Jaringan Masyarakat Sipil Kecam Indikasi Pemaksaan Pemakaian Jilbab di Sekolah Negeri Yogyakarta

Yogyakarta, Senin, 1 Agustus 2022

Yogyakarta – Jaringan masyarakat sipil yang fokus pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan mengecam dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banguntapan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang membuat siswa depresi.

Peristiwa itu bermula dari guru bimbingan konseling, wali kelas, dan guru agama yang memaksa siswa itu memakai jilbab di ruangan guru BK pada Selasa pagi, 26 Juli 2022. Guru BK tersebut memakaikan jilbab ke siswa saat menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah.

Setelah itu, siswa tersebut mengurung diri dan menangis di toilet selama satu jam. Kini, siswa itu depresi, lebih banyak mengurung diri di kamar, dan tidak mau ke sekolah.

Dugaan pemaksaan pemakaian jilbab untuk siswa baru terjadi di semua tingkatan sekolah. Pada 2017, Sekolah Menengah Pertama 7 dan SMPN 11 mengeluarkan surat edaran yang isinya mengharuskan siswi Muslim mengenakan jilbab dalam penerimaan siswa siswi baru. Tapi, mereka berdalih pemakaian jilbab itu hanya imbauan.

Pemaksaan pemakaian jilbab di Sekolah Dasar Negeri Karangtengah III Kabupaten Gunungkidul terjadi pada 2019. Sekolah tersebut mengeluarkan surat edaran yang berisi kewajiban siswa kelas I mengenakan seragam Muslim untuk tahun pelajaran 2019/2020.

Setelah mendapatkan protes dari masyarakat dan ditangani Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY, surat edaran SD Negeri tersebut dicabut.

Terulangnya peristiwa tersebut menggambarkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak serius menangani praktek intoleransi di sekolah.

Masyarakat sipil yang fokus terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, tersebar di berbagai komunitas, organisasi non-pemerintah, dan individu menyatakan sikap:

1. Mendesak Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta membuat aturan tegas tentang larangan pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri.

2. Mendesak Dinas Pendidikan menerapkan sanksi yang berat bagi sekolah negeri yang terbukti memaksa siswanya memakai jilbab.

3. Mendesak Pemerintah DIY untuk menyediakan layanan pendampingan psikologi hingga pulih untuk siswa karena mengalami depresi.

4. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk turun tangan mengatasi pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri Yogyakarta.

5. Mengecam pemaksaan berjilbab di sekolah-sekolah negeri karena bertentangan dengan kedaulatan perempuan atas pikiran, tubuh, ruang gerak, ekspresi, dan keyakinan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E dan pasal 29, Piagam Deklarasi HAM, Deklarasi HAM 1948, ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Against Women).

6. Menghentikan kontrol tubuh para siswa (khususnya perempuan) dengan dalih apa pun, termasuk dalih  memperkuat moralitas, serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan para siswa di sekolah-sekolah negeri.

7. Dinas Pendidikan menghentikan surat edaran berisi kewajiban siswa mengenakan jilbab pada tahun ajaran baru. Surat edaran itu kerap sekolah jadikan alasan sebagai imbauan bukan pemaksaan.

8. Mendorong sekolah ramah anak dan menghargai prinsip keberagaman dan inklusivitas.

9. Mendesak Balai Pendidikan Menengah untuk melakukan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap pegawai/guru sekolah yang melakukan pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri.



Lembaga dan individu yang terlibat:

Youth, Interfaith, and Peace (YIP) Center

Solidaritas Perempuan Kinasih

Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS)

Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI Yogyakarta)

Yusnita Ike Christanti

Seknas Jaringan GUSDURian

Koalisi Lintas Isu DIY

Kulon Progo Bergerak

Jaringan Inklusi Kulon Progo (Jarik Rogo)

Komunitas Dialog Damai (KDD)

Komunitas GUSDURian Yogyakarta

Perkumpulan Pengembang Pendidikan Interreligius (PaPPIrus)



Nomer yang bisa dihubungi:

Rahmat Al-Barawi (082135240900)

Sana (085228548090)