah dengan Nyai Khodijah, kakak dari Nyai Hj. Fathimah (istri dari KH. Abdul Fatah Hasyim), dan karenanya KH. Bishri Syansuri juga menjadi adik ipar dari KH. Abdul Wahab Hasbulloh. 

Di Bahrul Ulum ini, setelah beberapa saat menjadi santri, Gus Dur kemudian diangkat sebagai kepala madrasah dan ikut mengajar, di samping dia sendiri juga ngaji/ngalap barokah kepada kiai-kiai sepuh, seperti kepada kakeknya sendiri, KH. Bishri Syansuri. Salah satu pelajaran yang diajarkan Gus Dur adalah bahasa Inggris, keahlian yang sejak lama digelutinya, di samping keahliannya soal tata bahasa Arab, dengan menghafal bait-bait Alfiyah. Madrasah inilah yang disebut Madrasah Mualimin/Muallimat, dan oleh Greg Barton disebut dengan Pendidikan Modern.

Tentang madrasah ini, pada awalnya, KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan Madrasah Mubdil Fan tahun 1915, yang pada tahun 1943 diganti namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah. Untuk memperbaiki pendidikan yang sudah ada, KH. Abdul Fatah Hasyim kemudian mendirikan Madrasah Muallimin Tambakberas pada tahun 1953. Masa pendidikan Muallimin saat itu adalah 4 tahun, dan setelah berjalan 2 tahun, Kiai Fattah mendirikan Muallimat (untuk putri). Pada tahun 1964, sesuai kurikulum PGA, Muallimin dan Muallimat disesuaikan menjadi 6 tahun. Gus Dur menurut buku Tambakberas (hlm. 52-53), memimpin madrasah ini sampai tahun 1966 (angka ini perlu dikoreksi, karena menurut Greg, Gus Dur kemudian pergi ke Kairo tahun 1963), dan setelah itu pimpinan madrasah dipegang kembali oleh Kiai Fattah.

Pada tahun 1969, Muallimin-Muallimat, dinegerikan dan berganti nama menjadi MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri) dan MAIN (Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri) yang sekarang menjadi MAN Tambakberas. Pada tahun 1972 Kiai Fattah menghidupkan lagi Muallimin-Muallimat yang lebih fokus pada tafaqquh fiddin, dan Gus Dur sudah tidak di Tambakberas lagi. Ketika di Tambakberas ini, Gus Dur kata Greg menghafalkan “buku klasik standar mengenai tata bahasa Arab,” yang kemungkinan adalah Alfiyah. Tetapi dalam Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (I: 182), disebut Gus Dur sudah menghafal Alfiyah ketika di Tegalrejo. Maka, di Tambakberas Gus Dur mendaras kembali. 

Bersamaan dengan menghafal itu, Gus Dur rajin ziarah ke makam-makam di Jombang dengan berjalan kaki. Gus Dur disebut Greg begini: “Ia berhasil dan berangkat melakukan ziarah pribadinya sambil menuju arah selatan, jaraknya lebih dari 100 KM, dan memerluklan beberapa hari.” Hanya saja ketika dia pulang dikenali oleh beberapa orang dari Jombang, dan dengan gembira ia menerima tawaran untuk menumpang kembali ke Jombang.

Di antara guru yang ditimba ilmunya oleh Gus Dur, seperti disebut dalam tulisan Misteri Kata-Kata yang ditulis Gus Dur dan dikutip Ensklopedi Abdurahman Wahid (I: 182), adalah Kiai Fattah sendiri, Kiai Masduqi, Mbah Bishri Denanyar, Kiai Muhammad Baihaqi Sambong, dan Kiai Idris Kamali Tebuireng. Tentu saja Gus Dur juga belajar sepak terjang Mbah Wahab di Tambakberas. Selain itu, Gus Dur juga membaca karya-karya pentolan Ikhwanul Muslimin, yang diperkenalkan oleh pamannya, adik laki-laki ibunya, yaitu KH. Aziz Bishri. Sang paman “mendorong Gus Dur untuk mendirikan cabang IM (Ikhwanul Muslimin). Ia mempertimbangkan usulan itu, tetapi usahanya untuk terjun langsung ke dalam pemikiran fundamentalis segera terputus oleh kepindahannya di Kairo pada bulan November 1963.” (2003: 55). 

Ketika di Jombang ini, umur Gus Dur baru dua puluhan tahun. Dan, ketika ia mengajar di Tambakberas, Gus Dur mulai tertarik dengan seorang siswi bernama Nuriyah, dan kelak menjadi istrinya yang sangat setia mendampingi dalam senang dan duka; dan melakukan korespondensi setelah di luar negeri. Selain itu, ada beberapa cerita yang didokumentasikan oleh buku Tambakberas, Menelisik Sejarah Memetik Uswah (2017), yang ditulis oleh Tim Sejarah Tambakberas. Beberapa cerita Gus Dur ini adalah soal Kiai Chudlori dan Gus Sholeh Hamid. Sementara dari cerita lain, ada cerita perdebatan KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bishri Sayansuri yang disaksikan Gus Dur. 

Kiai Chudlori

Penceritaan tentang Gus Dur hubungannya dengan Kiai Chudlori, pada umumnya, mengacu pada sosok dan guru besar santri dari Magelang, yang merupakan pengasuh Pesantren di Tegalrejo, dan murid dari Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari, leluhur/ayah Gus Yusuf Chudori. Kiai Chudhori Magelang, mengajarkan pendekatan budaya dalam praktik atau aktivisme seorang kiai, dan menunjukkan rekonsiliasi seni-budaya berdampingan dengan tradisi pesantren. Kiai Chudlori ini adalah guru Gus Dur ketika ia masih belajar di Magelang, dan Gus Dur menyaksikan pendekatan rekonsiliatif antara Islam dan budaya yang dilakukan Kiai Chudlori.

Akan tetapi, ada dua Kiai Chudlori yang berhubungan dengan Gus Dur; dan yang terakhir adalah Kiai Chudlori Tambakberas. Namanya adalah Kiai Chudlori Irfan. Beliau adalah salah satu pendidik di Bahrum Ulum, Tambakberas. Dalam tulisan “KH. Chudlori, Kiai Legendaris” (hlm. 440-441) di buku Tambakberas itu disebutkan bahwa Kiai Chudlori Irfan mengabdikan ilmunya di Bahrul Ulum sejak tahun 1940-an, dan mengajar di MI Mubdil Fan, kemudian Madrasah Muallimin, bersama Kiai Jalil dan Kiai Khusni. Beliau mengajar manthiq, balaghoh, fiqh, ushul fiqh, faroid, dan pelajaran yang lain.

Bagi Kiai Chudlori, mengajar adalah bagian untuk menyempurnakan hidupnya di hadapan Gusti Alloh, dengan ngalap barokah ikut menyebarkan ilmu dan mendidik murid. Dia mendidik dan mengajar, dilakoninya dengan sepeda onthel selama puluhan tahun dari Ngrawan ke Tambakberas, berjarak kurang lebih 5 KM. Beliau adalah lurah pondok (dalam tulisan yang lain beliau disebut ketua keamanan pondok bersama Kiai Sholeh Hamid) yang dipercaya Mbah Hamid Hasbulloh, adik KH. Abdul Wahab Hasbulloh. Sementara KH. Fattah Hasyim mengurus soal pendidikan madrasah. Kiai Chudlori, disebut buku Tambakberas termasuk kiai yang diberi ijazah memindahkan hujan oleh Mbah Hamid Hasbulloh. Sampai-sampai karena dekatnya dengan sang guru, Kiai Chudlori pun dimakamkan di dekat makam Mbah Hamid Hasbulloh.

Ketika Gus Dur di Tambakberas, Kiai Chudlori ini adalah satu gurunya yang ikut mengasuh pondok Bahrul Ulum, dan ada cerita humor berhubungan dengan kiai ini. Cerita tentang Kiai Chudolri dan polisi dalam “Kiai Chudlori, Kiai Legendaris” (hlm. 440), adalah berkaitan dengan Kiai Chudlori Tambakberas, bukan dengan Kiai Chudlori Magelang. Kisahnya berkaitan dengan Gus Dur, suatu ketika ada santri yang bandel dan melanggar peraturan pondok, dan beberapa kali disidang tetapi tidak mengakui perbuatannya. Karena berbelit-belit, Kiai Sholeh Hamid yang ikut proses nyidang diceritakan sampai melayangkan “bogem mentah Kiai Sholeh akhirnya melayang tepat sasaran”; dalam tulisan lain disebut “akhirnya dikaplok”. Orang tuanya tidak terima atas hal itu dan kemudian sang kiai diadukan ke polisi.

Kiai Chudlori mengajukan diri ke polisi untuk menghindarkan Kiai Sholeh Hamid, dan mengakui kalau dia yang melakukan, dan rela masuk sel penjara. Selang beberapa hari, Kiai Fattah Hasyim, datang ke kantor polisi dan Kiai Chudlori dibebaskan dari tahanan. Meski hanya kurang lebih 15 hari Kiai Chudhori ada di kantor polisi, tetapi pengalaman ditahan di kantor polisi ini membuat Kiai Chudlori trauma.

Dalam tulisan lain “Trauma dengan Polisi” (hlm 438-439), diceritakan “Gus Dur yang cerdik dan agak usil, suatu saat memanfaatkan rasa trauma Kiai Chudlori kepada polisi tersebut. Suatu ketika pada saat senggangnya, para santri Bahrul Ulum, termasuk Kiai Chudhori bareng-bareng masak nasi. Saat masakan sudah siap, nasi dan lauk sambel sudah diletakkan di bancikan pondok sebagai nampannya. Dan para santri sudah berkerumun, Kiai Chudori sudah siap-siap melahap. Tiba-tiba dari kamar pondok Gus Dur berteriak dengan keras: “Polisi polisi polisi…”

Mendengar teriakan itu sontak Kiai Chudhori lari tunggang langgang untuk sembunyi. Refleks traumatiknya dari itu masih ada. Akhirnya makanan hasil masakannya disantap Gus Dur dan teman-temannya. Tentu Kiai Chudhori setelah sadar diperdaya oleh Gus Dur tersenyum kecut karena tidak hadir menyantap hasil masakannya.

Gus Sholeh Hamid

Dalam buku Tambakberas, ada tulisan berjudul “Usilnya Gus Dur” ditulis oleh KH. Abdul Nashir Fattah (2017: 160-161). Dalam buku itu diceritakan bahwa “Ketika itu sekitar tahun 60-an, beliau mondok di Tambakberas, Di samping sebagai santri, Gus Dur juga termasuk keluarga dekat. Karenanya, beliau akrab dengan Gawagis (Para Gus Tambakberas), baik yang umurnya di atasnya atau sepantaran. Ada Gus Sholeh, Gus Malik, Gus Aman, Gus Ghozi, dan lain-lain.”

Adalah Gus Sholeh, atau KH. Moh Sholeh Abdul Hamid, yang di kemudian hari menjadi salah satu Pengasuh di Bahrul Ulum, menjadi korban keusilan Gus Dur. Kisahnya, semenjak masih muda, Gus Sholeh terbiasa menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an. Di waktu malam menghafalkan, kemudian pagi harinya dilalar (diulang-ulang). Keadaan melalar ini beliau lakukan dengan memutar masjid Tambakberas. Dimulai dari menara, yang waktu itu masih terpisah dari masjid, kemudian sampai pada menara lagi. Demikian berulang-ulang.

Waktu itu surat yang beliau hafalkan dan lalar adalah surat at-Takwîr. Sebagaimana biasanya, beliau melalarnya dengan memutari masjid dan menara. Kebiasaan ini sudah lama diketahui Gus Dur. Suatu saat, tanpa sepengetahuan Gus Sholeh, Gus Dur masuk dalam menara. Gus Dur tahu, setiap sampai pada menara, selalu ayat yang dilantunkan Gus Sholah adalah fa aina tadzhabun (ke mana engkau pergi). Sambil mencermati ayat yang dilantunkan, pada putaran berikutnya, ketika sudah sampai pada menara, maka Gus Sholeh melantunkan ayat itu, fa aina tadzhabun. Lalu, tanpa sepengetahuan Gus Sholeh, ada suara: “Ila WC Gus (ke WC Gus)”, jawab Gus Dur spontan.

Tentang Gus Sholeh Hamid juga diceritakan, dalam tulisan “Humor KH. Amanulloh dan Gus Dur”, yang ditulis Gus Wafi, yang memperoleh cerita dari Gus Salman bersumber dari KH. Amanulloh. Suatu hari KH. Amanulloh dan Gus Dur menggoda Gus Sholeh muda. Gus Sholeh dalam cerita Gus Dur, sangat telaten menghormati tamu-tamu yang akan sowan ke KH. Abdul Wahab Hasbulloh. Lebih-lebih lagi kalau tamu itu berpakaian jas, yang biasanya seorang pejabat. Kiai Sholeh akan menyambut tamu itu yang kemudian diantar sowan ke Ndalem Mbah Wahab Hasbulloh.

Karena mengetahui kebiasaan itu, Gus Sholeh dan KH. Amanulloh bersekongkol untuk menggoda saudara tuanya itu. Mereka berdua menyampaikan kepada saudara tuanya itu, bahwa ada tamu menggunakan jas ke pondok. Seketika Gus Sholeh mencari tamu yang menggunakan jas untuk diantar sowan kepada Mbah Wahab. Setelah dicari-dicari ternyata tamu itu tidak ada, lalu Gus Dur dan Kiai Aman ditanya Gus Sholeh: “Mana tamunya?” Mereka berdua menjawab: “Itu tamunya,” sambil tertawa menunjuk kepada seorang santri murid pencak Kiai Wahab.Karena merasa digoda oleh saudara-saudaranya itu, Gus Sholeh hanya tersenyum kecut, dan Gus Dur beserta Kiai Aman langsung tertawa lepas, sudah berhasil mengerjai saudara tuanya itu.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bishri Syansuri

Ini cerita yang sudah sering beredar, yaitu cerita perdebatan KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bishri Syansuri, yang disaksikan oleh Gus Dur bersama Kiai Fattah Hasyim yang membicarakan soal hukum drum band. Perbincangan dua kakek Gus Dur itu yang awalnya mengalir, kemudian mengerucut pada soal drum band yang saat itu berkembang di kalangan santri putri.

Yang memiliki sanad cerita ini, di antaranya adalah Gus Yahya Staquf yang menyebutkan cerita ini dalam teronggosong.com (3 Februari 2013). Gus Yahya memperoleh cerita dari Mahrus Husain, sepupunya, yang memperoleh cerita dari kakak iparnya bernama Kiai Abdul Nashir Fattah, dari ayahnya bernama Kiai Abdul Fattah Hasyim bin Idris. Ceritanya pada suatu bahsul masail tentang hukumnya drum band Kiai Wahab dan Kiai Bishri berdebat sengit sampai Kiai Bishri menggebrak meja. Tak mau kalah, Kiai Wahab juga menggebrak meja, bahkan dengan kaki. Orang-orang sangat ketakutan dan khawatir NU akan pecah gara-gara drum bund. Tidak dikira ternyata dalam waktu jeda, keduanya saling melayani satu sama lain dalam jamuan makan, seperti tidak terjadi apa-apa.

Dalam cerita perdebatan itu, Gus Dur menyaksikan diajak oleh KH. Abdul Fattah Hasyim, dalam versi penuturan novel Peci Miring (ditulis Aguk Irawan), dengan bahasa begini:

“Itu lagi… Itu lagi,” ucap KH. Abdul Wahab Hasbullah.
“Karena kita tidak sependapat dengan Drum Band itu Mas,” ucap Kiai Bishri.
“Soalnya awakmu selalu menggunakan fiqhmu,” ucap Kiai Wahab. “Kau tidak pernah mendengarkan ushul fiqhku.”
“Apa ndak salah” bantah Kiai Bishri. “Mas Wahab yang tidak pernah mau menengok fiqh, selalu saja berpijak pada teori ushul.”
“Karena ushul itu adalah persoalan yang penting. Tanpa ushul kamu buta mengenai fiqh.”
Tetapi umat lebih membutuhkan fiqh, lebih penting soal fiqh daripada ushul.”
“Sudah-sudah, kalau begini tidak akan selesai-selesai,” Kiai Fattah menenangkan mereka berdua. Dan kemudian Kiai Fattah mengajak Gus Dur meninggalkan pertemuan itu.

Dalam perdebatan itu, Kiai Bishri mengajarkan sangat berhati-hati soal aurat perempuan dalam drum band. Sementara KH. Wahab mengajarkan betapa pentingnya memandang aspek mashlahatnya. Di antara alasannya, santri-santri putri yang ingin membuat drum band itu tidak melepaskan kerudung, dan tidak berlenggak lenggok. Dalam NU Online (20 April 2006) kemudian dikutip bahwa Kiai Wahab kemudian menemui Kiai Bishri: “Nggak apa-apa wong masih pakek kerudung kok, gak seperti Gerwani. Pokoknya auratnya gak kelihatan.” Kiai Bishri terdiam dan tidak malarang.

Pada periode Tambakberas ini, Gus Dur mulai menempa diri dalam soal kepemimpinan, karena dalam umur yang belia sudah dipercaya menjadi kepala madrasah, juga membaca buku-buku Ikhwanul Muslimin, berziarah, dan melakukan riyadhoh khas pesantren, menghafal teks-teks klasik, dan mengaji kitab-kitab, termasuk menghafal bait-bait Nahwu dalam tata bahasa Arab. Setelah itu Gus Dur pergi ke Kairo untuk melanjutkan studi, dan Greg Barton mencatat terajadi pada bulan November 1963; tetapi oleh catatan di buku Tambakberas disebutkan Gus Dur menjadi kepala sekolah sampai tahun 1966.

Wallohu a’lam.

(Tulisan ini disiapkan untuk menyambut Pertemuan Nasional GUSDURian di Yogyakarta, Agustus 2018)

Intelektual Muda Nahdlatul Ulama' (NU) dan Penulis buku Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni, Sejarah Lengkap Wahhabi, dan lain-lain.