Gus Dur pernah meminta saya ikut menjadi peserta seminar dan pelatihan yang diselenggarakan oleh salah seorang sahabat karib beliau, Ajarn Sulak Sivaraksa, di Bangkok, Thailand. Ajarn (Guru) Sulak, seorang tokoh cendekiawan dan aktivis Buddhis yang sangat terkenal di negeri Siam karena perjuangannya menentang kekuasaan militer dan pembela HAM, memiliki kemiripan dengan Gus Dur dalam banyak hal.
Beliau jelas seorang terpelajar (lulusan Universitas Oxford, Inggris) dan merintis gerakan demokratisasi di Thailand setelah kembali dari studi pada awal 1970-an. Mirip Gus Dur juga, Ajarn Sulak terlibat sebagai pegiat LSM-LSM yang bergerak dalam masalah advokasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, kebebasan politik dan perlindungan HAM, baik di Thailand maupun di luar negeri. Ajarn Sulak juga mendapat berbagai ganjalan dari rezim militer Thailand, dan bahkan pernah diancam terkena vonis hukuman mati karena melakukan pidana yang disebut “Leste Majeste,” atau penghinaan kepada Raja Bhumibol Adulyadej.
Selain orang yang aktif dan hobi kerja keras, Ajarn Sulak juga humoris sehingga makin erat saja pergaulannya dengan Gus Dur kita. Salah satu “trade mark” beliau adalah baju tradisional petani Siam yang selalu dipakainya, apakah di acara resmi atau tak resmi, lengkap dengan sandal kulit (beliau pantang memakai sepatu!) untuk jalan ke mana saja di seluruh dunia!
Saya kenal Ajarn Sulak Sivaraksa ketika saya baru saja selesai ujian disertasi di Honolulu tahun 1995. Kebetulan waktu itu beliau sedang mengunjungi salah satu muridnya yang menjadi mahasiswa di Universitas Hawaii (sama juga, Gus Dur pernah tilik saya sebelum saya selesai). Kendati baru ketemu secara fisik saat itu, saya langsung cocok dengan beliau, mungkin karena cerita-cerita yang saya dengar dari Gus Dur sebelumnya tentang sang sahabat karib itu. Nah di situlah saya kemudian diundang untuk bisa ikut dalam seminar dan pelatihan di Ashram Wongsanit milik beliau di Bangkok.
Ketika saya kembali ke Jakarta, saya lapor ke Gus Dur soal undangan ini. Gus Dur mengatakan “Datang saja Kang, lumayan untuk cari pengalaman di komunitas Buddhis. Nanti sampean akan dapat pengetahuan dan pengalaman baru di sana.”
Saya mencoba bertanya, kira-kira nanti bagaimana kalau tinggal di Ashram yang tentu berbeda dengan tempat lain.
Almaghfurlah cuma menjawab sekenanya saja: “Ya itu sampean lihat saja nanti. Pokoknya ikut saja.” Maka berangkatlah saya, dengan membawa laporan kajian lapangan yang diminta oleh Ajarn Sulak sebagai bahan untuk presentasi dan pelatihan nanti di Ashram.
Benarlah seperti kata Gus Dur, saya mendapat pengalaman yang belum pernah saya dapat, meskipun dalam mimpi. Bayangkan, saya tinggal selama 7 hari di Ashram Budhis yang sepi dan sangat sederhana dalam akomodasi dan konsumsi. Seumur-umur saya belum pernah mandi dengan air hujan yang ditampung dalam genthong-genthong di kamar mandi, dan makan hanya nasi dan sayur (vegetarian), atau sesekali diberikan ikan asin kering (para peserta yang beragama Buddha bahkan tidak menyentuh ini juga). Minum masih mending karena ada air mineral, dan kalau tidur tanpa alas kasur dan mesti berjuang melawan nyamuk (Ashram itu lokasinya di persawahan yang jauh dari pinggiran kota).
Acara mulai dari pagi, sekitar jam 7.00 sampai 17.00, diawali mengheningkan cipta bagi yang non-Buddhis dan bagi para Buddhis semadi dan beribadah. Jam 8.30 mulai seminar dengan berbagai topik, mulai dari soal pertanian alternatif (organic-based agriculture), perlindungan lingkungan, HAM, pemberdayaan masyarakat adat, gerakan anti-kekerasan yang dilandasi oleh ajaran agama (termasuk Buddha), dan tukar menukar pengalaman dari para peserta. Peserta memang multi-nasional, mulai dari Irlandia sampai Indonesia di samping multi-agama (bahkan ada yang non-agama juga).
Acara malam dimulai jam 20.00 sampai jam 22.00, biasanya berupa diskusi. Ajarn Sulak sangat strict dengan aturan terutama waktu dan, hebatnya, beliau tidak sekali pun absen dari setiap kegiatan, walaupun beliau sangat sibuk dengan segala macam kegiatan dalam dan luar negeri. Paling-paling beliau bicara sebentar lewat telepon jika memang sudah tidak bisa ditangani oleh sekretarisnya, dan itu pun sangat singkat.
Sebagai orang yang baru lulus PhD dan baru pulang dari Amrik, tentu saya harus melakukan kesiapan mental dan fisik mengikuti acara seminggu di Ashram itu. Dan tentu yang paling repot bagi saya adalah menyesuaikan diri dengan soal makan dan minum. Makanya begitu selesai acara dan diantar ke Airport Donmuang Bangkok, hal yang pertama saya lakukan adalah mencari Coca Cola! Padahal selama seminggu itu, salah satu topik yang terus diulang adalah bagaimana memerangi bahaya konsumerisme yang disebarkan secara global oleh kapitalisme. Salah satunya, apalagi kalau bukan produk fast food semacam Coca Cola itu!
Sesampai di Jakarta, saya pun “lapor” kepada Gus Dur mengenai pengalaman seminggu di Ahram Ajarn Sulak Sivaraksa.
“Gimana, Kang, bedanya dengan pesantren sampeyan di Plumpang.” Kata Gus Dur sambil senyum-senyum.
“Wah beda Gus, lebih berat hidup di Ashram. Di pesantren walaupun tidak sering, kan masih ada makan ikan dan daging, apalagi kalau sedang ada slametan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dll.” Kata saya sambil tertawa.
Gus Dur pun terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan bahwa saya langsung minum Coke ketika sampai di Bandara Donmuang.
“Dasar, sampean gak mau nurut sama ajaran antikapitalisme Ajarn Sulak. Memang beliau itu kadang-kadang kelewatan dalam soal antikapitalisnya, saya juga suka kerepotan. Kan saya masih sering pakai dasi dan setelan jas, yang bagi beliau itu masuk dalam konsumerisme juga. Tapi beliau orang yang konsisten dan mau berkorban sebagai aktivis dan pemikir. Beliau memiliki kekayaan yang cukup besar karena kemampuan bisnisnya, tetapi tetap sederhana dan mau membiayai kegiatan-kegiatan dengan uang sendiri.” Kata Gus Dur.
“Ya Gus, tapi nanti saya jangan lagi disuruh mewakili njenengan di Ashram ya Gus. Cari yang lain saja, soalnya saya gak bisa mandi dengan air hujan begitu. Gatal semua badan saya.” Keluh saya.
“Hahaha. Rasain, kan biar tahu bagaimana konsep hidup sederhana dipraktikkan oleh berbagai pihak. Yang penting sampean “lulus” karena tidak semua orang yang baru dan sudah terlalu lama hidup di Barat, tahan tinggal di Ashram yang asli seperti milik Ajarn Sulak. Ashram lain di kota-kota mungkin tidak se-strict itu kalau untuk yang non-Buddhis.” Gus Dur menjelaskan.
“Lho, kalau gitu, saya ini istilahnya njenengan tes to Gus?” Tanya saya setengah bergurau.
“Lha gimana, kalau mau runtang-runtung sama saya pastilah harus dites dulu, tahan menderita gak. Kan nanti sama saya nggak enak juga, wong harus ke sana-kemari dan kadang-kadang dihujat orang.” Gus Dur menjelaskan dengan mimik serius.
“Waduh, Gus, saya terus terang sudah pengen pulang waktu hari ke tiga dan presentasi saya sudah selesai. Tapi saking jauhnya tempat dan gak tahu bagaimana mencapai Bangkok, saya ya diam saja ikut sampai selesai. Padahal, saya bener-bener gak kerasan Gus.” Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Tentu saja saat Gus Dur dan saya ketemu Ajarn Sulak dalam kesempatan lain, soal pengalaman di Ashram yang kurang enak tidak pernah diceritakan. Hubungan saya dengan beliau sangat erat dan beberapa kali masih ketemu. Sayang sekali, ketika Ajarn beberapa kali berkunjung ke Indonesia saya sudah sibuk dengan kerja politik paska Gus Dur lengser. Saya sangat ingin “napak tilas” dan menimba ilmu serta kebijaksanaan dari Ajarn Sulak yang, seperti juga Gus Dur, seolah tak bertepi. Tentu dengan syarat tidak harus tinggal seminggu di Ashram lagi.
(Sumber: Buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita, Penulis Muhammad AS Hikam, Penerbit Yrama Widya, 2013)