Entah, ini kali yang ke berapa. Tampaknya lebih dari 19 tahun, beliau memilih untuk sahur keliling ketimbang sahur di rumah bersama keluarga. Sejak suaminya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden keempat (1999-2001), Ibu Negara Nyai Hj. Sinta Nuriyah memilih untuk sahur bersama fuqara dan masakin (kaum miskin) serta mustadl’afin dan madhlumin (kaum tertindas) di sejumlah daerah.
Dengan kursi roda yang tak bisa dipisahkan dari tubuhnya, beliau tidak saja meninggalkan tempat dan makanan lezat di rumah, melainkan juga rela makan sahur dan buka puasa di tempat dan dengan sajian makanan yang sederhana yang dimiliki rakyat. Tidak jarang beliau hanya makan dengan makanan nasi kotak sebagaimana rakyat makan.
Beliau memilih keliling sahur dan buka puasa bersama komunitas miskin dan tertindas di pelosok, selain ingin selalu dekat bersama mereka, juga sambil observasi langsung keadaan mereka dan menanyakan masalah-masalah yang mereka hadapi. Beliau tidak bagi-bagi voucher, bingkisan, atau THR ke rakyat layaknya politisi, tapi justru beliau menyerap aspirasi dan inspirasi dari mereka yang miskin, terpinggirkan dan tertindas. Tentu tidak sekaligus dijawab dan diberikan solusi, melainkan masalah-masalah rakyat itu beliau bantu analisis dan akhirnya diberikan penyadaran pentingnya berjuang dari, oleh, dan untuk rakyat sendiri.
Bukan sekadar itu, Ibu Nyai Sinta juga dalam setiap ceramahnya selalu menekankan pentingnya hidup damai, rukun, dan bahagia. Kebinekaan adalah suatu keniscayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Kebinekaan bukan masalah, tapi justru kekuatan nyata yang terbukti menjadi pilar bagi kokohnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Toleransi (tasamuh) adalah keharusan yang dilakukan oleh setiap kita yang hidup dalam kebinekaan.
Ibu Nyai Sinta juga selalu meyakinkan dan memastikan bahwa kelompok-kelompok minoritas yang berbeda memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas dan kesamaan hak-hak ini dilindungi oleh agama, HAM, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap upaya perusakan, pelarangan, penghalangan, dan gangguan terhadap hak-hak kelompok minoritas adalah pelanggaran terhadap HAM, Pancasila, UUD 1945, dan bertentangan dengan ajaran agama. Beliau selalu menyatakan dengan lantang bahwa dirinya akan berada di garis terdepan untuk membela hak-hak mereka yang terlanggar, tertindas, tergusur, dan terpinggirkan.
Buka puasa ketujuh kemarin, 12 Mei 2019, Bu Nyai Sinta memilih Vihara Dewi Welas Asih Kota Cirebon sebagai persinggahan. Buka puasa dan sahur keliling di Cirebon ini adalah yang kesekian kalinya. Yang saya ingat, beliau pernah buka puasa dan sahur bersama di Pesantren Arjawinangun, komunitas Tionghoa, Konghucu, Klenteng, Ahmadiyah Manis Lor, Sunda Wiwitan Cigugur, komunitas pemulung dan anak jalanan, dan lain-lan.
Buka puasa kemarin dihadiri oleh semua agama; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Ortodoks, dan aliran-aliran keagamaan, seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan lain-lain. Sebagian besar hadirin adalah tukang becak, bakul warung, pemulung, anak jalanan, dan tukang bangunan. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi sasaran Bu Nyai Sinta untuk bisa berbuka dan bersahur bersamanya.
Inilah cara Ibu Negara kita melakukan penyadaran publik, advokasi sosial, sekaligus juga penguatan hak-hak rakyat berhadapan dengan kelompok-kelompok garis keras, radikal, dan ekstrimis. Sahur dan buka puasa keliling adalah media yang digunakan. Menyapa, bertanya, berdialog, dan menyatu dengan kehidupan rakyat adalah strategi yang dipilih. Pilihan tempat sahur dan buka puasa penuh dengan makna pemihakan dan misi yang jelas.
Bagi saya, upaya yang dilakukan Ibu Negara keempat ini bukan saja terobosan langka yang kreatif dan inovatif, tetapi juga membutuhkan energi yang luar biasa untuk bisa keliling ke pelosok negeri dengan kursi roda yang menempel di tubuhnya. Tampaknya belum ada kelompok mana pun yang melakukan upaya-upaya seperti ini secara konsisten. Sebut saja politisi, anggota DPR, dan pemerintah, pihak yang seharusnya turun langsung ke bawah, lebih suka tampil koar-koar di layar TV dan media sosial. Alih-alih menyerap aspirasi rakyat, malah kadang memprovokasi melalui hoaks dan ujaran kebencian.
Kita hanya bisa berdoa, semoga Ibu Nyai Sinta Nuriyah Gus Dur tetap sehat, panjang umur, dan istiqomah menyapa kaum mustadl’afin, madhlumin, marjinal, dan para korban ketidakadilan. Sehingga mereka memiliki pendamping, pengayom, dan tempat untuk mengadu. Walhasil, Bu Nyai Sinta adalah Ibu Negara sekaligus Ibu Rakyat. Amin….