Pada waktu akan membuka sebuah lorong perniagaan utama di Kairo dan melebarkannya dengan menggusur sebuah deretan bangunan di tepinya, Raja Muda Muhammad Ali Pasha (memerintah 1805-1848) meminta fatwa hukum [1] dari para ulama Al-Azhar. [2] Jawabannya adalah perkenan mereka, apabila lebar jalanan tersebut tidak melebihi kebutuhan lalu lintas dua arah dengan alat pengangkutan yang paling umum waktu itu, yaitu unta dengan dua sekedup (keranjang yang digantungkan di kedua sisi unta), lebih-kurang 8 meter lebar jalan. [3] Anekdot kecil ini menunjukkan kepada kita dilema yang dihadapi oleh hukum Islam dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman.
Di satu pihak, Islam dapat menerima kebutuhan akan perubahan besar melalui perubahan norma-norma hukum agamanya, [4] dalam contoh di atas berbentuk pencabutan hak milik atas tanah dan bangunan oleh negara bagi kepentingan umum. Di pihak lain, penerimaan atas kebutuhan akan perubahan itu senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan yang telah ditentukan bagi pengambilan keputusan hukum. Senantiasa diusahakan, agar perubahan-perubahan norma hukum agama dapat dilakukan tanpa menggoyahkan batasan-batasan di atas, atau dengan kata lain memperoleh telur emas dengan tidak mengganggu ayamnya. Dilema ini, yang tidak hanya menjadi monopoli Islam saja, dapat ditemukan gemanya bahkan hingga dalam penyusunan batasan-batasan itu sendiri. Dalam hukum Islam dikenal kaidah hukum [5] “apa yang tidak tercapai seluruhnya tidak dihindari seluruhnya (ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh)”.
Anekdot di awal tulisan ini juga menunjukkan kedudukan kunci yang dipegang hukum Islam dalam kehidupan keagamaan. Sebagai kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seorang yang patuh memeluk agamanya, hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari sekadar hanya luas lingkup hukum yang dikenal umumnya. Hukum Islam, selain mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang yuridis, juga meliputi soal-soal liturgi dan rituil keagamaan; soal-soal etika dari cara bersopan santun hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus; soal-soal perdata urusan perorangan (perkawinan dan bagi waris) hingga urusan perniagaan dan moneter; soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga pada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana; soal-soal ketatanegaraan dari penunjukan kepala pemerintahan hingga kepada pengaturan hubungan internasional antara bangsa-bangsa muslim dan bangsa lain; dan seribu satu masalah lain yang meliputi keseluruhan aspek-aspek kehidupan. Karenanya, apa yang secara sederhana dinyatakan dengan istilah “hukum Islam”, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata kehidupan dalam Islam. Atau seperti dikatakan oleh MacDonald, hukum Islam adalah “the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan)”. [6]
Karena kedudukannya yang sedemikian memusat, hukum Islam tidak hanya turut menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud. Faktor-faktor lain, seperti gerakan tasawuf dan sebagainya, merupakan penentu pada tingkat lebih lanjut, yang baru mempunyai arti jika telah diberi legitimasi oleh hukum Islam. Betapa banyaknya aspek-aspek kehidupan yang disaring, ditolak, dan kemudian dihancurkan oleh hukum Islam dalam sejarahnya yang panjang, membuktikan dengan jelas betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya sebagai pemberi legitimasi itu.
Tetapi ternyata kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata sebagian besar kini merupakan proyeksi teoretis belaka, sebagai semacam proses fosilisasi yang hampir selesai. Di sana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami proses irelevansi secara berangsur-angsur tapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah, dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Hukum ketatanegaraan dan internasionalnya hampir-hampir tidak diketahui orang lagi. Tinggal lagi soal-soal ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itu pun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk agama Islam yang masih taat.
Dalam hal demikian, masih dapatkah dipertahankan kebenaran klaim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin, dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang secara sadar harus dibina untuk menjadi salah satu unsur pembinaan hukum nasional? Untuk memperoleh hak hidup dalam proses pembangunan bangsa dan negara dewasa ini, apakah yang dapat dilakukannya jika tidak memiliki relevansi dalam kehidupan di masa modern ini?
Walaupun dalam praktik tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Pertama, sebagaimana dikemukakan di atas, turut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Keseluruhan pandangan hidup umat Islam ditentukan oleh tanggapan masing-masing atas tata nilai tersebut, hal mana pada gilirannya berarti pengaruh atas pilihan segi-segi kehidupan yang dianggap penting dan atas cara mereka memperlakukan masa depan kehidupan mereka sendiri. [7]
Kedua, dengan melalui proses yang berlangsung lama, banyak keputusan hukum (bahkan unsur-unsur yurisprudensil) dari hukum Islam telah diserap dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Manifestasi dari penyerapan ini antara lain dapat dilihat pada berlakunya hukum perkawinan dan hukum waris Islam di beberapa negara, termasuk di beberapa bagian dari negeri ini. Di Mesir, unsur-unsur hukum Islam diserap hingga bahkan oleh hukum pidana dan hukum acara (murafa’at) modern. [8]
Ketiga, dengan masih adanya golongan-golongan yang memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari manifestasi kenegaraan Islam yang masih harus ditegakkan di masa depan, betapa jauhnya pun masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah. [9]
Karena ketiga sebab di atas, di samping sebab-sebab lainnya, hukum Islam masih memiliki peranan cukup besar dalam kehidupan bangsa kita. Peranan itu dewasa ini masih bersifat statis, dalam arti masih berbentuk “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh non-Islam, terutama yang bersifat sekuler. Justru watak statis inilah yang menjadikan hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita dewasa ini. Sebagai alat penahan lajunya proses sekularisasi kehidupan yang berlangsung semakin merata, hukum Islam tak dapat berperan banyak, dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya itu sendiri. Peran itu pun coraknya sebagian besar hanyalah bersifat represif, melarang ini dan menentang itu. Atau dengan kata lain, yang diungkapkan oleh sebagian pemikir Islam sendiri, hukum Islam barulah berkarya menolak kemungkaran, kebatilan, dan kemaksiatan, dan belum mampu menjadi penganjur kebaikan dalam artinya yang luas.
Corak pemikiran tentang hukum Islam di negeri ini pun dengan demikian masih banyak yang bersifat apologetis, [10] hanya mampu mencanangkan suatu gambar dunia terlalu idiil di mana hukum Islam ditandaskan dapat memberikan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, dunia mana merupakan kota Tuhan (civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini, dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan akutnya yang memerlukan penggarapan dan pemecahan segera. Herankah kita jika hukum Islam lalu kehilangan relevansinya dengan perkembangan kehidupan di sekitarnya?
Untuk memperoleh relevansi tersebut, hukum Islam harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Watak dinamis hanya dapat dimiliki jika hukum Islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan
memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktuil yang dihadapi di masa kini. Dengan demikian, hukum Islam dituntut untuk mengembangkan diri dalam sebuah proses yang bersifat cair (fluid situation), dan tidak hanya terikat pada gambaran dunia khayali yang menurut teori telah tercipta di masa lalu. Pengembangan diri memerlukan pandangan jauh dari kalangan pemikir hukum Islam sendiri. Dengan kata lain, ia harus memiliki pendekatan multidimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya terikat kepada ketentuan normatif yang telah mengendap sekian lama, bahkan hampir-hampir menjadi fosil yang mati.
Guna memungkinkan tercapainya prasyarat berupa upaya dinamisasi di atas, yang juga mungkin terdengar terlalu idiil perumusannya, kita harus memahami terlebih dahulu ciri-ciri utama yang dimiliki hukum Islam dewasa ini. Dari pengenalan ciri-ciri utama tersebut barulah dapat nantinya diketahui perubahan yang harus dilakukan, yang akan memungkinkan hukum Islam memiliki peran aktif dalam mengisi pembangunan dengan sumbangan yang nyata.
Ciri utama yang pertama dari hukum Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Coulson, adalah keterlepasannya dalam perspektif kesejarahan: “hukum, dalam teori Islam klasik, adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam, menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam”. [11] Memang benar, hukum Islam berkembang dalam sebuah proses yang dalam dirinya sendiri memiliki pretensi kesejarahan, tetapi pada hakikatnya ia berkembang di luar perkembangan sejarah: ia memiliki sejarahnya sendiri (tarikh al-tasyri’), tetapi tidak menjadi bagian dari sebuah proses sejarah umum. Inilah sebabnya mengapa antara lain di kalangan literatur tradisionil mengenai hukum Islam masih dibahas secara berkepanjangan kasus-kasus mati, seperti hukum perbudakan dan hukum transaksi perdata dengan pemeluk agama Majusi (Magi, yang notabene tinggal berjumlah sekitar seratus ribu orang di India, sebagai golongan Parsis). Lebih tepat lagi, justru hukum Islam sendiri yang tidak mampu melepaskan diri dari literatur hukum yang sudah demikian statisnya.
Ciri utama berupa langkanya perspektif kesejarahan inilah yang menerangkan mengapa tidak ada konflik tajam antara hukum Islam yang teoretis dan yang dipraktikkan oleh pemerintahan Islam di mana-mana selama ini. Dalam ketidakmampuan mereka untuk melaksanakan hukum Islam secara penuh, pemerintahan Islam itu mengambil jalan “menunda” pelaksanaan penuh itu dan menggunakan keputusan hukum yang bersifat transisionil sebagai gantinya. Ini dapat dilihat misalnya pada penundaan pelaksanaan hukum waris Islam sepenuhnya di masyarakat yang masih memegang teguh adat pra-Islamnya, seperti transaksi gono-gini di daerah Solo-Yogyakarta, di mana istri atau suami memperoleh separuh hak milik bersama pada waktu kawan hidupnya meninggal dunia. [12]
Ciri utama yang kedua adalah keterikatan hukum Islam kepada landasan penafsiran harfiah bahasa Arab atas kehendak Tuhan (kitab al-Syari’ yang dikenal juga sebagai nas, bentuk ganda dari nusus), baik yang berbentuk ayat al-Qur’an maupun hadis. Pengertian bahasa menjadi ketentuan mutlak untuk memberi nama (dan dengan demikian status hukum) kepada suatu perbuatan. [13] Karena keterikatan yang terlalu literer dan berdimensi tunggal ini, umpamanya, semua jenis pertaruhan dimasukkan ke status hukum perjudian, karena kata “al-maisir” tidak memiliki konotasi dalam sebuah kata hanya dapat dilakukan dengan kehendak Tuhan pula. [14]
Definisi-definisi yang dibuat untuk membatasi status hukum dari sesuatu perbuatan, karena keterikatan kepada penafsiran linguistik yang ketat dan kaku ini, pada akhirnya meniadakan kemungkinan pengembangan pola diversifikatif dan multidimensional bagi hukum Islam. [15] Adalah suatu hal yang menarik, bahwa ekspresi tertinggi dari pengalaman rohaniah para mistikus (mutasawwifin) justru tercapai jika mereka mampu menggambarkan ekstase mereka dengan bahasa yang bebas. Dalam kenyataannya, memang hanya merekalah yang mampu mencetuskan “revolusi” pembebasan terminologi dari konotasi linguistiknya yang ketat dan tradisionil, itu pun untuk waktu yang tidak terlalu lama. [16] Justru dalam penegasan dominasi pengertian literer dari terminologi yang digunakan inilah berlangsung perjuangan sengit pihak hukum Islam dalam mengekang para mistikus itu dari “penyelewengan pengertian” tersebut. [17]
Dalam kegagalan menilai akibat jauh dari ciri kedua inilah terlihat ketidakberhasilan reformasi yang dilancarkan di bidang hukum Islam selama ini. Reformasi al-Syafi’i (meninggal 204 H/820 M) berhasilkan menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang siur. Metodenya, yang dikenal dengan nama tariq al-istiqra’, berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian dikenal sebagai yurisprudensi (ushul al-fiqh), sebagai manifestasi dalam karya yurisprudensinya yang monumental, al-Risalah. Tetapi, usaha al-Syafi’i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literer. [18]
Demikian pula usaha-usaha selanjutnya berkesudahan pada gerakan reformasi Muhammadiyah dan gerakan fundamentalisme Persis di negeri kita. Sejauh ini, usaha-usaha penyegaran hukum agama itu masih memiliki watak sektarian dan hanya berhasil menyegarkan satu-dua aspek kehidupan belaka, karena pendekatannya yang berdimensi tunggal. Secara keseluruhan, penyegaran yang dimaksudkan tidak tercapai, bahkan ada tendensi penyegaran yang dimaksudkan itu akhirnya berbuahkan penciptaan variasi baru dari kebekuan yang telah ada, dengan kata lain menciptakan semacam neo-konservatisme. [19]
Ciri utama ketiga dari hukum Islam adalah ketiadaan otoritas tunggal yang mampu meratakan keputusan-keputusan hukumnya di masyarakat. Walaupun telah ada pranata fatwa dengan segenap kelengkapannya, keputusan hukumnya masih bercorak pribadi sebagai pendapat perseorangan para yuristen (faqih, bentuk ganda dari fuqaha’). Keputusan hukum mereka jarang menunjukkan kesepakatan
pendapat, dan senantiasa ada alternatif terhadap setiap keputusan hukum yang diberikan. Sehingga beredarlah pameo terkenal yang berbunyi, “perbedaan keputusan di kalangan para ahli hukum adalah rahmat bagi umat (ikhtilaf al-a’immah rahmah al-ummah)”. [20]
Sikap untuk memperlakukan pendapat yang saling bertentangan sebagai benar semuanya ini, pada akhirnya membawa kepada anarki hukum, di mana tidak ada satu otoritas pun yang dapat memaksakan penyeragaman pendapat di kalangan umat Islam. [21] Di masa pemerintahan imperium ‘Uthmani di Turki, grand mufti (syaikh al-Islam) memiliki wewenang teoretis untuk berbuat demikian, tetapi nyata sekali otoritasnya hanya dapat menjangkau masa hidup seumur imperium itu belaka, karena ia bukanlah pranata pelaksana norma-norma hukum yang diterima formil oleh imperium tersebut. Dengan demikian, pranata tersebut jelas bukanlah otoritas menetap dengan kekuasaan riil di luar wewenangnya sebagai alat negara.
Sebagai akibat dari toleransi yang sedemikian besar, hampir-hampir tidak dapat ditemui kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negara, atau bahkan untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah negeri pun. Kodifikasi keputusan grand mufti ‘Uthmani di Istanbul dan komentar atasnya, yaitu lembaran negara Mejellet (al-majjah), ternyata tidak mampu menjadikan dirinya alat kodifikasi tunggal, karena di luar itu para yuristen masih membuat keputusan hukum secara perseorangan dalam karya-karya fikih, yang secara lambat tapi pasti diterima sebagai literatur hukum dengan segenap perwatakan anarkinya oleh masyarakat Islam. Justru kodifikasi tidak resmi inilah yang akhirnya memiliki appeal universil di kalangan umat Islam hingga kini. Mejellet akhirnya hanya menjadi pegangan resmi untuk para pejabat, dan kering dari partisipasi masyarakat, termasuk para yuristen di luar aparat pemerintahan. [22]
Dengan demikian berkembanglah kodifikasi kembar antara Mejellet dan karya-karya hukum dari para yuristen di sampingnya, antara kodifikasi resmi dan tidak resmi. [23] Berserak-seraknya literatur hukum Islam mengakibatkan suasana ketidakpastian hukum dalam skala yang sangat besar, terutama dalam kemacetan perkembangan hukum Islam itu sendiri dan dalam kemampuannya berantisipasi terhadap
perkembangan masa dan keadaan. Sebagai hasil upaya penyegaran oleh gerakan reformasi dan fundamentalisme dari abad ini, yang kemudian diiringi oleh kontrareformasi golongan-golongan tradisionil dan juga oleh berbagai usaha inventarisasi oleh Departemen Agama dan IAIN, secara berangsur-angsur dewasa ini mulai ditemukan kodifikasi yang lebih terarah, walaupun sifatnya juga masih kembar dan tanpa didukung oleh otoritas cukup untuk meratakannya di masyarakat dengan sanksi-sanksinya sendiri bila tidak dilaksanakan. Masih belum dapat diperkirakan bagaimana kesudahan usaha-usaha tersebut, yang di beberapa negara lain dilakukan oleh lembaga-lembaga kehakiman sendiri dalam kerjasama dengan para ahli ilmu agama. Mampukah upaya yang tengah dilakukan itu menyudahi anarki hukum yang berakibatkan ketidakpastian pegangan dalam menentukan keputusan hukum mana yang dapat secara tunggal dianggap sebagai hukum Islam? Padahal tanpa kepastian pegangan pemilihan keputusan hukum mana yang dapat dianggap mewakili hukum Islam, boleh dikata tidak akan dapat diberikan sumbangan positif terhadap pengembangan hukum nasional.
Setelah kita ketahui ciri-ciri utama keadaan hukum Islam dewasa ini, tampak dengan nyata di mana letak hambatan yang tidak memungkinkannya mengambil peranan positif dan dinamis dalam pembinaan hukum nasional selama ini. Dengan mengetahui letak hambatan-hambatan itu, dapatlah dirumuskan di sini garis besar upaya untuk mengatasinya.
Pertama, harus ada kesediaan dari para yuristen muslim sendiri untuk memberikan batasan atas ruang lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam dalam rangka pembinaan hukum nasional. Secara teoretis hukum Islam meliputi semua bidang kehidupan, tetapi perkembangan sejarah telah menunjukkan penciutan bidang-bidang itu secara berangsur-angsur. Dengan pemberian batasan yang jelas pada bidang-bidang yang menjadi urgensi pembahasan literatur hukum Islam, akan dapat dihindarkan penghamburan waktu dan pikiran dari pembicaraan berkepanjangan tentang soal-soal yang tidak urgen. Bahwa sebuah forum hukum nasional harus memilih pembidangan berdasar skala prioritas masing-masing, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Kalau kita ingin menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional kita, sudah tentu juga harus ditentukan skala prioritas penggarapannya. Bahwa sebuah forum hukum Islam pada tingkat nasional telah membicarakan secara berkepanjangan masalah bencana alam yang melanda beberapa wilayah negara kita baru-baru ini, jelas menunjukkan bahaya penghamburan waktu dan pikiran tersebut, jika tidak segera ditetapkan pembidangan menurut skala prioritas akan menghilangkan arti upaya mengintegrir hukum Islam ke dalam hukum nasional. [24]
Pemberian batasan atas bidang penggarapan hukum Islam ini harus diikuti oleh upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa kini. Pertimbangan-pertimbangan manusia harus memperoleh tempat yang layak. [25] Bahkan titik berat proses pengambilan keputusan hukum harus ditujukan kepada integrasi pertimbangan manusiawi ini ke dalam pranata yurisprudensi. Untuk itu, dalam jangka panjang harus ditinjau kemungkinan menyusun sebuah sistem yurisprudensi yang lebih berantisipasi kepada kemungkinan-kemungkinan hidup masa mendatang. [26]
Metodologi bagi penyusunan yurisprudensi tersebut harus dibicarakan dan dikembangkan dalam lingkungan terbatas dan tertutup terlebih dahulu, mengingat sensitifnya persoalan yang dibahas. Soal-soal seperti bagaimana menyelesaikan pertentangan lahiriah antara fakta ilmiah dan wahyu Tuhan beserta penafsiran leterlijk-nya selama ini, harus dibicarakan secara mendalam guna memungkinkan terbentuknya metodologi yang memuaskan bagi penyusunan yurisprudensi yang dimaksudkan di atas. [27] Sebagai contoh, benarkah larangan takut akan kemelaratan (khauf al-imlaq) berlaku secara massal (khitab ‘am), sehingga secara total masyarakat harus meninggalkan upaya membatasi kelahiran, walaupun nyata-nyata telah tampak bahaya ledakan penduduk? Bukankah larangan tersebut lebih realistis bila ditujukan kepada perorangan muslim, guna menahan mereka dari sikap hidup fatalistik dan memerintahkan mereka untuk bekerja keras guna merebut rezeki yang telah dijanjikan oleh Tuhan? Kalau pembedaan antara pengertian massal (mafhum ‘am) dan individuil (mafhum khas) ini dapat diterima, di manakah harus ditarik garis pemisah antara keduanya?
Sebuah lembaga harus diadakan (mendirikan yang baru atau menggunakan yang telah ada) untuk tujuan penyusunan metodologi ini, sehingga ada pranata yang secara sadar dan berencana berusaha menyegarkan yurisprudensi yang telah ada, hingga datang waktunya ditetapkan yurisprudensi baru nanti. Lembaga ini harus mampu menciptakan sarana administratif bagi upaya integrasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, minimal dengan menyusun indeks yang sistematis dan seragam bagi keputusan hukum yang tesebar berserak-serak dalam ribuan literatur fikih yang ada sekarang ini. Ia juga harus melatih tenaga peneliti, melakukan penelitian yang diperlukan bagi integrasi tersebut, [28] meningkatkan mutu aparat pengadilan agama yang ada, dan menerbitkan literatur baru tentang hukum Islam dan upaya integrasinya di atas.
Usaha-usaha penyesuaian yang bersifat individuil dan tradisionil antara kebutuhan masa kini dan keputusan hukum yang telah ada, harus diikuti dengan cermat, diinventarisir dan sedapat mungkin dicernakan oleh metodologi yang akan menyusun yurisprudensi baru nanti. Untuk itu, kepada para yuristen muslim harus diberikan dorongan untuk lebih banyak lagi mengemukakan fatwa pribadi, sehingga akan terdapat produk dari berbagai corak pemikiran. Dari semua alternatif yang masuk akan dipilih keputusan-keputusan hukum yang paling mendekati kebutuhan masa kini, untuk selanjutnya dikodifisir dalam indeks khusus untuk itu. Penyusunan khazanah keputusan hukum ini memang pada babak pertama akan cenderung kepada suasana kacau balau, tetapi dalam jangka panjang akan merupakan reservoir yang sangat berharga bagi penyusunan sebuah yurisprudensi yang baru. [29]
Penerapan (enforcement) hukum Islam secara langsung bukanlah tujuan pemberian peranan kepadanya, karena dengan integrasinya ke dalam hukum nasional persoalan di atas akan terpecahkan dengan sendirinya. Apa yang dituju adalah bagaimana menjadikan hukum Islam lebih banyak lagi menggunakan pertimbangan-pertimbangan manusiawi, termasuk pertimbangan ilmiah praktis, dalam proses pengambilan keputusan hukumnya.
Hukum agama, di mana pun juga, memiliki hakikat ganda: di satu pihak ia dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintahan dengan menjadi bagian dari hukum formil, di pihak lain ia digunakan secara sukarela oleh masyarakat. Kalau hukum Islam dapat disegarkan melalui kedua jalur di atas, dan dapat dibuat lebih berorientasi kepada kebutuhan duniawi dari manusia yang hidup dewasa ini, dengan sendirinya akan menjadi sangat besar sumbangannya bagi upaya membangun tata kehidupan yang modern. Penyegaran dan pengembangan ini tentu akan mendapatkan tantangan keras dari mereka yang tidak mampu memandang ke masa depan yang jauh dengan pandangan yang jernih dan berimbang. Tetapi, hukum Islam memiliki arah perkembangan sendiri, yang tidak mutlak bergantung kepada kemauan suatu kelompok. Atau sebagai dikatakan oleh MacDonald, “law is greater than lawyers, and it works in the end justice and life”. [30]
Namun, pengembangan hukum agama tidak dapat berjalan baik tanpa adanya pengarahan, setidak-tidaknya penetapan tujuan dekat (immediate purpose). Tanpa tujuan dekat ini, perkembangan menjadi tidak dapat terarah, dan tidak dapat dihindari kekaburan pandangan yang akan melanda proses pengembangan itu sendiri. Kekaburan itu akan mempengaruhi jalannya semua upaya yang dilakukan, sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Salah satu tujuan dekat yang amat memerlukan penggarapan segera adalah percobaan untuk memperluas daerah wewenang konsensus/ijma’ sebagai sumber hukum. Konsensus selama ini umumnya dilakukan guna memperkuat inferensi atas kehendak Tuhan (instinbat min al-nas), menjadi alat legalisasi bagi apa yang disimpulkan sebagai kehendak-Nya. Tetapi dalam teori tradisionil tentang konsensus terdapat sebuah mekanisme sederhana yang memungkinkan penyegaran relatif bagi pembuatan keputusan hukum, yaitu konsensus atas kesimpulan yang memodifisir pengertian leterlijk dari kehendak Tuhan. [31] Mekanisme ini sederhana, tetapi digunakan untuk membuat interpretasi baru atas diktum-diktum yang telah ada, karenanya ia harus diteliti sejauh mungkin tentang peranan apa yang dapat dilakukannya dalam proses penyelarasan antara keputusan hukum yang telah ada dan kebutuhan masa kini. [32]
Penetapan tujuan dekat semacam inilah yang sebenarnya menjadi tujuan tulisan ini, karena daripadanyalah bermula proses penyegaran yang digambarkan di atas. Pengembangan dan penyegaran hukum Islam amat diperlukan, karena seperti dikatakan oleh seorang sarjana muslim sendiri, “kesatuan Islam telah dipelihara melalui pemeliharaan oleh Syari’ah. Walaupun tidak ada kekuasaan politik tunggal yang memerintah seluruh dunia Islam, hukum yang bersamaan tetap dijalankan di pengadilan-pengadilan Maroko sebagaimana di India Utara. Pemerintahan oleh hukum Tuhanlah yang terus-menerus memelihara kesatuan komunitas (Islam) dan menjamin watak keislamannya.” [33]
Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. [34] Yang dimaksudkan adalah upaya untuk membuatnya lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut hukum Islam sendiri akan senantiasa mengadakan penyesuaian sekadar yang diperlukan, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai transendentalnya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan kepekaan itu akan dapatlah hukum Islam turut memberikan sumbangannya kepada pembangunan bangsa, yaitu dengan menciptakan nilai-nilai kehidupan yang dinamis tetapi dilandasi oleh kesadaran akan keharusan bagi manusia untuk berupaya dalam batas-batas kemampuannya sebagai makhluk belaka.
Catatan kaki:
[1] Fatwa hukum adalah keputusan hukum agama oleh pribadi, pejabat, atau lembaga yang diberi wewenang untuk itu. Sering kali terjadi pemberian wewenang itu dilakukan secara tidak berencana, sebagai hasil kepercayaan masyarakat kepada seorang ulama. Di beberapa negara, kedudukan pemberi fatwa (mufti) dilembagakan dengan menunjuk pejabat resmi yang memberi keputusan yang bersifat rekomendasi kepada pemerintah, sehingga karenanya jabatan tersebut dinamai “penasihat hukum agama” (juriconsult). Lihat F. Rahman, Islam, (London: 1966), hlm. 81.
[2] Di lingkungan Al-Azhar, universitas tertua di dunia yang kini memiliki kedudukan kunci sebagai salah satu lembaga keagamaan Islam yang paling utama di dunia, fatwa hukum diberikan baik oleh rektornya (syaikh Al-Azhar) maupun oleh lembaga ulama terkemuka (hayyi’ah kibar al-‘ulama’).
[3] J. Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, cetak ulang dengan edisi Syauqi Dhaif, Kairo: 1957, hlm. 15.
[4] Hukum Islam biasanya dikenal dengan nama fiqh (yang tadinya memiliki arti bahasa “memahami”), sering juga disebut syari’ah (yang semula berarti “hasil perbuatan”). Penamaan dengan istilah “fiqh” ini menunjukkan totalitas luas lingkupnya dalam kehidupan, sehingga penerapannya dalam segenap aspek kehidupan itu harus dianggap sebagai upaya pemahaman agama itu sendiri. Lihat J.A. Williams, “Islam”, dalam Great Religious of Modern Man, edisi buku saku (New York: 1972), hlm. 78.
[5] Harus dibedakan antara kaidah hukum (legal maxims, qawa’idh al-fiqh) yang lebih bercorak pedoman pengambilan keputusan hukum agama secara praktis, dan antara yurisprudensi Islam (ushul al-fiqh), yang lebih dititikberatkan pada penyusunan struktur teoretis bagi pengambilan hukum langsung dari sumber-sumbernya (atau lebih tepat lagi, sebagai legal theory bagi hukum Islam). Lihat J. Schacht, An Introduction to Islam Law, (Oxford: 1964), hlm. 39, 59f.
[6] D.B. MacDonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Khayats Oriental Reprints, No. 10, (Beirut: 1965), hlm. 66.
[7] Besarnya jumlah siswa sekolah-sekolah agama di negeri ini dapat dicari sebabnya pada dan menjadi indikasi dari adanya pengaruh besar hukum Islam atas penentuan prioritas lapangan kehidupan yang diiingini. Di Pesantren Tebuireng, Jombang, persentase lulusan dan drop outs sekolah-sekolah umum (non-agama) yang melanjutkan pelajaran di bidang keagamaan menunjukkan gejala meningkat dari tahun ke tahun, walaupun kondisi sekolah-sekolah umum itu meningkat dan jaminan lapangan pekerjaan bagi para lulusannya juga lebih terasa. Salah satu sebab aktuilnya adalah kenakalan remaja para siswa tersebut, yang dianggap dapat diredakan dengan memasuki pesantren.
[8] Kenyataan ini terutama dihasilkan oleh sukses para yuristen muslim untuk mengintegrir hukum perdata Islam ke dalam hukum perdata “sosialis” yang digunakan di negeri tersebut. Prosedur penetapan saksi, interogasi, cara pembuktian, dan pengangkatan hakim banyak menerima elemen-elemen hukum Islam.
[9] Golongan ini, walaupun merupakan minoritas kalangan umat Islam, memiliki vokal lantang, keuletan bekerja, dan organisasi yang cukup untuk memelihara kelangsungan hidup ide teokrasi Islam itu. Di Amerika Serikat misalnya, General Unions of Muslim Student Movement dapat menerbitkan buku-buku dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dan membagi-bagikannya dengan percuma. Spektrum gerakan teokratis ini meliputi wilayah pandangan yang luas dan beraneka warna, dari sikap non-kooperasi sisa-sisa Ikhwanul Muslimin, hingga kepada sikap moderat dari teknokrasi Saudi Arabia.
[10] Di beberapa negara telah mulai berkembang pemikiran yang tidak bersifat apologetis mengenai hukum agama, seperti pemikiran Fryzee di India, Sayyed Hossein Nasr di Iran, dan al-Mahmasani di Lebanon-Siria.
[11] N.J. Coulson, “A History of Islam Law”, Islamic Surveys, No. 2, (Edinburgh: 1964), hlm. 1-2.
[12] P.A.H. Djajadiningrat, dalam K.W. Morgan (ed.), Islam – The Straight Path, terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Abusalamah, et.al. dengan judul Islam Jalan Mutlak, (Jakarta: 1963), jilid 2, hlm. 130.
[13] Sebagai contoh dapat dilihat diktum yurisprudensil ini dalam Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali (meninggal 467 H/1055 M), al-Syirazi, edisi M. Yasin ‘Isa, Al-Luma’, (Mekah: 1325 H), hlm. 64, sebuah buku wajib yang bersifat dasar dalam yurisprudensi aliran hukum (mazhab) Syafi’i.
[14] Dikenal dengan istilah ta’arudh al-nassain (pertentangan dua kehendak), yang merupakan bab tersendiri dalam buku-buku yurisprudensi Islam.
[15] Pada permulaan perkembangan hukum Islam, memang gejala untuk melepaskan diri dari pengertian bahasa yang terlalu terikat pada pengertian literernya telah ada. Tetapi ia tidak berkembang menjadi sebuah sistem yang lengkap, sehingga hanya bersifat sporadis dan tidak menetap. Lihat I. Goldziher, Verlosungen uber den Islam, terjemahan bahasa Arab oleh M. Yusuf Musa, et.al., dengan judul al-‘Aqidah wa al-Syari’ah fi al-Islam, (Kairo: 1946), hlm. 58f.
[16] Yaitu hingga hukum Islam berhasil memaksakan pembedaan antara gerakan mistik yang diotorisir oleh hukum (thariqah mu’tabarah) dan yang tidak memperoleh otorisasi (ghair mu’tabarah). Puncak dari usaha para mistikus untuk melepaskan diri dari keterikatan kepada konotasi linguistik yang ketat adalah gerakan wahdah al-wujud (panteisme) yang di negeri ini bergema dalam ajaran manunggaling kawula lan Gusti dari Syekh Siti Jenar. Lihat R.A. Nicholson, the Mistics of Islam, (London: 1966), hlm. 149f.
[17] Contoh penyelewengan yang ditakutkan itu adalah pembelokan arti syahadat dari kesaksian akan ke-Esa-an Tuhan dan keutusan Rasulullah SAW, menjadi “penggambaran lahiriah (exteriorization) dalam bentuk doktriner dari nama Allah”, dengan konsekuensi berubahnya status hukum dari syahadat itu sendiri, di mana syahadat menjadi cukup diakui dalam hati dan tidak memiliki akibat hukum. Hal ini bertentangan dengan diktum hukum Islam, bahwa syahadat adalah kesaksian dengan lisan guna memperoleh perlakuan hukum sebagai seorang muslim. F. Schuon, Understanding Islam, terjemahan bahasa Inggris dari teks Prancis oleh D.M. Methleson, London: 1963, hlm. 125.
[18] Jasa al-Syafi’i yang terbesar adalah menegakkan dominasi konsensus dan analogi (qiyas) yang ditundukkan kepada Hadis. Dengan demikian, ia menegakkan dan sekaligus membatasi supremasi Hadis sebagai sumber hukum.
[19] Neo-konservatisme ini hampir dalam semua persoalan bersikap amat tertutup terhadap perubahan konotasi pernyataan kehendak Tuhan, melalui pelepasan ikatan-ikatan linguistiknya yang ketat itu. Reaksi mereka, misalnya, jauh lebih tajam dari golongan lain atas ide pembaharuan yang dinamai sekularisasi oleh Drs. Nurcholish Madjid dan kawan-kawan, yang sebagian besar berkisar pada perubahan konotatif atas terminologi yang digunakan untuk menyatakan keimanan dan menentukan kedudukan manusia vis a vis Tuhan.
[20] Diktum ini, dalam bentuk inversi, bahkan menjadi judul sebuah korpus hukum Islam yang terkenal, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, karya al- Dimasyqi.
[21] Contoh menarik dalam hal ini adalah kasus pembongkaran tanah kuburan untuk keperluan umum. Aliran hukum (mazhab) Maliki memperkenankannya, tetapi tidak ada otoritas yang mampu meratakan perkenan ini menjadi konsensus di kalangan para yuristen, karena berhadapan dengan perlawanan keras dari penentangnya. Para yuristen hanya mampu bertahan untuk tidak memberikan status hukum terlarang/haram, dan terserah kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Pemecahan seperti ini dikenal dengan nama diktum “tidak wajib mengingkari suatu perbuatan yang status hukumnya masih dipertikaikan (lam yajib inkar al-ra’y al-mukhtalaf fih)”.
[22] Ada pendapat yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad (pengambilan keputusan hukum langsung dari sumber hukumnya) adalah mekanisme yang digunakan untuk menahan campur tangan para penguasa dalam bidang hukum agama. Lihat W.M. Watt, What Is Islam?, (Beirut: 1968), hlm. 207. Kalau ini benar, dengan sendirinya upaya memelihara kodifikasi tidak resmi di luar Mejellet harus dianggap sebagai bagian dari mekanisme tersebut. Kalau konklusi ini juga benar, kemerdekaan hukum Islam dari campur tangan negara harus dibayar dengan mahal, yaitu dengan hilangnya perspektif kesejarahan dari dirinya dan dengan anarki hukum yang diabaikannya.
[23] Kebiasaan memberikan keputusan individual oleh para yuristen ini masih dapat dilihat di alam modern ini, seperti fatwa alm. K.H.M. Hasyim Asy’ari tentang status hukum agama dari orkes musik (strijk), menjelang Perang Dunia II, berjudul Tanbihat al-Wajibat, Surabaya: 1358 H, 30 halaman.
[24] Di beberapa negara, seperti Mesir dan Irak, telah tercapai konsensus tentang peranan yang harus diambil oleh hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, umumnya terletak di bidang perdata perkawinan dan hukum waris. Dengan demikian, seluruh perhatian dapat dipusatkan kepada upaya integrasi hukum Islam yang telah diciutkan itu ke dalam hukum nasional masing-masing.
[25] Salah satu kasus yang cukup menarik adalah sebuah perkara di pengadilan agama suatu daerah di Jawa, di mana seorang istri yang telah bercerai dua setengah tahun, ternyata mengandung enam bulan. Pengadilan berhasil membuktikan pria yang membuatnya mengandung, atas dasar pengakuan mereka berdua. Tetapi diktum hukum aliran Syafi’i, bahwa benih seorang suami dapat hidup terus dalam rahim istri/bekas istrinya hingga empat tahun, memaksa pengadilan menetapkan nasib bayi dalam kandungan itu sebagai anak sah dari bekas suami yang tidak tahu-menahu tentang kehamilan istrinya.
[26] Sudah dicoba oleh Hasan Hanafi untuk membuat sistem yurisprudensi sedemikian ini, dalam karyanya yang berjudul Les Methodes d’Exegese, essai sur ‘ilm usul al-fiqh, seri Theses Universitaries No. 16 dari Conseil des Art, des Lettres et des Sciences Socials, Kairo: 1965, ccllxxvii + 564 hlm. Hanafi mengontraskan ushul fiqh dalam bentuknya yang sekarang kepada beberapa metode ilmiah yang digunakan dalam penyelidikan modern, dan dari hasil pengontrasan itu ia membuat proyeksinya tentang bagaimana yurisprudensi seharusnya disusun kembali. Yang sangat menarik adalah pembahasannya tentang kesadaran aktif yang meliputi aksi dan niatan, yang dari jalinan keduanya ia mencoba memproyektir sebuah kesatuan dunia yang idiil, dalam mana akan tercapai keseimbangan antara pesan abadi yang disampaikan oleh Islam dan aktualitas yang harus dihadapinya dari waktu ke waktu.
[27] Di antara persoalan penting yang harus dipecahkan adalah persoalan status Hadis sebagai sumber hukum Islam. Walaupun para orientalis telah mendiskreditirnya, penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini justru memperkuat klaim infalvibilitas Hadis sebagai sumber hukum yang diilhami oleh wahyu Ilahi. Namun dalam penelitian banyak pula berguguran teori yang dipegangi para sarjana muslim selama ini tentang hakikat dan proses transmisi (sanad) hadis. Penelitian yang paling banyak membuka kemungkinan-kemungkinan baru adalah karya M.M. Azmi, Studies in Early Hadith Literature, (Beirut: 1968), hlm. 164 dan 342, di mana antara lain dihancurkan pendapat umum tentang transmisi hadis hanya dengan cara lisan (isnad syahafi), dan dibuktikan adanya transmisi tertulis (ijazah kitabiyah) semenjak abad pertama Hijriyah.
[28] Di antara penelitian yang harus dilakukan adalah inventarisasi pandangan para ahli agama yang dalam kasus-kasus individuil mampu menembus hambatan yang ada selama ini, seperti fatwa Rais ‘Am Partai Persatuan Pembangunan tentang keluarga berencana. Beliau dapat menerima gagasan keluarga berencana, jika ia dianggap sebagai upaya perorangan untuk mensejahterakan keluarga dengan menghentikan kehamilan untuk sementara. Alasan penerimaan adalah analogi/qiyas aulawi terhadap pembenaran al-Ghazali atas praktik coitus interuptus (‘azl) guna memelihara kecantikan seorang wanita. Kalau untuk tujuan yang sedemikian ini coitus interuptus dapat dibenarkan, mengapakah upaya sejenis untuk tujuan yang lebih mulia tidak dibenarkan? Yang menarik adalah keputusan beliau tentang penggunaan IUD; alat itu sendiri sama status hukumnya dengan coitus interuptus, tetapi pemasangannya oleh orang lain selain suami yang justru tidak diperkenankan. Bukankah ini merupakan tantangan teknis agar ditemukan alat yang dapat dengan mudah dipasang oleh pemakainya sendiri, seperti diafragma?
[29] Yurisprudensi aliran hukum/mazhab Hanafi berwatak induktif, di mana kasus yang ada dikumpulkan secara sistematis, dan dari suasana itu diciptakan sistem yurisprudensinya. Yurisprudensi aliran Syafi’i sebaliknya berwatak deduktif, dengan terlebih dahulu menegakkan metode pengambilan keputusan hukum, dan dari metode itulah baru diterapkan atas kasus-kasus riil di masyarakat. Lihat F. Abd. Al-Rahman, Al-Anmuzaj fi Usul Fiqh, (Baghdad: 1389 H/1969 M), hlm. 18f.
[30] D.B. MacDonald, Op.Cit., hlm. 114
[31] Lihat catatan kaki M. Yasin ‘Isa pada Al-Syirazi, Op.Cit., hlm. 139.
[32] Tentang kemungkinan pembatalan sebuah konsensus terdahulu oleh konsensus lain terkemudian, yang dapat membuka pintu banyak persoalan yang dewasa ini belum memperoleh pemecahan, lihat ‘Abd al-Razaq, Al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Kairo: 1366 H/1947 M, hlm. 106f.
[33] S.H. Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: 1966, hlm. 107.
[34] Bahaya ini dikemukakan dengan indah oleh Nasr, Ibid., hlm. 117-118.
Prisma, Agustus 1975