Sejak saya diterima menjadi mahasantri Ma’had ‘Aly Sukorejo tahun 2019, saat itu pula pertama kalinya saya mendengar istilah ‘kesetaraan gender’. Alhamdulillah, lambat laun saya mulai paham istilah tersebut ketika menyelesaikan beberapa buku bacaan terkait, salah satunya c karya Faqihuddin Abdul Qadir yang menggunakan diksi “konsep kesalingan” antara laki-laki dan perempuan.
Saya juga menghadiri seminar-seminar dengan tema terkait, yakni salah satunya yang diisi langsung oleh Komisioner Komnas Perempuan sekaligus dosen di Ma’had ‘Aly, Ustadz Nakhe’I. Selain itu saya juga aktif mengikuti pengajian-pengajian kitab klasik di pesantren yang tidak jarang pula menyinggung hal tersebut.
Beberapa literatur yang saya baca menuliskan tentang kesalahan yang dilakukan banyak orang dalam menginterpretasi dan memahami makna yang dimaksud oleh suatu teks. Biasanya kaum lelaki cenderung mamahami dengan sudut pandang sebagai kaum laki-laki, yang tak jarang membentuk argumen untuk merendahkan perempuan. Menganggap perempuan berada pada kelas dua hingga berakhir pada kesimpulan bahwa semuanya harus dipegang dan dipimpin oleh laki-laki.
Teks yang saya maksud bukan hanya mengarah pada Alquran atau hadis, yang mana sudah lumrah terjadi, melainkan juga dalam teks-teks fuqaha’ yang kebenarannya masih bersifat nisbi/dhanni seperti kitab kuning/gundul yang tidak jarang kita temukan bentuk sedemikian. Pernah saya berada pada posisi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan―bukannya sok feminis ya―ketika berdiskusi bersama teman-teman mahasantri di Sukorejo; bahwa perempuan boleh bahkan lebih berhak untuk menjadi qadhi (hakim) dalam hal kelembagaan ketika memiliki kapasitas lebih. Pemahaman bermula dari ibarat teks dalam kitab Zainuddin al-Malibari Fathul Mu’in pada halaman 610:
وشرط قاض كونه أهلا للشهادات كلها بأن يكون مسلما مكلفا حرا ذكرا عدلا سميعا ولو بالصياح
“Di antara syarat seorang qadhi adalah ahli as-syahadah/melakukan persaksian. Dengan gambaran dia seorang muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, adil lagi mendengar.”
Ketika saya cari teks serupa, ternyata ketentuan yang ada memang tidak mutlak sebagimana yang ada. Bahkan, ulama lintas madzhab masih berpeda pandangan dalam kebolehan perempuan untuk menjadi qadhi. Sehingga saya mengambil kesimpulan, baik laki-laki atau perempuan maka yang lebih menjamin kemaslahatan dialah yang berhak untuk memimpin. Memang banyak ketentuan yang harus dimiliki seorang pemimpin supaya dia dapat berhasil dalam setiap tindakannya. Bahkan kewibawaan (marwah) juga harus dimiliki seseorang yang hendak menjadi pemimpin. Husnudhan saya, mungkin pada masa beliau―Al Maliabari―seorang perempuan masih belum secara penuh mendapat haknya, justru malah mendapat tekanan dan intimidasi, nyaris di setiap aspek kehidupan. Kewibawaan pada jiwa perempuan pun hilang yang berefek pada bentuk kualifikasi dan penghormatan minor dari masyarakat.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kiai yang telah memberikan banyak inspirasi banyak orang dengan pemikirannya yang memberi warna tersendiri dalam wacana kehidupan bangsa. Hal yang juga dilakukannya adalah membela kaum minoritas tertindas, termasuk perempuan. Gus Dur berada pada dua fokus perjuangan. Pertama, persamaan atau keadilan di muka hukum. Kedua, perlindungan terhadap kaum yang termarjinalkan. Perempuan yang mengalami ketidakadilan dan diskriminasi dalam setiap bidang masuk dalam dua poin perjuangan Gus Dur tersebut.
Perwujudan dalam membela hak-hak perempuan, Gus Dur memulai dari rumah tangganya. Gus Dur memposisikan pasangannya, Ibu Shinta (perempuan) dengan setara, seperti dalam hal mengasuh anak, dilakukannya secara bersama-sama. Berbeda dengan pengasuhan yang kita saksikan dan tidak jarang masih dipraktekkan dengan “pola mothering”. Yakni seorang ibu yang mengasuh anak dan bertanggung jawab atas setiap pekerjaan rumah tangga dalam wilayah domestik (stay at home). Sebaliknya, laki-laki menjadi pekerja publik. Padahal pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ibu dalam mengurus rumah tangga tidak kalah berat dengan apa yang dilakukan oleh seorang suami.
Ketika Gus Dur sudah selesai mewujudkan kesetaraan dalam lingkup keluarga, lalu melanjutkan misinya membangun kesetaraan antara lak-laki dan perempuan secara luas. Banyak keputusan yang menghasilkan poin-poin penting beliau lakukan untuk perempuan.
Ketika menjadi presiden, Gus Dur pernah menolak Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa perempuan dilarang untuk keluar rumah tanpa mahram yang menemani setelah pukul sembilan malam. Bahkan, ketika menjadi Ketua PBNU, di bawah kepemimpinannya NU berhasil menelurkan banyak hal penting, di antaranya adalah peran seorang perempuan di publik. Munas Alim Ulama yang dilakukan di Lombok pada tahun 1997 merumusan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin. Keputusan ini terekam dalam dokumen “makanah al-mar’ah fi al-islam.”
Tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan lebih banyak yang layak untuk menjadi pemimpin. Perbedaan perempuan dan laki-laki hanya bersifat biologis saja. Tidak ada yang lebih utama dari bentuk keduanya. Kesalahan besar ketika kita para kaum lelaki menggangap kita lebih utama. Ibnu Hazm berkata, “Jika kau mengangap lebih baik dari Maryam, Asiyah, dan Fatimah karena kamu laki-laki dan mereka perempuan, maka pantas kamu dikatakan orang bodoh atau bahkan kafir.” Banyak perempuan mulia sebagai representasi perempuan yang berhasil dalam kepemimpinannya di dunia Islam.
Terakhir, saya tutup tulisan saya ini dengan sebuah cerita ketika Gus Dur diminta membacakan surat al-Fatihah untuk bangsa Pakistan, ketika negeri tersebut dipimin oleh seorang perempuan, Benazir Bhutto. Seorang ulama Pakistan datang dan berkata, “Doakan keselamatan atas bangsa kami, karena bukankah Rasulullah Saw telah bersabda, ‘tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinanya pada seorang wanita?’ bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi seorang perdana menteri nasib bangsa Pakistan akan sama dengan apa yang disabdakan Nabi?”
Gus Dur merespon dengan mengatakan bahwa dalam hal ini harus dilakukan penafsiran baru terhadap hadis tersebut, yakni dengan melihat latar historisnya. Yakni kepemimpinan yang disebut Nabi Saw tersebut adalah kepemimpinan pada abad VII sampai IX di Jazirah Arab. Di mana kepemimpinan pada saat itu memang bersifat perorangan (individual leadership), hal tersebut yang nyatanya berbeda dengan bentuk kelembagaan sekarang.
Menurut Gus Dur, Benazir Bhutto tidak mungkin memutuskan setiap tindakannya sendirian, tetapi dengan sidang kabinet dan para menteri yang mayoritas laki-laki. Namun, karena pandangan yang tertanam sajak lama dan sudah menjadi dogma di kalangan ulama Pakistan sehingga sulit diubah, maka dia tetap minta agar dibacakan surah al-Fatihah untuk keselamatan bangsanya. Laha al-Fatihah!
_____________
Tulisan ini adalah hasil kerja sama neswa.id dan Jaringan GUSDURian untuk memperingati #BulanGusDur